Mahasiswa adalah tombak utama pada kemajuan bangsa. Terutama penguasaan ilmu pengetahuan pada bidang sains dan teknologi. Sebagai seorang mahasiswapascasarjana yang berada di negara berkembang, tentunya dihadapkan oleh sulitnya akses terhadap jurnal ilmiah bereputasi tinggi, hal ini adalah sebuah kenyataan yang tak terbantahkan.
Di Indonesia, perguruan tinggi negeri maupun swasta bereputasi sebenarnya telah memiliki akses dengan membayar biaya tahunan untuk melanggan jurnal ilmiah di publisher bereputasi tinggi seperti Elsevier dan yang lainnya, itupun terkadang masih banyak jurnal yang tidak bisa terakses. Implikasinya, Indonesia masuk dalam daftar 10 besar negara pengaksesjurnal ilmiah bereputasi berdasarkan data dari Sci-Hub (September 2015-Februari 2016).
Indonesia memiliki banyak perguruan tinggi, mulai dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) hingga Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Berdasarkan data dari Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (Ristekdikti) pada tahun 2017, total perguruan tinggi di Indonesia berjumlah sekitar 4500 unit.
Namun, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia untuk Ristekdikti masihsangat minim, terlebih lagi dana APBN Indonesia yang dialokasikan untukpenelitian hanya sekitar 0,1% dari produk domestik bruto. Pemerintah Indonesia (Ristekdikti) masih memiliki banyak tugas untuk memperbaiki sektor pendidikan tingginya dan menciptakan iklim pendidikan tinggi yang berkualitas, termasuk menyediakan akses terhadap jurnal ilmiah bereputasi secara legal.
Sci-Hub Menembus Paywall dari Jurnal Bereputasi
Bulan lalu, sebuah berita menggemparkan terbit di Science Magazine dengan judul “Court demands that search engines and internet service providers block Sci-Hub” yang ditulis oleh Lindsay McKenzie. Pengadilan di Virginia (Amerika Serikat) memutuskan bahwa Sci-Hub harus membayar ganti rugisenilai US$ 4,8 juta setelah pengadilan mengabulkan tuntutan American Chemical Society (ACS) atas tuduhan pelanggaran hak cipta dan perwakilan Sci-Hub gagal menghadiri pengadilan. Efeknya adalah Sci-Hub kehilangan portal-portal utamanya, meskipun saat ini portal Sci-Hub yang baru tetap terbentuk kembali. Sebelumnya, pada tahun 2015, Elsevier (Belanda) juga telah memenangkan gugatan senilai US$ 15 juta terhadap Sci-Hub.
Sci-Hub adalah website dengan sekitar 64,5 juta artikel dari berbagai jurnal ilmiah pada publisher yang memiliki reputasi tinggi. Sci-Hub melakukan bypass terhadap paywall-nya sehingga kita bisa mengakses jurnal ilmiah berbayar dengan bebas.
Alexandra Elbakyan adalah kunci dibalik Sci-Hub. Mahasiswa pascasarjana dari Kazakhstan ini mendirikan Sci-Hub pada tahun 2011 akibat reaksi dari tingginyaharga yang dipatok oleh publisher jurnal ilmiah bereputasi. Bayangkan saja, setiap artikel ilmiah yang tersembunyi dibalik paywall dihargai sekitar US$ 30 hingga US$ 40.
Keinginan Elbakyan untuk membuat ilmu pengetahuan dapat diakses oleh semua orang sebenarnya sejalan dengan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948. Tepatnya pada Pasal 27 Ayat 1, yang berbunyi setiap orang berhak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat dengan bebas, untuk menikmati kesenian, dan untuk turut mengecap kemajuan dan manfaat ilmu pengetahuan.
Sekilas tampak bahwa Elbakyan sangatlah tepat melakukan hal tersebut dengan mendirikan Sci-Hub yang menembus paywall. Namun, pada dasarnya apa yang dilakukan oleh Elbakyan itu tetaplah sebuah pelanggaran hakcipta. Disisi lain, kita mungkin tidak seharusnya menyalahkan Elbakyan sepenuhnya karena apa yang dia lakukan bisa membuka mata dunia dan menginisiasi gerakan open access untuk ilmu pengetahuan.
