Kamis, April 25, 2024

Hati-Hati dengan Orang Baik Jelang Pemilu

Di Mashudi
Di Mashudi
Suka Ngopi

Sebelumnya, saya akan menceritakan suatu peristiwa yang cukup mengocok perut. Ceritanya begini.

Pada Pemilu tahun 2014, pukul 19:00 saya berdiam diri di dalam kamar kos berukuran 3×4 dalam keadaan lapar yang menyengat. Pada saat itu saya tidak punya uang sama sekali, tidak punya pulsa untuk menghubungi teman, dan tidak punya kendaraan untuk keluar kos.

Karena lapar yang teramat sangat, saya memberanikan diri untuk jalan kaki menuju ke kos teman yang kebetulan tidak terlalu jauh, namun cukup menguras keringat. Di tengah perjalanan, tak disangka saya bertemu dengan seorang teman karib yang sudah lama sekali tidak kelihatan batang hidungnya. Dengan kata-kata yang manis, ia membujukku untuk mengantarkan ke tempat tujuan.

Dengan kendaraan Vario yang masih segar, kami pun melaju melewati gang-gang yang tidak lagi gelap dan dipenuhi dengan baliho-baliho para caleg bergelayut di tiang listrik, dan tempat umum lainnya sampai mengalahkan baliho pendaftaran sekolah menengah dan universitas.

Sebelum sampai ke tujuan, tiba-tiba teman yang sedang asyik nyetir menawari saya untuk makan di warung dengan alasan sudah lama tidak makan bareng dan berbincang-bincang. Dengan senang hati saya mengiyakan tawarannya, karena memang kondisi perut sangat lapar, mungkin sudah dua hari tidak merasakan kelembutan nasi.

Singkat cerita, selepas saya melahap makanan yang telah dipesan oleh teman karib, saya merasa berhutang budi kepadanya karena sudah berbaik hati kepada seorang yang sedang kelaparan di tanah rantau yang sangat ganas. Kami pun ngobrol ngalor-ngidul samapai lupa hendak kemana sebelumnya.

Di tengah-tengah keasyikan kami mengobrol, tiba-tiba ia menanyakan saya perihal pilihan politik. Lagi-lagi dengan kata-kata yang dipoles begitu indah dan kedengaran sangat manis; ia meminta saya untuk mencoblos salah satu paslon di pemilu mendatang. Dengan lihai, ia menjelaskan program kerja paslon yang ia dukung, seolah telah melebihi paslon itu sendiri. Saya mendengarnya dengan seksama, meski sebenarnya sangat malas.

Tanpa rasa lelah dan lidah yang kelu, ia terus mempresentasikan soal paslon yang ia dukung sampai kemudian datang kembali pertanyaan kepada  saya soal pilihan. Saya hanya menjawab sekenanya saja, “soal pilahan itu urusan individu,” kata saya saat itu.

Namun, ia tidak puas dengan jawaban saya – biasa seorang tim sukses pasti membutuhkan kepastian, persis saat kita nembak cewek butuh jawaban pasti – ia terus membujuk saya tiada henti sampai saya benar-benar merasa malas dan muak mendengarnya.

Mungkin karena menerima jawaban yang kurang memuaskan, tiba-tiba ia bilang: “ayolah, kamu kan sudah saya tolong, sekarang giliran kamu menolong saya, tolong coblos nomor urut ini..” ujarnya sambil menyodorkan selembar stiker bergambar paslon yang sedang nyengir.

“Busyet..” kataku membatin.

Sekian…

Dari cerita di atas dapat kita simpulkan bersama atau sendiri-sendiri juga nggak apa-apa, bahwa kebaikan yang disebarkan dalam proses menuju hari H Pemilu tidaklah seperti kita menyebarkan kebaikan kepada calon pacar atau pasangan kita yang sangat tulus. Berbuat baik boleh, minta pamrih jangan! Biarkan Tuhan yang membalasnya.

Sebentar lagi Pemilihan Umum 2019 akan dilaksanakan, apa yang harus kita lakukan? Jawaban yang tepat adalah nyoblos, sebab golput tidak baik, katanya. Dalam tindak-tanduk pemilu yang sebentar lagi akan dilaksanakan sejatinya tidak pernah ada persoalan, bagaimana tidak, wong nyoblos sebenarnya tidak susah-susah amat. Justru menjadi persoalan adalah proses pemenangan salah satu pasangan calon (paslon), baik legislatif maupun ekskutif, baik tingkat darah maupun nasional yang diusung oleh tim sukses (timses) masing-masing.

