Kamis, Maret 28, 2024

Historiografi Indonesia-sentris yang Rasis

Rangga Naviul Wafi
Rangga Naviul Wafi
Inisiator Lintas Generasi Bookstore dan pengurus Yayasan Sirkadian

Dalam sebuah diskusi yang diadakan oleh salah satu universitas ternama di Indonesia, Prof. Ariel Heryanto memberikan suatu pernyataan yang sangat menarik perhatian, setidaknya bagi saya, yakni mengenai historiografi Indonesia yang rasis.

Saya pun langsung dibuat berpikir keras mengingat-ingat apa saja materi pelajaran sejarah sewaktu di sekolah dan akhirnya saya menyadari bahwa apa yang diajarkan di sekolah menjebak kita pada logika oposisi biner, antara “Bangsa Indonesia” melawan “bangsa asing” atau antara kubu komunis dan anti komunis.

Lantas, bagaimana dampaknya terhadap proses pencarian nilai-nilai nasionalisme ketika kita terjebak pada narasi-narasi anti asing atau anti komunisme?

Pasca kemerdekaan politik pada tahun 1945 mendorong para sejarawan Indonesia menuliskan kembali sejarah Indonesia dengan formulasi yang mengantitesakan dominasi kolonialisme Belanda, dan merupakan reaksi atas tradisi historiografi kolonial (Bambang Purwanto, 2000).

Akan tetapi historiografi indonesia-sentris yang awalnya bertujuan sebagai proses pencarian nilai-nilai nasionalisme, dalam perkembangannya cenderung menimbulkan pemahaman yang seakan-akan hanya ada “pribumi”, “Bangsa Indonesia”, atau “rakyat yang dijajah” melawan “bangsa asing”.

Keterjebakan historiografi indonesiasentris dalam determinisme kolonial dijelaskan oleh Bambang Purwanto dalam artikel yang berjudul “Historisisme Baru dan Kesadaran Dekonstruktif: Kajian Kritis terhadap Historiografi Indonesiasentris” dengan memaparkan salah satu kasus pergolakan di masa kolonial yakni perang padri yang dalam historiografi Indonesia pascakolonial dipahami sebagai konflik keagamaan antara kelompok adat yang didukung oleh kolonial Belanda dan kelompok ulama.

Dikotomi yang simplistik dalam historiografi ini menyebabkan faktor-faktor lain yang juga menyebabkan konflik seperti perebutan daerah yang makmur, pertumbuhan ekonomi yang pesat dari hasil produksi pertanian luput dari penjelasan historis.

Dalam historiografi indonesia-sentris juga jarang menjelaskan bahwa pada masa kolonial dan masa revolusi nasional, Bangsa Indonesia atau bumi putera saat itu terdiri dari berbagai golongan yang terlibat mendukung kemerdekaan ataupun yang berusaha mempertahankan status quo negara kolonial Belanda.

Bumi putera yang dalam narasi dominan seringkali hanya dijelaskan sebagai golongan paling nasionalis yang melawan kekuasaan kolonial Belanda pun sebenarnya banyak yang tergabung dalam KNIL, polisi, atau pejabat pemerintahan yang bekerja untuk penguasa kolonial Belanda.

Seperti yang dijelaskan oleh sejarawan Henk Schulte Nordholt dalam “Modernity and cultural citizenship in the Netherlands Indies: An illustrated hypothesis” bahwa tidak semua bumiputera mendukung gerakan yang bertujuan untuk memerdekaan Indonesia (Henk S. Nordholt: 435-457).

Para bumi putera yang nyaman dengan hak istimewa yang diberikan oleh Belanda tidak menginginkan status mereka digugat oleh gerakan-gerakan yang saat itu dianggap sebagai pemberontakan.

Bahkan kalau kita kembali pada masa sistem tanam paksa diterapkan, bukan hanya Belanda yang terlibat dan mendapatkan keuntungan dari sistem tersebut. Pribumi yang menjadi penguasa lokal pun ikut menikmati keuntungan dari sistem yang eksploitatif ini.

