Kamis, April 25, 2024

Hilangnya TPS, Hilangnya Demokrasi: Penggusuran di Bandung

Frans Prasetyo
Frans Prasetyo
Urbanist dan Peneliti Mandiri. Tinggal di Bandung.

Sistem demokrasi memberikan narasi bahwa paska pemilu, warga negara akan menjadi “supir” (yang duduk) di kursi belakang”. Nyatanya ada perpindahan giliran pemimpin terpilih dan partai politik yang akan kuasai arena politik selama 5 tahun ke depan dan malah menjadi sopir sebenarnya.

Ini gagasan demokrasi yang jelek. Warganegara tetap harus menjadi “front-seat driver” selama 5 tahun ke depan, dengan terus mengkontrol pemimpin terpilih. Nama nya supir yang harusnya di depan. Menjadi supir di depan ini yang harus jadi agenda demokrasi ke depan.

Mekanisme menjadi supir di depan ini yang harus jadi agenda demokrasi ke depan. Sistem demokrasi mengandaikan bahwa paska pemilu, warganegara akan menjadi “supir (yang duduk) di kursi belakang” (back-seat driver) atau hanya menjadi back-seat passenger yang bisa minta ganti drivernya, antara yg ditawarkan.

Demokrasi memberikan landasan kerja dalam sistem olektoral langsung dalam penyediaan pemimpin daerah hingga nasional dalam wujud Pilkada dan Pilpres. Praktik berlangsungnya proses penyediaan pemimpin ini, selain adanya kandidat, kampanye hingga penyediaan TPS Tempat pemungutan suara) yang tersebar hingga skala RT/RW dimana warga sebagai pemilik hak suara itu berada.

Beragam bentuk TPS kreatif akan muncul dalam  moment pilkada ini, khususnya kota Bandung. Berhubung sedang dalam suasana piala dunia 2018, maka tidak sedikit TPS yang menggunakan tema sepakbola, seperti yang dilakukan di TPS disekekitar Pasar Suci dan Gasibu, namun ada juga yang menggunakan tema toleransi dan kebhinekaan yang ditunjukkan oleh TPS di sekitar Cibadak.

Selain itu fasilitas (konsumsi) yang ditampilkannya pun beragam, mulai yang mewah seperti pesta lengkap dengan jamuan hidangan prasmanan seperti di TPS kelurahan Citarum  hingga yang masuk kedalam gang-gang sempit di kampung-kampung kota yang hanya menyediakan air mineral kemasan atau tidak ada sama sekali.

Namun ada hal yang menarik perhatian saya dalam pilkada provinsi dan kota kali ini. Saya mencoba mendatangi beberapa lokasi “bekas” kampung kota yang hilang akibat penggusuran dalam 4 tahun terakhir dikota ini.

Kampung Kolase yang hilang tahun 2015 lalu dan berubah jadi teras Cikapundung, kampung di Kiara Condong yang akan berubah menjadi kawasan superblock hingga kampung Tamansari yang juga hilang tahun 2016 lalu. Kampung-kampung kota ini hilang bersamaan dengan hilangnya hak politik warganya dalam pemilu-pilkada sekaligus hak (ruang) hidupnya yang dilegitimasi oleh hilangnya TPS.

Padahal dalam  momen pilkada sebelumnya, ditempat-tempat ini terdapat TPS dimana warganya bisa mempergunakan hak pilihnya sebagai warga negara. Namun negara pula yang mencabut hak pilih mereka melalui penggusuran dengan stigma warga ilegal hanya untuk mendapatkan lahan strategis untuk dikapitalisasi demi kepentingan pembangunan dan leisure warga lainnya.

Ratusan warga kehilangan hak pilihnya setelah sebelumnya kehilangan hak ruang hidupnya dan mungkin di TPS yang hilang itu dalam pilkada sebelumnya menjadi tempat memilih memilih pemimpin yang kemudian menggusurnya juga, lantas kemana mereka sekarang?. Lima tahun sekali rakyat diminta memilih lewat Pilkada.Setelah itu, rakyat mereguk air matanya sendiri, dan kembali sengsara.

“Dulu saya memilih dia, tapi dia juga yang menggusur rumah saya”, ujar salah seorang warga kampung kolase yang tahun 2015 lalu rumahnya digusur pemerintah kota untuk dijadikan taman teras Cikapundung. Ada ucapan lainnya dari warga kampung kolase juga, “dulu dikampung ini ada TPS , dan sekarang tidak ada lagi  padahal KTP saya masih tercatat sebagai warga kampung disini”.

Selain itu apatisme terhadap pilkada kali ini juga menimpa warga kampung lainnya yang mengalami ketidakadilan dalam sistem pemerintahan yang terjadi. “untuk apa ikut nyoblos, kalo nanti mereka akan menggusur kita!, buktinya sekarang rumah kita digusur oleh pemerintah yang kita coblos dalam  pilkada sebelumnya”, ujar salah seorang warga kampung Tamansari.

Ternyata, pilkada tidak menjamin bahwa warga rentan apalagi miskin terutama diperkotaan yang umumnya berada dikampung-kampung kota akan merasa terlindungi secara politik dan hukum terkait kepastian tenurial dan pemukiman yang mereka tinggal sekarang ini. Warga kampung kolase, warga tamansari, warga kiara condong, warga kebon jeruk sudah mengalami bagaimana pilkada tidak berdampak signifikan dalam kehidupan keseharian mereka, dimana tempat mereka tinggal, ruang hidupnya telah dirampas oleh oligarki hasil dari sebuah pesta demokrasi. Masih banyak warga-warga kampung kota lainnya yang rentan dan telah dibidik untuk diperlakukan serupa alias digusur.

Hilangnya kampung-kampung kota, bersamaan dengan hilangnya TPS dalam pesta demokrasi semakin melegitimasi berkurangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah, terhadap pilkada bahkan terhadap demokrasi.

Pesta demokrasi ini juga menampilkan wajah-wajah politik yang beragam, tidak semuanya buruk, ada juga yang baik dan tidak oligarkhi.  Kampung kota menghilang bersamaan dengan hilangnya TPS dalam singkatnya pesta demokrasi yang juga akan hilang untuk kembali menjadi pesta oligarki berkelanjutan. Namun disisi lain, ada juga yang ambigu dalam demokrasi ternyata, karena semakin banyak pilihan biasanya tanda ancaman kegagalan bahkan hilangnya demokrasi itu sendiri.

Frans Prasetyo
Frans Prasetyo
Urbanist dan Peneliti Mandiri. Tinggal di Bandung.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.