“..Dan terjadi lagi, kisah lama yang terulang kembali..”, penggalan lirik lagu yang sempat menjadi hits dan dibawakan oleh band Peterpan barangkali bisa menggambarkan sebuah kejadian yang pernah terjadi dan terulang dilingkungan sekolah kedinasan.
Menilik kembali kebelakang, kasus terakhir yang terekspos media terjadi pada kisaran Januari 2017 lalu. Kekerasan yang terjadi di lingkungan Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) menyebabkan taruna bernama Amirulloh Adityas Putra meninggal dunia, seolah-olah kembali membuka berbagai luka lama terkait kejadian serupa yang tidak hanya terjadi di lingkungan STIP, namun juga pada sekolah kedinasan lainnya seperti yang juga beberapa kali terjadi di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).
Khusus di STIP, kejadian ini juga merupakan kejadian yang terjadi kesekian kalinya setelah peristiwa yang dialami oleh Dimas Dikita Handoko (taruna STIP) pada tahun 2014 dan kejadian yang dialami oleh Agung Bastian Gultom yang juga meninggal setelah dianiaya seniornya di kampus STIP pada tahun 2008.
Hal itu perlu kembali kita renungkan dan perhatikan bersama mengingat sekolah kedinasan tersebut pada tiap tahun ajaran baru menerima siswa/taruna baru yang juga harus dijaga dan diperhatikan dari kemungkinan-kemungkinan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum senior mereka.
Dari beberapa kasus penganiayaan yang terdokumentasikan tersebut jelas bahwa hampir semua kasus kekerasan dilakukan oleh para siswa senior kepada juniornya di lingkungan sekolah tinggi tersebut.
Berangkat dari istilah relasi kuasa (Michel Foucault), bahwa dalam lingkungan Sekolah Kedinasan terdapat satu pihak (senior) yang superior mendominasi dan ada pihak lain yang inferior (junior) serta tidak memiliki daya untuk menentang karena terikat oleh aturan formal.
Seorang siswa junior tidak memiliki kesempatan dan kemungkinan melawan siswa senior. Sebab, ancaman sanksi yang mereka hadapi pasti akan datang, baik dari siswa senior maupun aturan internal yang mengikat mereka.
Kemudian, kondisi tersebut semakin mengarah kepada tradisi kekerasan dan menjadi pembenaran serta terus dipelihara dari generasi kegenarasi selanjutnya dengan dalih untuk memupuk jiwa kedisiplinan ala militer.
Perlu ada tinjauan kembali dan pematangan konsep ketika institusi sipil, terlebih dalam konteks pendidikan tinggi menyisipkan pola pendidikan semi militer yang sejatinya dirasa kurang relevan ketika para siswa-siswi tersebut nantinya lulus dan mengaplikasikan ilmunya diinstitusi sipil pemerintah maupun dilingkungan masyarakat umum.
Kita lihat sampai saat ini, justru pola pendidikan yang ditujukan untuk memupuk jiwa kedisiplinan ala militer yang dilakukan pada berbagai Sekolah Tinggi Kedinasan tersebut tidak jarang diselewengkan oleh oknum-oknum siswa/i untuk menjadi dasar pembenaran dan terus melakukan kekerasan terhadap adik tingkatnya sehingga pola tersebut terpelihara secara subur dan menjadi siklus yang tetap dan mengakar kuat.
Mereka mungkin tidak menyadari bahwa makna pendidikan disiplin untuk memupuk kedisiplinan dan tanggung jawab kemudian diartikan dengan melakukan kekerasan terhadap sesama siswa/i.
Siapa bisa Hentikan?
Banyak pihak sampai hari ini masih bertanya-tanya, sampai kapan kejadian ini terus berulang menimpa para calon abdi Negara ? lingkungan pendidikan yang seharusnya mampu mengantarkan mereka menjadi seorang abdi Negara dan bermasa depan cerah justru berubah menjadi tempat persaingan untuk menghantarkan nyawa.
Upaya pemerintah untuk menghapuskan kekerasan di lingkungan sekolah kedinasan tersebut dirasa sampai saat ini dirasa belum efektif. Pemerintah tidak memiliki solusi jangka panjang untuk menyelesaikan kasus kekerasan yang sering berujung pada kematian para siswa/i tersebut.
Jika mengingat kasus kekerasan yang terjadi, permasalahan hanya selesai pada upaya penangkapan para tersangka tanpa ada upaya nyata dan komprehensif untuk memutus rantai generasi pelaku kekerasan di kampus tersebut. Bahkan, ada pula petinggi kampus sekolah kedinasan justru dipecat ketika turut serta mengungkap budaya kekerasan, narkoba, dan seks bebas yang terjadi di lingkungan calon abdi Negara tersebut. Jangan sampai, fakta kekerasan yang terjadi dilingkungan Sekolah Tinggi Kedinasan saat ini salah ditindaklanjuti oleh pemerintah.
Kesan yang timbul di mata publik saat ini adalah bahwa pemerintah hanya cenderung reaktif, dalam artian bertindak ketika ada kasus yang muncul, memberikan janji-janji solusi alternatif jangka pendek tanpa memberikan skema kebijakan jangka panjang untuk menghapus secara menyeluruh budaya yang menjurus feodal tersebut.
Lebih lanjut lagi, juga tampak upaya pembiaran dari para pengelola di lingkungan internal masing-masing sekolah kedinasan. Kejadian tindak kekerasan yang terus menerus berulang hingga menyebabkkan kematian bahkan terkesan terus terpelihara. Hal ini kemudian yang menimbulkan persepsi publik bahwa Sekolah Tinggi Kedinasan identik dengan budaya kekerasan dan kekerasan tersebut seolah-olah terus dibiarkan.
Lantas jika masalah kekerasan dilingkungan sekolah kedinasan sudah akut seperti ini, siapa lagi yang bisa hentikan rentetan kasus tersebut? Bagaimanapun juga, sekolah kedinasan harus dikelola dengan profesional baik oleh Pemerintah maupun pengelola di tingkat internal tanpa “embel-embel” budaya kekerasan sebagai dalih kedisiplinan.
Para siswa/i tersebut merupakan bagian dari generasi penerus bangsa yang harus mendapatkan jaminan hak keamanan, kenyamanan dan keselamatan dalam proses mengenyam pendidikan. Jangan sampai cita-cita untuk turut memajukan bangsa harus dibayar mahal dengan mati sia-sia.