Pola pikir yang cenderung  mensimplifikasi dan menggeneralisasi fakta sejarah yang sebenarnya sangat kompleks akibat historiografi Indonesia yang masih bermasalah tentunya mengkerdilkan peran-peran bangsa lain yang turut membantu perjuangan bangsa Indonesia. Padahal bangsa “asing” juga memiliki peranan penting dalam proses kemerdekaan dan mempertahankan kedaulatan Indonesia.

Salah satunya peran bangsa “asing” terekam dalam film Indonesia Calling yang disutradarai oleh Joris Ivens yang menyoroti bagaimana bangsa-bangsa lain seperti Australia, China, dan India yang membantu melakukan pemogokan dengan tujuan menghentikan supply persenjataan dan tentara sekutu yang hendak diberangkatkan ke Indonesia untuk menumpas gerakan kemerdekaan.

Solidaritas dari para buruh yang bekerja di pelabuhan Australia ini bukan hanya sebatas pada melakukan pemogokan tetapi juga menginisiasi penggalangan dana untuk memproduksi film Indonesia Calling.

Namun, sayangnya peristiwa yang sangat berkontribusi bagi kemerdekaan Indonesia luput dari historiografi dominan. Salah satu faktornya adalah peristiwa ini melibatkan gerakan buruh yang oleh rezim orde baru diidentikkan dengan gerakan komunisme atau Partai Komunis Indonesia (PKI).

Segala yang berkaitan dengan PKI dan gerakan kiri lainnya harus diberangus sampai ke akar-akarnya. Rezim orde baru juga melegitimasi “kejahatan” PKI melalui penulisan sejarah, yang menurut Hilmar Farid dipenuhi tafsir yang penuh dengan fiksi dan fantasi, dan tidak boleh di ganggu gugat sebagai sejarah yang resmi (Hilmar Farid, 2008).

Historiografi hasil karya rezim orde baru ini kemudian disosialisasikan melalui pendidikan yang merupakan instrumen penting untuk merekonstruksi pemahaman mengenai pancasila dan nasionalisme yang pada masa Sukarno lebih dekat dengan penafsiran golongan kiri. Nilai-nilai nasionalisme yang seharusnya terbentuk secara dinamis pada akhirnya malah terjerumus dalam nasionalisme yang sempit dan tidak menutup kemungkinan menjadi ultranasionalisme.

Implikasi dari historiografi karya orde baru ini begitu nyata, membahayakan, dan memecah belah bangsa Indonesia. Tidak mengherankan ketika berbagai macam kelompok berebut menjadi yang paling nasionalis dengan jargon andalannya yaitu “NKRI Harga Mati” atau saling berlomba mematikan gerakan-gerakan yang dianggap melakukan perlawanan terhadap negara dengan mengasosiasikan gerakan tersebut dengan komunisme.

Padahal, banyak dari gerakan-gerakan tersebut merupakan reaksi atas ketidakadilan dan eksploitasi yang difasilitasi atau dilakukan langsung oleh negara.

Ditengah hiruk pikuk konflik antar kelompok yang berebut menjadi paling nasionalis, bukan tidak mungkin membangun ruang-ruang alternatif yang memberikan pemahaman akan sejarah yang bersifat holistik dan tidak menutup ruang bagi interpretasi yang berbeda selama dapat dipertanggungjawabkan dan berdasarkan informasi yang dapat diuji.

Film Indonesia Calling yang sudah dikemukakan sebelumnya, dapat dijadikan sebagai salah satu referensi dalam mensosialisasikan sejarah bangsa ini yang dibangun melalui semangat internasionalisme yang juga tidak terlepas dari jasa bangsa “asing”. Film ini juga merupakan salah satu dokumen penting bagi penulisan sejarah alternatif atau sebagai bahan merekonstruksi kembali sejarah Indonesia yang akan mendekonstruksi nilai-nilai nasionalisme Indonesia yang terlanjur sempit.

Rangga Naviul Wafi
Rangga Naviul Wafi
Inisiator Lintas Generasi Bookstore dan pengurus Yayasan Sirkadian
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.