Kamis, April 25, 2024

Hijrah Sebagai Titik Balik Kehidupan

Rosidin
Rosidin
S3 IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pendidikan Islam [2010-2012]. Dosen STAI Ma'had Aly Al-Hikam Malang. Penggemar Kajian Tafsir Tarbawi (Pendidikan) secara khusus dan kajian keIslaman secara umum.

Hijrah merupakan titik balik (turning point) yang dibutuhkan oleh setiap manusia, mengingat perjalanan hidup ini berkelok-kelok. Islam menyeru umat muslim agar berdoa memohon ditetapkan di jalan kebenaran (shirat al-mustaqim) (Q.S. al-Fatihah [1]: 6).

Akan tetapi, setan yang arti aslinya “menjauhkan”, terus-menerus berupaya menjauhkan umat muslim dari jalan kebenaran, sehingga tergelincir ke jalan kesesatan. Setan ini bekerjasama dengan hawa nafsu dalam diri manusia.

Arti asli hawa adalah tergelincir dari tempat yang tinggi (luhur-mulia) ke tempat yang rendah (hina-dina). Jadi, setan dan hawa nafsu sama-sama menggoda keimanan manusia agar tergelincir dari jalan penuh cahaya (al-nur) ke berbagai jalan penuh kegelapan (al-zhulumat) (Q.S. al-Baqarah [2]: 257).

Ketergelinciran ini disebut al-Qur’an dengan istilah “junah” (berdosa). Misalnya, istri yang ditinggal wafat suaminya, harus memenuhi masa iddah selama 4 bulan 10 hari. Jika tidak demikian, berarti dia dinilai telah tergelincir dari jalan kebenaran (Q.S. al-Baqarah [2]: 234).

Sebaliknya, al-Qur’an menggunakan istilah “hanif” (lurus) untuk menunjukkan titik balik manusia dari jalan kesesatan menuju jalan kebenaran. Misalnya, Islam mengubah ajaran politeisme (banyak tuhan), menjadi ajaran monoteisme (tauhid), yaitu beribadah secara ikhlas semata-mata karena Allah SWT (Q.S. al-Bayyinah [98]: 5).

Dengan demikian, spirit tahun baru hijriyah (1 Muharram 1440 H) sebagai titik balik adalah hijrah dari jalan kesesatan menuju jalan kebenaran (hanif), bukan malah tergelincir dari jalan kebenaran menuju jalan kesesatan (junah).

Al-Qur’an menyebutkan kata hijrah sebanyak 31 kali dalam 27 ayat. Menurut al-Raghib al-Ashfahani dalam al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, hijrah adalah perpisahan yang dilakukan manusia melalui hati, lisan atau anggota badannya.

Pertama, Hijrah hati berkenaan dengan pembaruan motivasi hidup (tajdidun niat). Rasulullah SAW menyeru agar motivasi hidup umat muslim adalah taat kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW; bukan mengejar keuntungan duniawi (H.R. Bukhari-Muslim), baik harta, tahta maupun wanita.

Sekalipun manusia mampu menghimpun seluruh kekayaan, jabatan dan pasangan hidup yang diidam-idamkan, nilainya jauh lebih rendah dibandingkan taat kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW (Q.S. Yunus [10]: 58). Hal ini dikarenakan kekayaan, jabatan dan pasangan hidup yang tidak disertai ketaatan kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW, suatu saat pasti akan lenyap; sedangkan ketaatan kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW pasti abadi selamanya (Q.S. al-Nahl [16]: 96).

Kedua, hijrah lisan berkenaan dengan peningkatan fungsi lisan. Rasulullah SAW menyeru agar umat muslim bertutur kata yang baik, atau diam (H.R. Bukhari-Muslim). Hadis ini lebih mengutamakan bertutur kata yang baik dibandingkan diam.

Jika diam diibaratkan emas, maka bertutur kata yang baik diibaratkan permata yang lebih mahal harganya. Bila menengok fenomena masa kini yang sarat dengan beragam budaya negatif, umat muslim perlu menggelorakan kembali fungsi lisan sebagaimana yang diajarkan al-Qur’an.

Antara lain aktif memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan yang sesuai dengan syariat Islam dan kearifan lokal Indonesia (amar ma’ruf nahi munkar). Misalnya, mendakwahkan ajaran Islam yang ramah dan pro kedamaian serta mengecam keras ajaran Islam yang marah dan pro terorisme.

