Istilah kata hijrah minggu-minggu ini sangat viral khusus di media sosia (medsos). Hal ini berangkat dari ajakan Presiden kita untuk mengajak kita semua khusus anak muda untuk hijrah dari pesimisme menuju optimisme.
Kata hijrah mempunyai makna yang sangat umum, secara dasar kata hijrah mempunyai makna “pindah“ bisa dari keterpurukan menuju kebangkitan. Hijrah dari menyebarakan isu politik hoaks menuju politik kebangsaan.
Akhir –akhir ini politik kita ditontonkan politik yang mengahalalkan segala cara yang jauh dari politik kebangsaan kita, wajar saja banyak orang yang kemudian mengartikan politik itu adalah buruk, menghalalkan segala cara walapun sebenarnya politik itui tidak pernah mengajarkan keburukan hanya saja dalam penerapannya banyak yang menyimpang dari teorinya.
Menurut Polri, penyebaran isu-isu hoaks adalah motifnya adalah politik. Diperkuat juga oleh pakar komunikasi Efendi Gazali bahwa jika disinggung mengenai Pilkada dan Pilpres, ia sependapat bahwa hoaks bukan dalam konteks komunikasi politik.
Artinya memang punya tujuan politik yang ingin dicapai. Bisa disimpulkan, orang yang menyebar hoaks di tahun politik adalah tujuan politik. Maka dari itu saya mengajak hijrah dari politik politik menuju politik kebangsaan.
Hal ini sangat memprihatikan bila persoalan terus berlanjut. Para elit harus punya kesadaran bersama untuk memberhentikan politik hoaks menuju politik kebangsaan yang berkualitas. Hal ini harus dilakukan pendukung para pihak, baik itu cebong atau kampret, karena menjaga bangsa kita adalah tugas anak bangsa. keduanya pendukung harus sama-sama bisa menahan untuk tidak menyebarkan politik hoaks, jika itu bisa dilakukan negeri ini tidak akan gaduh.
Bagaimanapun, hoaks adalah sumber malapetaka bagi kita semua. Ditambah lagi masyarakat kita yang hari ini cepat tersulut amarahnya, khususnya diterpa oleh isu hoaks yang bersifat agama. Jika ini dibiarkan bukan dengan tidak mungkin perpecahan antar masyarakat menjadi disparitas semakin lebar. Salah satu penyebabnya, mungkin kita apatis dan membiarkan politik hoaks merajalela.
Tak elok juga misalnya kita hanya menyalahkan kedua para pendukung pasangan calon, karena para elit juga terlibat dalam keputusan ini. Artinya untuk memberhentikan politik hoaks ini, tidak cukup kita mensosialisasikan hoaks menyebabkan malapetaka, hoaks merusak kebangsaan, jika para elit juga masih memelihara buzzer untuk memproduksi isu-isu hoaks. Untuk itu, mari bersama menyepakati bahwa problem hoaks adalah masalah kita bersama, dan harus diberhentikan bersama demi membagun Inodenesia lebih baik.
Mari kita mulai dengan politik gagasan, program yang berpihak pada rakyat agar demokrasi kita akan berjalan dengan sehat. Hijrah dari politik yang saling nyinyir, menuju saling menyayangi. Hijrah dari politik konsumtif, menuju politik yang produktif. Politik kebangsaan harus di atas segala-galanya, dengan bersama sama berkolaborasi untuk saling menguatkan membagun bangsa. Kapan lagi kita mau hijrah? Apalagi yang kita tunggu? Sebelum semuanya terlambat, mari kita hijrah berjama’ah dari politik hoaks menuju politik kebangsaan.
Politik kebangsaan
Apa politik kebangsaan itu? Mengapa kita harus hijrah dari politik hoaks menuju politik kebangsaan? Menurut Zuhairi Misrawi, politik kebangsaan, jika dulu adalah dengan berjuang melawan dengan penjajah. Bagaimana dengan konteks sekarang?
Dalam konteks sekarang politik kebangsaan adalah harus bisa diterjemahkan ke dalam aksi nyata, seperti menjaga keutuhan negara, membagun harmoni di antara masyarakat yang beragam. Menurut Gus Mus, politik kebangsaan orientasinya adalah untuk kepentingan umum, bukan kepentingan diri sendiri atau kelompok, (4/8).
Sudah saatnya membangun politik kebangsaan, menjawab persoalan yang menjadi kebutuhan masyarakat. Masyarakat menunggu bukti konkret, bukan retorika kosong yang menjadi andalan politisi kita. Sudah saatnya para politisi diminta pertangungjawaban atas semua janjinya dan keberpihakannya.
Untuk membagun politik kebangsaan di atas tidak cukup kita hanya berpangku tangan pada para elit, masyarakat juga menjadi penentu untuk membangun politik kebangsaan. Salah satu caranya adalah masyarakat harus cerdas dalam memilih pemimpin. Masyarakat harus berani tidak memilih bila mana ada politisi yang hanya berjanji, berretorika banyak tapi tak pernah bekerja nyata.
Bila masyarakat berani memberikan sangsi sosisal pada politisi yang sering melakukan janji kosong, sering mengkibuli rakyat secara otomatis akan memberikan efek jera dengan cara tidak memilih pada politik electoral.
Sudah saatnya rakyat menjadi bagian dalam menentukan politisi yang berkualitas agar kita bisa membagun politik kebangsaan yang kita inginkan. Jika rakyat cerdas, proses membangun politik kebangsaan pun akan lebih cepat. Pemimpin yang tidak berkualitas akan tersisihkan sendiri secara alam. Sesungguhnya, rakyat lah “ tuan” dari para politisi.
Apa mau rakyat menjadi korban? Jawaban hanya pada rakyat, namun yang jelas rakyat punya kendali untuk tidak memilih pemimpin yang menurutnya tidak layak untuk diberikan amanah. Rakyat punya hak untuk menentukan siapa yang berhak untuk diberikan kerpercayaan. Pada titik ini, rakyatlah yang menjadi kunci untuk melahirkan pemimpin yang berkualitas .
“Gitu aja repot” ungkapan Gus Dur kira sangat cocok untuk menutup tulisan ini.