Minggu, Desember 14, 2025

Hegemoni Amerika Serikat di Timur Tengah Pasca Perang Teluk

Nasywa Dzakirah
Nasywa Dzakirah
Nasywa Dzakirah is an undergradute student of International Relations at University Sriwijaya, Indonesia, focusing on global communication and digital authoritarianism
- Advertisement -

Perang Teluk 1991 menandai fase baru keterlibatan Amerika Serikat (AS) secara langsung dan terbuka di Timur Tengah. Intervensi terhadap Irak bukan hanya bertujuan membebaskan Kuwait, tetapi sekaligus mengokohkan dominasi AS sebagai aktor utama dalam politik keamanan kawasan. Sejak saat itu, pengaruh politik, militer, dan diplomatik Amerika terus membentuk dinamika konflik Timur Tengah hingga hari ini.

Namun lebih dari tiga dekade kemudian, stabilitas yang dijanjikan melalui kehadiran Amerika justru terus dipertanyakan. Kawasan ini tetap diliputi konflik berkepanjangan, krisis kemanusiaan, dan rivalitas antar-kekuatan regional.

Perang Teluk dan Institusionalisasi Kehadiran Militer AS

Pasca Perang Dingin, Perang Teluk menjadi momentum strategis bagi Amerika Serikat untuk membangun tatanan keamanan baru di Timur Tengah. Penempatan pangkalan militer di Arab Saudi, Bahrain, Qatar, dan Kuwait memperkuat posisi AS sebagai penjamin keamanan kawasan Teluk.

Kepentingan utama Amerika adalah stabilitas pasokan minyak global dan perlindungan sekutunya, terutama Israel. Kawasan Teluk memegang peran kunci dalam sistem energi dunia. Oleh karena itu, keterlibatan Amerika tidak dapat dilepaskan dari kepentingan ekonomi-politik global yang lebih luas.

Invasi Irak 2003 dan Produksi Instabilitas Baru

Invasi ke Irak pada 2003 menjadi ekspansi paling kontroversial dari kebijakan luar negeri Amerika di Timur Tengah. Dengan dalih senjata pemusnah massal, Washington menggulingkan Saddam Hussein. Namun, kegagalan membangun tatanan politik pasca-konflik justru memicu instabilitas panjang.

Fragmentasi sektarian, melemahnya institusi negara, serta kemunculan kelompok ekstrem seperti ISIS menunjukkan bahwa intervensi AS tidak menghasilkan stabilitas, melainkan menciptakan kekacauan struktural. Dalam konteks ini, Amerika tidak hanya berfungsi sebagai “penjaga keamanan”, tetapi sekaligus menjadi aktor yang turut memproduksi krisis.

Israel–Palestina dan Delegitimasi Peran Amerika

Dukungan tanpa syarat Amerika Serikat terhadap Israel semakin memperumit posisi AS sebagai mediator konflik. Bantuan militer, perlindungan diplomatik di Dewan Keamanan PBB, serta legitimasi politik terhadap Israel menciptakan persepsi kuat di dunia Arab bahwa Amerika menjalankan standar ganda.

Sementara Amerika menggaungkan demokrasi dan hak asasi manusia, pelanggaran HAM terhadap warga Palestina kerap tidak direspons secara konsisten. Inkonsistensi inilah yang melemahkan legitimasi moral Amerika di mata masyarakat Timur Tengah.

Iran, Proxy War, dan Lanskap Persaingan Baru

Hubungan permusuhan Amerika dengan Iran sejak 1979 melahirkan pola konflik tidak langsung di berbagai titik kawasan, mulai dari Suriah, Irak, hingga Yaman. Kebijakan sanksi, tekanan diplomatik, dan manuver militer digunakan untuk membendung pengaruh Teheran.

Dalam lanskap ini, Timur Tengah bukan lagi sekadar kawasan konflik internal, tetapi juga arena pertarungan geopolitik global. Amerika, Rusia, dan China kini terlibat dalam kompetisi pengaruh yang semakin terbuka.

- Advertisement -

Erosi Hegemoni dan Tantangan Multipolaritas

Pasca Arab Spring, posisi Amerika semakin berada dalam dilema. Dukungan terhadap rezim otoriter tetap dipertahankan demi kepentingan keamanan, sementara agenda demokratisasi kehilangan konsistensinya. Pada saat yang sama, China memperluas pengaruh ekonomi melalui investasi dan inisiatif Belt and Road, sementara Rusia menunjukkan kapasitas militernya di Suriah.

Dominasi tunggal Amerika di Timur Tengah perlahan mengalami erosi. Kawasan ini bergerak menuju lanskap geopolitik yang lebih multipolar, meskipun pengaruh AS masih jauh dari kata hilang.

Penutup

Lebih dari tiga dekade pasca Perang Teluk, pengaruh politik Amerika Serikat di Timur Tengah menunjukkan paradoks besar. Di satu sisi, Amerika masih menjadi aktor kunci dalam arsitektur keamanan kawasan. Namun di sisi lain, intervensi yang berulang justru cenderung mereproduksi instabilitas.

Masa depan Timur Tengah akan sangat ditentukan oleh kemampuan negara-negara kawasan membangun tatanan keamanan regional yang lebih mandiri, tanpa terus terjebak dalam tarik-menarik kepentingan kekuatan eksternal.

Referensi

Gause, F. Gregory. The International Relations of the Persian Gulf. Cambridge University Press.

Mearsheimer, J. J., & Walt, S. M. (2006). The Israel Lobby and U.S. Foreign Policy. London Review of Books.

Acharya, Amitav. (2014). The End of American World Order. Polity Press.

International Crisis Group. (2023). US Influence and Power Shifts in the Middle East.

Nasywa Dzakirah
Nasywa Dzakirah
Nasywa Dzakirah is an undergradute student of International Relations at University Sriwijaya, Indonesia, focusing on global communication and digital authoritarianism
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.