“Komunikasi adalah inti dari masyarakat kita. Itulah yang menjadikan kita manusia.” Setidaknya begitulah yang dikatakan Jan Koum, pendiri aplikasi Whatsapp yang kini telah mencapai 2 miliar pengguna di seluruh dunia.
Perkembangan teknologi hingga saat ini telah membantu manusia pada banyak aspek. Kehidupan manusia pun terasa berjalan lebih cepat dengan adanya teknologi serba instan. Sebagai makhluk sosial, kita telah merasakan banyak manfaat teknologi yang membantu kita berkomunikasi dan mengakrabkan diri satu sama lain. Yang jauh terasa dekat dan yang mustahil kini jadi mungkin.
Interaksi manusia menjadi mungkin dilakukan 24 jam dengan timpal balik yang bisa didapatkan saat itu juga. Tak hanya interaksi, kini saya juga bisa tahu apa yang teman saya sedang lakukan hanya dengan melihat unggahannya di media sosial. Dari teman sejawat, orang tak dikenal hingga penyanyi idola pun terasa lebih dekat dengan kita. Sanak saudara yang tinggal jauh di pulau lain juga bisa bertegur sapa tanpa harus pergi mendatangi kita. Media sosial membuat kita berada dalam lingkaran yang sama dan saling berdekatan.
Namun, saya pikir gemerlap media sosial telah mengubah manusia itu sendiri. Lebih dalam dari sekedar untuk berinteraksi, media sosial kini menjadi dunia untuk saling unjuk diri dengan satu sama lain. Saya yang juga masih aktif menggunakan media sosial sudah melihat fenomena ini sendiri. Bagaimana teman-teman saya berusaha mengunggah swafoto paling bagus dan tampak paling bahagia di Instagramnya hingga kabar gembira seperti menang lomba atau sekedar makan enak bersama keluarga.
Filsuf komunikasi, Marshall McLuhan pada teorinya ekologi media memiliki asumsi terhadap fenomena ini. Menurutnya, keberadaan media mempengaruhi kehidupan manusia dan masyarakat. Lebih jauhnya lagi bersama Harold Innis, mereka berdua berpendapat bahwa media menjadi dominan dalam mempengaruhi tatanan perkembangan manusia.
Contoh fenomena di atas baru menggambarkan sisi media sosial yang bahagianya saja. Lantas bagaimana dengan sisi lainnya? Saya jadi teringat ketika kakak tingkat saya di kampus berkeluh kesah tentang bagaimana dia merasa tak nyaman melihat cuitan temannya di twitter. Unggahan yang ia maksud juga dilampirkan dalam bentuk foto agar saya melihatnya sendiri dan benar katanya, saya sendiri merasa tak nyaman melihat cuitan tersebut yang begitu depresif dan frontal.
Di zaman sekarang, saya paham betul media sosial juga digunakan penggunanya bak buku diari. Apalagi di media sosial, penggunanya lebih bebas dan mudah berpendapat. Selain berbagi kabar baik, banyak orang menggunakan media sosial untuk berkeluh kesah dan menunjukkan versi diri yang berbeda dari yang biasa ia tampilkan sehari-hari. Dari berkeluh kesah mengenai masalah pribadi, mengutarakan pendapat yang mungkin sulit diterima masyarakat hingga mengungkapkan perasaan sebenarnya yang sedang dirasakan akan banyak ditemukan dari sosial media seseorang.
Unjuk diri tak melulu bagian yang senang-senangnya saja tapi bisa juga bagian yang sedih-sedihnya. Selain cerita dan kegiatan, media sosial juga menjadi gudang beragam emosi yang dirasakan penggunanya. Joseph Luft dan Harry Ingham menciptakan Johari Window untuk menjelaskan fenomena ini, sebuah konsep yang memudahkan kita untuk lebih mengenal diri.
Konsep tersebut diibaratkan sebuah jendela yang terbagi menjadi 4 bagian yang masing-masing memiliki wilayahnya sendiri yaitu wilayah terbuka, wilayah buta, wilayah tersembunyi dan wilayah tidak dikenal. Jika kita sehari-hari melihat kepribadian keluarga, teman dan rekan kerja yang biasa kita kenal, itu adalah wilayah terbuka mereka. Namun di media sosial, orang cenderung banyak memperlihatkan wilayah tersembunyinya yaitu pribadi yang tidak dikenal orang lain.
Saya sendiri juga merasa terpengaruh fenomena ini. Di Instagram, saya merasa ada keharusan untuk mengunggah foto-foto yang menurut saya akan dinilai bagus oleh orang lain atau foto-foto prestasi serta hal baik yang sudah saya lakukan. Saya selalu berdalih bahwa hal tersebut akan saya gunakan sebagai portofolio CV atau barangkali ada yang tertarik untuk membaca tulisan saya. Padahal alasan akan dicap tak seproduktif orang lain juga tak dipungkiri menjadi salah satu alasan saya mengunggah hal-hal seperti itu di media sosial.
Ada sebuah ironisme yang menambah daftar hitam putih media sosial. Sebuah penelitian pada 2015 silam yang dilakukan Pew Research Center bekerja sama dengan Keith Hampton menunjukkan bahwa pengguna media sosial yang berinteraksi dengan keluarga dan teman merasakan lebih sedikit stress, khususnya bagi pengguna perempuan. Mungkin dapat mengutarakan perasaan pada ‘diari digital’ ini membuat penggunanya merasa lebih lega.
Namun pada kenyataannya seringkali kita mendengar kalimat “kehidupannya tak seindah konten Instagramnya” atau “kebahagiaan yang ia bagikan di media sosial hanya kebahagiaan semu”. Karena pada penelitian yang sama, selain penemuan fakta yang sudah disebutkan, terdapat pula fakta bahwa pengguna media sosial cenderung lebih sadar mengenai stress yang dialami oleh orang yang mereka kenal. Kesadaran ini pula yang akhirnya menjadi penyebab utama munculnya stress pada diri sendiri. Penggunaan media sosial dapat mengurangi stress namun disaat yang bersamaan sosial media juga salah satu faktor pemicu stres
Maka ada baiknya bagi masyarakat untuk menggunakan media sosialnya dengan bijak. Penggunaan media sosial yang terkontrol akan berdampak tak hanya bagi diri sendiri tapi juga kepada orang lain. Bijak bersosial media berarti mengetahui batasan mana yang baik dan tidak baik dibagikan kepada orang lain, karena dibalik gemerlap kemudahan bermedia sosial, ada lingkungan yang tidak kita ketahui.
Daftar pustaka non-daring:
- Sagiyanto, A. & Ardiyanti, N. (2018). SELF DISCLOSURE MELALUI MEDIA SOSIAL INSTAGRAM (Studi Kasus Pada Anggota Galeri Quote). Nyimak Journal of Communication Vol. 2, No .1 Hal. 81-94.
- Lubis, E. Elysa. (2014). POTRET MEDIA SOSIAL DAN PEREMPUAN. Jurnal Parallela Vol. 1, No. 2. Hal. 97-106