Senin, November 4, 2024

Harmoni Zaman Jokowi

Faozan Amar
Faozan Amar
Sedang menyelesaikan S3 Ilmu bisnis Universitas Pancasila. Aktifitas sebagai Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UHAMKA. Direktur Al Wasath Insitute, Sekretaris Lembaga Dakwah khusus PP Muhammadiyah dan Ketua PP Baitul Muslimin Indonesia
- Advertisement -

Salah satu pesan penting yang sering disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam memberikan sambutan di setiap forum umat Islam tingkat nasional seperti muktamar, adalah pentingnya menjaga persaudaraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Indonesia yang memiliki 714 suku dan lebih dari 1.100 bahasa lokal merupakan anugerah dari Yang Maha Kuasa. Karena itu persaudaraan menjadi hal yang amat penting dan strategis bagi keutuhan Indonesia.

“Saya percaya ketika sesorang mendalami ajaran Islam, mempelajari dan mengamalkan apa yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW, orang itu akan menjaga betul persaudaran  atau ukhuwah, baik ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sebagai sesama Muslim), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebagai sesama bangsa), maupun ukhuwah bashariyah (persaudaraan sebagai sesama manusia). Apalagi umat Islam di Indonesia hidup dalam keberagaman” ujar Presiden Jokowi saat memberikan sambutan pada pembukaan Muktamar XII Jam’iyah Ahli Thoriqoh Al Mu’tabariyah dan An Nahdliyah di Kajen Pekalongan (15/1/2018).

Bahkan, untuk memperkuat argumentasinya, presiden Jokowi mengutip pesan dari Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Azis dan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani, yakni agar berhati-hati karena memimpin 714 suku  dan 6 agama yang berbeda-beda bukanlah perkara mudah. Namun demikian, di usia Republik Indonesia yang ke 72 tahun, ukhuwah nyatanya dapat terjaga.

Hal ini diperkuat oleh laporan tahunan Setara Institute menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan sepanjang 2017 menurun jika dibandingkan tahun sebelumnya. Walaupun penurunan itu hanya terlihat dari segi kuantitatif. Sedangkan dari segi kualitatif ancaman terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan masih sangat menyedihkan.

Begitu juga dengan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dilakukan Negara juga mengalami penurunan. Pada tahun 2016, jumlah angka pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dilakukan Negara mencapai 140, dan menurun menjadi 75 tindakan di tahun 2017. Sedangkan yang dilakukan oleh aktor non Negara stabil di angka 126 tindakan. Hal ini disebabkan karena peradaban dan pengajaran kebhinekaan di Negara ini belum selesai. Ini tentu menjadi PR pemerintahan Jokowi JK yang tersisa sekitar dua tahun lagi.

Dengan kebhinekaan yang dimilikinya itu, maka harus menjadi kesadaran seluruh elemen bangsa, utamanya para pengambil kebijakan, bahwa ada potensi besar disharmoni di Negara ini jika intoleransi terus dibiarkan. Namun, kita juga melihat di era pemerintahan Jokowi ini upaya untuk menjaga dan merawat harmonisasi tersebut dilakukan.

Pertama, sebagai upaya preventif, Pemerintah telah membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKPPIP) yang sekarang akan ditingkatkan menjadi Badan Pembinaan Pancasila, untuk mensosialisakan ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kedua, pemerintah membentuk Badan Siber Nasional yang bertugas untuk melakukan upaya preventif dan kuratif dalam penyalahgunaan media sosial, seperti ujaran kebencian, penyebaran berita bohong (hoax), dan sebagainya. Ketiga, memberikan tindakan tegas kepada pihak-pihak yang melakukan ujaran kebencian dan menyebarkan berita bohong, sehingga menimbulkan efek jera dalam masyarakat, seperti dalam kasus Ahok dan Buni Yani, Saracen, dan lain-lain. Sekalipun hal ini masih menimbulkan kritikan karena dinilai masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas, yakni hanya kepada pihak-pihak yang dinilai “menyerang” Pemerintah.

Tantangan Tahun Demokrasi        

Sekalipun angka pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan mengalami penurunan, namun tantangan di tahun 2018, yang disebut sebagai tahun demokrasi, tidaklah ringan. Ada beberapa tantangan yang dihadapi di tahun 2018 ini. 

- Advertisement -

Pertama, pelaksanaan 171 Pilkada serentak, yakni ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten yang akan dilaksankan 27 Juni 2018. Berkaca pada kasus Pilkada DKI 2017, jika seluruh elemen bangsa, khsusunya pemerintah tidak bisa menjaganya, maka bukan tidak mungkin akan menimbulkan gejolak dan dinamika baru.  Kasus pembunuhan aktifis Islam di Jawa Barat diawal tahun ini merupakan peristiwa yang harus segera dicegah agar tidak terulang lagi.

Kedua, masih tingginya angka kesenjangan ekonomi. Berdasarkan survey lembaga keuangan Swiss Januari 2017, Credit Suisse, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Dalam buku The Spirit Level, Why Equality is Better for Everyone (2010), Richard Wilkinson & Kate Pickett dengan gamblang mengingatkan kita semua bahwa ketidaksamaan dan kesenjangan bukan hanya menyebabkan ketimpangan kesempatan untuk maju, tetapi juga menyebabkan biaya sosial yang ditanggung menjadi jauh lebih mahal. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan bahwa pembangunan ekonomi berfaedah bagi setiap pihak secara adil.

Ketiga, tingginya angka kemiskinan. Menurut data BPS, angka kemiskinan mengalami penurunan 1,18 juta jiwa pada periode September 2017 dibandingkan periode yang sama sebelumnya. Namun, program kemiskinan di Indonesia terbilang lamban jika tidak disebut stagnan. Apalagi jika dibandingkan dengan program dan anggaran yang digelontorkan pemerintah mencapai Rp. 100 triliun seperti untuk Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sejahtera, raskin, bantuan pangan non tunai, dan sebagainya.

Kasus gizi buruk di Asmat Papua yang terungkap di awal tahun ini adalah alarm yang harus mendapatkan perhatin, bahwa semangat membangun infrastruktur harus diimbangi dengan semangat membangun kemakmuran. Sehingga tercipta harmonisasi dalam mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur.

Tantangan inilah saya kira yang harus dijawab oleh pemerintahan Jokowi JK di tahun demokasi ini. Ketua Umum MUI, Ma’ruf Amin, sudah mengingatkan bahwa kesenjangan ekonomi bisa menimbulkan radikalisme, konflik ekonomi dan kesenjangan sosial (Antara, 22/4/2017). Jika hal tersebut dapat diatasi dengan baik, saya kira harmonisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat terwujud. Wallahua’lam.

Faozan Amar
Faozan Amar
Sedang menyelesaikan S3 Ilmu bisnis Universitas Pancasila. Aktifitas sebagai Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UHAMKA. Direktur Al Wasath Insitute, Sekretaris Lembaga Dakwah khusus PP Muhammadiyah dan Ketua PP Baitul Muslimin Indonesia
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.