Kamis, April 18, 2024

Hati Indonesia

Dito Ariotedjo
Dito Ariotedjo
Ketua Umum Angkatan Muda Pembaruan Indonesia/AMPI

Jika anda jalan-jalan di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan banyak lainya, terdapat sangat bangat objek mata yang membanggakan. Gedung-gedung tinggi nan menawan, mall-mall modern yang ciamik, spot-spot wisata budaya yang indah,  serta kekhasan-kekhasan lainnya. Tapi itu bukanlah Kota secara keseluruhan.

Karena sangat banyak gang-gang sempit di mana pemukiman terlihat sangat berdesak-desakan. Ada pengamen dan pengemis yang terpaksa betah di lampu merah. Ada prostitusi, terselubung atau terang-terangan yang menyelip. Bahkan ada rumah-rumah megah yang berdiri di atas modal-modal halal ataupun modal-modal korupsi. Serta banyak lagi.

Selain itu, ada pula masjid-masjid yang megah di tengah kota. Di gang-gang, mushola dan masjid kecil menyempil di antara rumah-rumah kontrakan. Ada gereja yang menyender di jalan-jalan utama. Ada vihara. Dan tempat ibadah lainya. Lalu adzan berkumandang di tengah seliweran manusia-manusia yang sibuk saban hari, ibarat kiamat akan disegerakan. Ada suara-suara nyanyian teologis di gereja-gereja hari Sabtu dan Minggu.

Semuanya ritmik dalam perbedaan.  Solid dalam kemasing-masingannya.  Sehingga kota terasa tak satu warna,  ada beraneka ragam gerak kehidupan yang sedang menuai kemanfaatan.

Dan jika kita mengingat Indonesia di media-media, yang ada tak hanya tentang pidato presiden, seteru para elit, peluk-pelukan para punggawa kekuasaan, mobil-mobil mewah perangkat negara, rumah-rumah mentereng para konglomerat, pesawat-pesawat superpribadi para manusia superkaya, gelagat manja para artis layar kaca, atau sejenisnya.

Tapi juga tentang gaji si buruh yang tak cukup, pendapatan tukang becak yang tak mangkrak-mangkrak, si penjaja cinta yang tak bertemu pintu untuk pulang ke rumah pertaubatan, si tukang parkir yang rindu punya mobil, atau tentang petani yang semakin sepi, peternak sapi yang kian tak berseri, pencuri sendal yang dibui tanpa mampu melakukan gugatan praperadilan, dan atau tentang pedagang pasar yang terusir setelah terbakar.

Indonesia bukan hanya soal Jokowi, SBY, atau Prabowo. Bukan pula soal Anies-Sandi. Pun bukan pula soal Ahok saja. Mereka hanya penampakan puncak bukit, yang kadang lupa pada lembah dan lereng, lupa pada jalan setapak menuju puncak, atau lupa pada batang dan dahan pohon yang mereka pegangi saat mendaki.

Dengan lain perkataan, mereka hanya satu dan dua, bukan seratus dan dua ratus juta.  Dan mereka bukan satu dan dua manusia yang paling berhak untuk memonopoli sebutan “Saya Indonesia”.

Si Udin tukang sapu pun boleh mengucapkan itu dengan pongahnya. Si bedu yang germo pun demikian. Atau si Munir yang tukang urut juga sama. Toh kita sama-sama Indonesia. Dan tak salah jika kita sama-sama berbangga ria mengatakannya. Mencari Indonesia sama ibaratnya dengan menjawab pertanyaan siapa diri kita.  Yang mampu kita lakukan hanya menujuk salah satu anggota tubuh, yang sering mengarah ke dada, padahal tubub kita bukan hanya dada.

Begitu pula dengan Indonesia. Yang mampu kita lakukan hanya menunjuk peta dunia,  atau melihat peta Indonesia dan berkilah bahwa itu lah Indonesia. Semudah itu?  Nampaknya memang itu yang kerap kita lakukan.

