Setelah lebih dari setengah abad peritiwa kelam bangsa ini berlalu, historiografi [1] terhadap peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S)[2] terus mengalami perkembangan yang dinamis.
Dalam orasi pengukuhan profesor riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Asvi Warman Adam[3] menjelaskan, historiografi peristiwa G30S pada rentang tahun 1965-2017 dapat dibagi dalam tiga periode.
Pertama, periode 1965-1968 yang berisi perdebatan siapa dalang G30S, apakah PKI atau ini hanya masalah intern Angkatan Darat (AD)? Pada masa ini berlangsung pengambilalihan kekuasaan secara bertahap dari Presiden Soekarno. Kebijakan yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa diterapkan.
Kedua, periode antara tahun 1968-1998 dimana terjadi pembuatan sejarah resmi pemerintah yang hanya memperbolehkan satu pandangan. Pada periode ini proses Desukarnoisasi terjadi.
Periode Ketiga, yaitu dimulai sejak berakhirnya era pemerintahan Soeharto tahun 1998. Pada periode ini, oleh Asvi disebut sebagai periode “pelurusan sejarah”[4], dimana para korban 1965 mulai berani berbicara dan mendapat tempat dalam tulisan sejarah.
Istilah “pelurusan sejarah” menurut Asvi dalam orasinya, dapat diperdebatkan secara ilmiah, tetapi kata itu menjadi obat atau penawar (healing) bagi para korban 1965, yang selama tiga dekade kekuasan orde baru mengalami ketidakadilan.
Perdebatan tentang dalang G30S muncul pada tahun-tahun awal pasca peristiwa tersebut. Buku yang pertama dipublikasikan tentang Gerakan 30 September 1965 berjudul 40 Hari Kegagalan “G30S”, 1 Oktober-10 November 1965 yang diterbitkan oleh Lembaga Sejarah, Staf Pertahanan Kemanan, atas prakarsa Jenderal Nasution.
Buku itu walaupun belum menggunakan label G30S/PKI sudah menyinggung keterlibatan PKI dalam percobaan kudeta tersebut kata, kata Asvi dalam paparannya. Naskah berikutnya tentang G30S pada periode pertama ini menurut Asvi yaitu sebuah tulisan di surat kabar The Washington Post, 5 Maret 1966.
Naskah tersebut dikenal sebagai Cornell Paper, walaupun Laporan penelitian yang resmi baru diterbitkan tahun 1971 namun lebih dahulu bocor ke publik AS. Laporan tersebut ditulis Ben Anderson, Ruth McVey, dan F.P. Bunnel yang menyebut percobaan kudeta G30S sebagai persoalan intern Angkatan Darat.
Tulisan lain yang berusaha menjawab perdebatan dalang G30S yaitu buku The Coup Attempt of September 30 Movement Indonesia yang menurut Asvi adalah buku tandingan dari munculnya Cornell Paper. Buku tersebut ditulis oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh dengan bantuan Guy Jean Pauker dari lembaga Rand Corporation, Amerika Serikat.
Historiografi periode kedua menurut Asvi dalam paparan orasinya, ditandai penyeragaman dan standardisasi sejarah ABRI yang dipelopori oleh Nugroho Notosusanto yang kemudian melakukan hal yang sama dalam tulisan sejarah nasional.
Buku The Coup Attempt of September 30 Movement Indonesia diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tahun 1989 dengan judul Tragedi Nasiona, Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia. Dirasa tidak cukup, pemerintah melalui Sekretariat Negara kemudian menerbitkan buku putih Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya tahun 1992.
Di penghujung kekuasan Orde Baru, tahun 1997 Alex Dinuth menyunting buku mengenai Kewaspadaan Nasional dan Bahaya Laten Komunis. Tulisan seputar G30S pada periode ini harus sejalan dengan versi tunggal milik pemerintah, setiap buku yang menawarkan versi berbeda dilarang terbit. Tahun 1995 Kejaksaan Agung membredel buku Bayang-Bayang PKI (Institut Studi Arus Informasi) yang mencoba menguraikan secara ringkas berbagai versi dalang G30S.
