Kamis, Oktober 3, 2024

Hentikan Politik Identitas Demi NKRI

Eko Setiobudi
Eko Setiobudi
Dr Eko Setiobudi, SE, ME Dosen di STIE Tribuana Bekasi

Ada yang hilang dalam isu-isu kontestasi pilpres 2019. Salah satunya adalah mengenai diskursus mengenai dikotomi sipil-militer. Sebagaimana diketahui, dikotomi sipil-militer menjadi salah satu arus utama isu dalam pilpres-pilpres sebelumnya, termasuk pilpres 2014 dengan kandidat Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Simak saja beberapa survei menjelang pilpres 2014 yang senantiasa menempatkan dikotomi sipil-militer menjadi salah satu isu dominan dalam quesioner survei.

Hasil survey yang dilakukan Lembaga Klimatologi Politik (LKP), menyebutkan masih tingginya minat publik terhadap capres berlatar belakang TNI, dimana 40,5 persen responden lebih menghendaki tokoh militer yang menjadi presiden. Sedangkan untuk tokoh sipil sebanyak 21,4 persen.

Lalu 27,3 persen responden tidak mempermasalahkan capres dari TNI atau sipil. Kemudian 10,8 persen responden tidak tahu. Survey LKP tersebut, dilakukan pada tanggal 20-30 Maret 2013 di 33 Provinsi dengan mengambil sampel sebanyak 1.225 responden melalui teknik multi-stage random sampling.

Ambang kesalahan (margin of error) dari survey ini adalah 2,8 persen dan level of confidence 95 persen. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara tatap muka dengan responden dan bantuan kuesioner. Hasil survey LKP tersebut, seolah menguatkan hasil-hasil survey terdahulu yang dilakukan oleh beberapa lembaga survey lainnya.

Menjelang Pilpres 2014, beberapa survey memang sudah melakukan tracking survey terhadap beberapa nama yang muncul ke publik, termasuk capres yang berlatar belakang TNI. Bahkan, beberapa survey menempatkan capres dengan latar belakang militer sebagai nomor pertama.

Sebut saja survey Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), yang dipublikasikan  23 September 2012; Prabowo (19,1%), Megawati (10,1%), dan Aburizal Bakrie (10%). Survey Lembaga Survey Nasional (LSN) yang dilakukan tanggal 10-24 September 2012; Prabowo Subianto (20,1%), Wiranto (12 %) dan Jusuf Kalla (9,4 %). Dan Survey Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) periode survey 14-24 Mei 2012; Prabowo Subianto (25.8%), Megawati Soekarnoputri (22.4%) dan Jusuf Kalla (14.9 %).

Hal tersebut, semakin menonjolkan kembali wacana terkait capres dengan latar belakang militer. Sebut saja Jend (purn) Wiranto, Letjen (purn) Prabowo Subianto, Letjen (purn) Sutiyoso, Marsekal (purn) Djoko Suyanto, Jend (purn) Endriartono Sutarto, dan  Jend (TNI) Pramono Edhi Wibowo yang juga masih aktif dan menjabat sebagai KSAD.

Hingar bingar Pilpres 2019 nampaknya jauh dari diskursus mengenai dikotomi sipil-militer, berganti dengan kuatnya diskursus mengenai politik identitas dan politik aliran. Diskursus mengenai politik identitas dan aliran di Indonesia dipopulerkan oleh Clifford Geertz, seorang antropolog berkebangsaan Amerika yang mengelompokkan cara pandang dunia orang Jawa dalam tiga kategori besar: kelas menengah agamis (santri), petani dan rakyat jelata (abangan), dan birokrat-aristokrat (priayi).

Tahun 1964, Soe Hok Gie dalam pengantar skripsinya, Di Bawah Lentera Merah, menganggap politik modern Indonesia, yang makin berkibar di awal abad ke-20, hanyalah kelanjutan dari nilai-nilai tradisional yang sudah mengakar kuat di Nusantara. Hanya saja nilai-nilai tradisional itu memakai “baju modern”. Dia mencontohkan, kaum priayi memilih bergabung ke Boedi Oetomo, santri ke Sarekat Islam, sedangkan abangan ke Sarekat Islam Merah dan PKI.

Kuatnya politik identitas dan aliran dalam Pilpres 2019, ditandai dengan: Pertama, menguatnya kelompok identitas (khususnya ulama) sebagai bargaining politik dalam pilpres.