Komersialisasi Ilmu Pengetahuan dan Ketidakadilan
Peneliti, akademisi, dan mahasiswa di negara-negara berkembang adalah yang paling dirugikan dari akses yang mahal terhadap jurnal ilmiah bereputasi. Satu buah artikel di jurnal ilmiah bereputasi yang seharga puluhan dolar Amerika Serikat tampaknya adalah sebuah harga yang tidak masuk akal. Bahkan tetap saja tidak sebanding dengan rata-rata gaji peneliti atau akademisi, apalagi seorang mahasiswa. Saat ini, bisnis di bidang akademik terlihat kejam dan tidak adil, memang tidak ada yang membakar buku-buku di perpustakaan. Namun, menyembunyikan pengetahuan dibalik paywall dengan harga mahal.
Tahun lalu, Science Magazine memuat artikel berjudul “Who’s Downloading Pirate Papers? Everyone” yang ditulis oleh John Bohannon. Pada artikel tersebut disajikan banyak data fakta terkait sepak terjang Sci-Hub, salah satunya adalah terkait 10 besar negara dengan total jumlah pengakses terbanyak.
Indonesia menduduki peringkat kesembilan dengan 461.345 total jumlah dokumen jurnal ilmiah yang terunduh. Peringkat pertama adalah Iran dengan 2,6 juta, lalu Tiongkok sekitar 2,3 juta, India yang hampir 2 juta, Rusia yang mendekati1 juta, diikuti oleh Amerika Serikat dengan total 714.082 unduhan dokumen artikelilmiah. Menariknya, Amerika Serikat menduduki peringkat kelima. Selain itu,salah satu kota dengan pengakses terbanyak adalah Silicon Valley yang merupakan markas raksasa teknologi seperti Apple, Facebook, dan Google. Sebanyak 28 juta dokumen artikel ilmiah telah diunduh dari negara-negara ini antara September 2015 hingga Februari 2016, serta sebagian besar artikel yang diunduh berasal dari bidang sains dan teknologi. Saat ini, Sci-Hub adalah perpustakaan terbesardi dunia jika ditinjau dari volume akses yang sebesar itu.
Disisi lain, 65 dari 100 artikel ilmiah dengan predikat paling banyakdisitasi, tersembunyi dibalik paywall. Pada artikel berjudul “Who’sDownloading Pirate Papers? Everyone”, tiga teratas yang paling banyakdiakses adalah “Full-scale modal wind turbine tests: comparing shakerexcitation with wind excitation, Structural Dynamics and Renewable Energy”yang terbit pada tahun 2010, “Comprehensive, Integrative Genomic Analysis of DiDuse Lower-Grade Gliomas” yang terbit pada tahun 2015, “Photosensitivefeld emission study of SnS2 nanosheets” yang terbit pada tahun 2015. Selain itu, Elsevier merupakan publisher utama dengan lebih dari 9 juta permintaan unduhan, lalu Springer dengan lebih dari 2,5juta permintaan unduhan, dan berikutnya adalah IEEE dengan lebih dari2 juta permintaan unduhan.
Jika kita meninjau kembali artikel berjudul “Who’s Downloading Pirate Papers? Everyone” dan Pasal 27 Ayat 1 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948), seharusnya PBB sudah saatnya menggencarkan gerakan open access serta menghapuskan paywall untuk memastikan semua orang di dunia telah mendapatkan akses pada kemajuan ilmu pengetahuan terkini melalui artikel-artikel di jurnal imiah bereputasi. Selain itu, perlu juga membentuk kolaborasi-kolaborasi internasional yang mungkin bisa diinisiasi oleh Ristekdikti di Indonesia dengan negara-negara maju yang lain untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia, terutama terkait ketersediaan aksesterhadap jurnal-jurnal ilmiah bereputasi tinggi secara legal.