Desoekarnoisasi juga terjadi pada periode ini, misalnya mempersoalkan kelahiran Pancasila oleh Soekarno pada 1 Juni 1945, dibiarkannya terbit buku yang mendiskreditkan Soekarno, yang ditulis oleh Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angin, Akan Menuai Badai: G30S/PKI dan Peran Bung Karno (1988). Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid 6 yang disunting Nugroho Notosusanto peran Sukarno diperkecil dan memberi posisi lebih pada legitimasi Orde Baru.
Periode ketiga historiografi G30S dimulai sejak berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto tahun 1998. Menurut Asvi para korban yang selama 30 tahun dibungkam mulai bersuara, melakukan serangkaian pertemuan, diskusi, seminar serta pembuatan memoar. Istilah pelurusan sejarah yang Asvi lontarkan mendapat sambutan positif dari korban Orde Baru.
Menurut Asvi, pihak yang pertama melakukan pelurusan sejarah adalah Persatuan Purnawirawan Angkatan Udara Republik Indonesia (PP AURI). Mereka menerbitkan buku Menyingkap Kabut Halim untuk menjelaskan bahwa Lubang Buaya tempat pembuangan jenazah para jenderal bukanlah bagian dari Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, melainkan termasuk wilayah Pondok Gede.
Pasca Orde Baru tulisan mengenai G30S dengan beragam versi bermunculan baik yang ditulis oleh para sarjana, para korban maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam mengungkap peristiwa G30S tersebut.
Menurut Asvi, dari buku-buku yang terbit (kembali) pada periode ketiga sejak 1998 tampak bahwa historiografi G30S paling sedikit mencakup tujuh aspek, yaitu 1) Peristiwa G30S itu sendiri yang menewaskan enam orang jenderal beserta perdebatan siapa dalangnya, 2) Pengambilalihan kekuasaan Presiden Sukarno, 3) Pembunuhan massal tahun 1965/1966, 4) Eksil, pencabutan kewarganegaraan orang-orang Indonesia yang sedang berada di luar negeri, 5) Dampak terhadap etnis Tionghoa, 6) Pemindahan paksa ke Pulau Buru, dan 7) Stigma terhadap korban dan keluarganya. Pemilahan ini dapat membantu pemerintah dalam penyelesaian kasus 1965.
Pada akhir orasinya, Asvi merekomendasikan agar persoalan masa lalu seperti yang terjadi pasca-G30S 1965 sebaiknya dipilah-pilah. Tentu sulit menyelesaikan masalah pembunuhan massal tahun 1965/1966 karena ini melibatkan bukan saja pihak militer, melainkan juga kelompok masyarakat, seperti Banser NU. Ia menyarankan agar kasus eksil dan pemindahan paksa ke Pulau Buru perlu dituntaskan lebih dahulu sebab kedua kasus tersebut murni merupakan kebijakan negara.
Catatan
[1] Studi tentang penulisan sejarah.
[2] Tidak digunakan label G30S/PKI karena istilah yang digunakan gerakan itu sendiri adalah Gerakan 30 September, kata PKI baru ditempelkan sejak tahun 1966 dengan penafsiran tunggal bahwa PKI adalah dalang kudeta tersebut.
[3] Isi artikel ini diambil dari orasi pengukuhan professor riset bidang sejarah sosial politik Asvi Warman Adam di Jakarta, 26 Juli 2016.
[4] Tugas “pelurusan sejarah” yaitu menempatkan, melengkapi, dan memperjelas suatu peristiwa sejarah. Dalam kasus 1965, pembaharuan sejarah dilaksanakan dengan sumber baru (misalnya arsip yang sudah bisa dibuka di AS dan Cina), metodologi baru (sejarah lisan menjadi alternatif sumber sejarah ketika sumber tertulis sulit didapat) dan perspektif baru (sejarah bukan hanya ditulis penguasa atau pemenang, tetapi juga para korban).