Saya tegaskan sekali lagi bahwa masyarakat – apalagi saya – sebenarnya tidak ada persoalan dengan Pemilu 2019 yang dipilih secara langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sebab, hal tersebut lumrah terjadi dalam negara dengan sistem demokrasi yang akut (sebanarnya). Hanya saja, mendekati Pemilu 2019 masyarakat mulai jengah dengan tindak-tanduk para timses dan juru kampanye yang memiliki kebaikan ekstra pamrih. Kebaikannya sering dikagumi, tapi pamrihnya yang bikin rugi.

Sejak 2004, lima belas tahun sudah pemilu menjadi bagian dari hidup kita, tentu saja bukan waktu yang sebentar untuk membuat orang pura-pura baik setiap lima tahun sekali.  Dan parahnya, saat ini kita akan sering sekali menemukan makhluk-makhluk yang sedemikian di sekitar kita, atau bahkan sedang menemani anda ngopi sambil menawarkan serba-serbi yang hubungannya dengan kondisi saat ini. Positif?

Tentu saja yang ditawarkan selalu hal yang positif. Misalnya, bersedia menemani anda ngopi sampai mampus, mengantarkan hingga ke kos/kontrakan, menawari anda mampir ke warung sebelah untuk makan, dan semacamnya.

Saya tegaskan lagi, berhati-hatilah jika anda mendapati orang yang tiba-tiba baik kepada kita apalagi sebelumnya biasa-biasa saja. Sebab, karena ketidakhati-hatian kita dalam menyikapi setiap insan menjelang Pemilu akan berefek pada kesejahteraan kita sebagai masyarakat.

Apa hubungannya dengan kesejahteraan? Berhubungan sekali. Proses pemilu adalah proses demokrasi dalam menentukan pemimpin kita selama lima tahun ke depan, dengan suara yang kita berikan berarti kita sudah memberikan kepercayaan kepada calon pemimpin kita untuk memimpin. Bagaimana kalau suara yang kita berikan hanya karena bujukan seorang timses? Atau suara yang akan kita berikan kepada salah satu paslon karena uang yang diberikan oleh timses? Jelas hal tersebut akan memengaruhi kesejahteraan kita lima tahun ke depan.

Seluruh logistik yang dikeluarkan oleh timses tentu saja membutuhkan uang, membujuk orang supaya memilih paslonnya membutuhkan uang, termasuk pura-pura baik untuk mengambil hati masyarakat juga membutuhkan uang. Tahukah kita dari mana uang tersebut? Uang tersebut tak lain dan tak bukan adalah sumbangan paslon kepada partai pengusung yang kemudian disebarkan ke setiap timses di berbagai penjuru mata angin.

Uang-uang yang telah dikeluarkan oleh paslon tidak dibiarkan ludes begitu saja, melainkan akan mencari cara bagaimana mengembalikan uang modal politik yang telah dikeluarkannya.

Salah satau cara yang lazim dilakukan misalnya kalau ditingkat daerah adalah proyek jalan beraspal; yang seharusnya diaspal dengan ketebalan 7cm disulap menjadi 3cm, yang seharusnya diaspal sepanjang 20km disulap menjadi 12km. Sungguh miris. Itu hanya satu permisalan saja, jika disebutkan semua, mungkin kita semua akan geram mendengarnya.

Oleh karenanya, dengan situasi politik yang penuh intrik dan cenderung menggunakan berbagai cara untuk meraup keuntungan suara dari masyarakat, kita perlu berhati-hati jangan sampai nasib kita selama lima tahun tergadaikan karena ceroboh dan tidak berhati-hati kepada orang yang tiba-tiba baik kepada kita.

Sampai saat ini saya yakin seyakin-yakinnya, masyarakat pasti mengerti mana orang yang baik karena kepentingan politik di belakanganya, dan mana orang yang baik karena ikhlas menolong kita. Ya, ikhlas seperti kita menolong calon kekasih yang sedang kesulitan.

Di Mashudi
Di Mashudi
Suka Ngopi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.