Sebut saja dipilihnya KH. Ma’ruf Amien sebagai cawapres Jokowi, yang kuat disinyalir karena representasi KH. Ma’ruf Amien yang notabene adalah Ketua Umum MUI sekaligus Rois Amm PBNU. Sehingga keberadaanya digadang-gadang mampu mematahkan asusmsi bahwa Jokowi tidak pro terhadap ulama. Hal yang sama pada saat mencuatnya nama Ustad Abdul Somad untuk disandingkan dengan Prabowo.

Kedua, penguatan identitas kelompok. Sebut saya Nahdlotul Ulama (NU) yang notabene adalah ormas keagamaan terbesar di Indonesia, serta menguatnya kelompok alumnya 212 yang terorganisir dalam Presidium Alumni  212 yang menjadi salah satu “lokomotif” kelompok Prabowo untuk menarik simpati umat islam dalam Pilres 2019. Serta berbagai kelompok keagamaan lainnya yang bargaining posisinya cukup signifikan dalam pilpres 2019 ini.

Ketiga, menguatnya kembali isu PKI. Diskursus politik aliran khususnya yang membawa paham marxisme dikemukakan oleh Presiden Pertama Soekarno. Pemikiran politik kau pergerakan termasuk Soekarno banyak diwarnai oleh pemikiran politik berpaham nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.

Kaum pergerakan terkelompokkan dalam tiga aliran politik: kaum nasionalis, islamis, dan marxis. Meski diakui Sukarno, kategori berdasarkan pemikiran politik itu tidak ketat. Sebagai misal, tidak semua kaum marxis berhimpun di PKI, tapi ada juga di PNI. Begitu juga kaum islamis, tidak semua ke SI, tetapi ada juga di PNI dan PKI.

Alhasil, dikotomi politik aliran yang digaungkan oleh Soekarno adalah Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis). Isu PKI saat ini cukup dominan dalam pilpres 2019. Beragam isu dan hoax mengenai PKI banyak kita jumpai diberbagai media sosial termasuk dalam beragam WAG-WAG.

Keempat, menguatnya kembali politik identitas etnis. Khususnya andalah etnis China/Tiongkok. Meskipun dalam pilpres 2019 tidak ada kandidat yang berlatar belakang etnis China, namun isu etnis China cukup dominan menjadi salah satu isu politik yang bertujuan untuk menjatuhkan lawan.

Pertanyaan kemudian adalah mengapa politik identitas dan aliran sangat dominan dalam pilpres 2019? Untuk menjawab hal tersebut, kita bisa melihatnya dalam beberapa persepktif. Pertama, dikotomi sipil-militer dianggap tidak relevan lagi. Pasalnya siapapun kandidatnya yang berlatar belakang militer, setelah menjadi purnawirawan maka statusnya adalah sebagai warga sipil layaknya kebanyakan orang.

Kedua, mulai pudarnya ideologi partai politik sebagai mesin utama dalam konstestasi pilpres 2019. Pudarnya ideologi ini sebagai konsekwensi dari massifnya arus besar digitalisasi tekhnologi yang ditandai hadirnya media sosial sebagai satu ruang publik yang baru untuk menyampaikan aspirasi politiknya.

Sehingga partai politik hanya dimaknai sebagai salah satu pilar demokrasi dan sebagai jalan untuk mendapatkan “tiket” menuju Pilpres, sebagaimana yang tertuang dalam peraturan perundangan, bahwa pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus diusung dan diajukan oleh Partai politik atau gabungann partai politik.

Terlepas dari itu semua, harus disadari bahwa dominasi diskursus politik identitas dan politik aliran dalam kostentasi Pilpres 2019 memiliki resiko yang besar terhadap konflik horisontal dan perpecahkan bangsa. Pasalnya Indonesia memang dibentuk berdasarkan beragam aliran dan identitas.

Akibatnya isu politik identitas dan politik aliran sangat rentan untuk disulut menjadi perpecahan. Oleh sebab itu, menghentikan politik identitas dan politik aliran dalam pilpres 2019 jauh lebih utama untuk menjaga keutuhan NKRI. Jangan sampai fondasi yang sudah kokoh dalam bingkai NKRI, terkoyak hanya gara-gara persaingan dalam pilpres 2019.

Eko Setiobudi
Eko Setiobudi
Dr Eko Setiobudi, SE, ME Dosen di STIE Tribuana Bekasi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.