Tidak kalah pentingnya adalah mempraktikkan etika komunikasi sebagaimana yang diajarkan al-Qur’an. Antara lain: komunikasi yang mengandung bobot manfaat (qaulan tsaqilan), bukan bualan omong kosong (Q.S. al-Muzzammil [73]: 5), seperti infotainment; komunikasi yang penuh sopan santun atau beradab (qaulan kariman), bukan komunikasi urakan atau biadab (Q.S. al-Isra’ [17]: 23).

Seperti ujaran kebencian; komunikasi yang lemah lembut dan melembutkan hati (qaulan layyinan), bukan komunikasi yang kasar dan melukai hati (Q.S. Thaha [20]: 44), seperti membully orang; komunikasi yang sesuai situasi dan kondisi (qaulan sadidan), bukan komunikasi yang memperkeruh situasi dan kondisi (Q.S. al-Ahzab [33]: 70).

Seperti mempolitisasi ayat al-Qur’an; hingga komunikasi yang sesuai syariat Islam dan kearifan lokal Indonesia (qaulan ma’rufan), bukan komunikasi yang membenturkan syariat Islam dengan kearifan lokal Indonesia (Q.S. al-Baqarah [2]: 235), seperti gemar mengklaim kafir dan bid’ah sesat pada tradisi suro yang dipraktikkan umat muslim Indonesia.

Ketiga, Hijrah anggota badan dapat ditujukan pada peningkatan enam tujuan pokok syariat Islam (maqashid syariah). (a) Hifzh al-din (melestarikan agama). Misalnya, berhijrah menghindari berbagai kemaksiatan yang mendatangkan dosa (Q.S. al-Muddatstsir [74]: 5); (b) Hifzh al-nafs (melestarikan jiwa-raga).

Misalnya, memberi maaf (Q.S. al-Nur [24]: 22) dan tidak sampai mendiamkan orang lain (nyatru) lebih dari tiga hari (H.R. Muslim), apalagi hanya sekedar disebabkan konflik politik, harta, atau asmara; (c) Hifzh al-‘aql (melestarikan akal).

Misalnya, tidak lagi mengabaikan al-Qur’an (Q.S. al-Furqan [25]: 30), melainkan aktif membaca, menghafal, mempelajari, mengajarkan dan mengamalkan al-Qur’an; agar menjadi insan yang terbaik di sisi Rasulullah SAW (H.R. al-Bukhari); (d) Hifzh al-nasl (melestarikan keluarga).

Misalnya, menjalin hubungan keluarga harmonis yang ditandai dengan terpenuhinya hak-hak dan kewajiban suami-istri, sehingga minim konflik rumah tangga (Q.S. al-Nisa’ [4]: 34). (e) Hifzh al-mal (melestarikan harta).

Misalnya, meningkatkan kualitas kerja, bahkan bisa jadi beralih profesi atau tempat kerja, demi meningkatkan kesejahteraan hidup (Q.S. al-Nisa’ [4]: 100). (f) Hifzh al-‘irdh (melestarikan harga diri). Misalnya, meneladani Assabiqun al-Awwalun yang senantiasa bergegas dalam beramal shalih, sehingga dicintai dan diridhai oleh Allah SWT (Q.S. al-Taubah [9]: 100).

Poin terakhir tentang Hifzh al-‘Irdh, berkenaan dengan peningkatan prestasi hidup umat muslim, sehingga pantas dijadikan tolok ukur untuk menilai sejauh mana naik-turunnya prestasi hidup umat muslim sepanjang tahun 1439 H. Apakah tergolong “gagal” (zhalim), seperti minim membaca al-Qur’an; “lulus” (muqtashid), seperti aktif membaca al-Qur’an; atau “juara” (sabiq), seperti memadukan bacaan, pengamalan dan pengajaran al-Qur’an (Q.S. Fathir [35]: 32)?

Pada akhirnya, tulisan ini ditutup dengan doa: Semoga pada tahun 1440 H, umat muslim yang sebelumnya bergelimang dosa (ashhab al-masy’amah), naik status menjadi rajin ibadah (ashhab al-maymanah), syukur Alhamudulillah jika mampu menjadi ahli ibadah (assabiqun) (Q.S. al-Waqi’ah [56]: 8-10).

Referensi: http://www.animasi.top/2018/09/10-animasi-tahun-baru-islam-muharram.html

Rosidin
Rosidin
S3 IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pendidikan Islam [2010-2012]. Dosen STAI Ma'had Aly Al-Hikam Malang. Penggemar Kajian Tafsir Tarbawi (Pendidikan) secara khusus dan kajian keIslaman secara umum.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.