Paling banter kita hanya bisa menjawab bahwa Indonesia adalah negara yang presidennya saat ini bernama Jokowi, ketua DPR sebelumnya jadi terdakwa, penduduknya 270 jutaan, menyebar dari Sabang sampai Merauke, dan jawaban sejenis lainya.

Gaya menjawab yang demikian tak berbeda dengan apa yang biasa dilakukan oleh BPS saat merilis data. Pengangguran turun sekian persen dari angka sekian ke angka sekian. Kemiskinan menurun dari sekian ke sekian. Pertumbuahan kita tercatat sekian, naik sekian dibanding kuartal lalu atau tahun lalu. Dan seterusnya.

Perkara yang miskin kian tercekik, kian tengkurep rejekinya, kian sulit jalan hidupnya,  itu jelas perkara lain. Perkara yang menganggur kian sulit mendapat pekerjaan, kian sulit bersaing di kancah tenaga kerja, atau kian mangkel hatinya gegara tenaga kerja berdatangan secara masif dari luar daerahnya,  itu tentu soal lain. Dan perkara para koruptor yang makin kaya, makin menikmati buih-buih kesurgaan dari pertumbuhan ekonomi kita, itu juga dipastikan perkara lain.

Jadi yang mana yang sebenarnya sebagai Indonesia itu? Kemana kita mesti mencarinya? Jawaban sederhana bin absurdnya adalah ke dalam hati. Di dalam hati kita pelihara persatuan satu negara bangsa. Entah siapa saja manusia-manusia yang ada di luar lingkungan kita, di luar pulau di mana kita menetap, selama ada dalam garis batas Indonesia, mereka sejatinya juga ada dalam hati kita.

Syukurlah bagi yang sudah berkeliling Indonesia. Bertemu langsung dengan banyak saudara sebangsa setanah air. Berbagi senyum dan cerita. Tapi bagi yang masih tetap di tempat, belum kesampain untuk berkeliling,  jangan bersedih. Hati kita tentu sama, yakni “Hati Indonesia”.

Dengan hati tersebut,  kita saling menyayangi. Dengan hati tersebut, kita saling menghormati eksistensi masing-masing, saling mendoakan agar kita tetap sebangsa setanah air selama negara ini tetap ada.

Tidak perlu kita saling membenci, saling mencaci, saling menumpahkan kekesalan dengan cara-cara yang tak pantas. Layaknya sebuah negara, Indonesia kita juga punya sistem hukum. Jika kurang, mari ditambah bersama-sama. Jika berlebihan, mari disesuaikan bersama-sama pula.

Toh apapun perbedaan kita, kita adalah insan-insan yang sehati, insan-insan yang dianugrahi Hati Indonesia, hati yang seluas samudra, hati yang tertip berjejer layaknya pulau-pulau,  dan hati yang ceria layaknya gairah air terjun-air terjun yang memeluk lembah.

Dalam hati kita tetap bersatu. Dalam hati kita tetap sama-sama bangga bahwa kita adalah saudara. Presiden adalah saudara kita. Menteri-menteri adalah saudara kita. Ketua partai-partai pun demikian. Apalagi wakil-wakil kita. Oleh karenanya, mereka harus bekerja untuk kita sebagai saudarannya.  Mereka tak boleh sombong kepada kita sebagai saudaranya.

Mereka tak boleh lalai kepada sikapnya. Mereka harus benar-benar berfikir ratusan kali dalam menentukan sikap kepada kita.  Mereka harus menimbang jangan-jangan mereka akan menyakiti kita.  Jangan-jangan mereka akan merugikan kita. Dan jangan-jangan mereka akan melalaikan kita.  Itu lah yang harus mereka pikirkan sebelum bersikap kepada kita sebagai saudara.  Karena hati mereka sama dengan hati kita, yakni Hati Indonesia.

Dito Ariotedjo
Dito Ariotedjo
Ketua Umum Angkatan Muda Pembaruan Indonesia/AMPI
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.