Masih dalam suasana demonstrasi mahasiswa yang menolak UU Cipta Kerja. Sebelum Subuh tadi, saya melihat masih ada demonstrasi yang akan dilakukan pada hari ini, Senin (12/10), di berbagai tempat.
Artinya perjuangan belum berakhir. Mahasiswa masih konsisten untuk menjadi jembatan balada suara rakyat.
Namun, demonstrasi sepertinya tidak gayung bersambut oleh pemerintah. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud RI menerbitkan surat untuk perguruan tinggi di Indonesia (9/10). Isinya adalah imbauan pembelajaran daring dan sosialisasi UU Cipta Kerja.
Di dalam surat tersebut berisi 8 butir arahan Kemendikbud RI. Dari semua poin, ada hal yang menarik pada poin nomor 4 dan 6. Poin 4 berisi anjuran untuk mahasiswa agar tidak ikut unjuk rasa yang dapat membahayakan keselamatan diri.
Sementara itu, poin 6 menginstruksikan para dosen agar mendorong para mahasiswa untuk menyelenggarakan kegiatan intelektual dalam mengkritisi UU Cipta Kerja. Intinya supaya tidak turun ke jalan.
Jika ditelaah lebih dalam, isi arahan dalam surat tersebut mengandung paradoks. Di satu sisi mendorong adanya kegiatan secara intelektual namun melarang adanya demonstrasi. Hal ini tentu menjadi pertanyaan banyak pihak.
Sebab mustahil lahir sebuah gerakan tanpa kajian. Demonstrasi merupakan langkah konkret dari kajian intelektual yang dilakukan di pojok-pojok kampus dan dari berbagai sudut ruang kelas.
Menjadikan pandemi sebagai alasan melarang demonstrasi juga tidak benar. Meskipun tujuannya baik, namun kurang tepat. Demonstrasi tidak lahir tanpa alasan. Tidak ada api tanpa gesekan korek api.
Demonstrasi muncul karena institusi politik mengalami disfungsi. Karena dianggap tidak mampu menjalankan social control secara optimal. Ihwal inilah yang mendorong para mahasiswa sebagai kaum intelektual untuk melakukan check and balance kepada pemerintah.
Pertanyannya, benarkah gerakan mahasiswa harus ditakuti hingga harus ada pelarangan struktural?
Gerakan mahasiswa tidak perlu ditakuti
Melihat secara konteks historis, teringat kumpulan tulisan bernas Hariman Siregar di dalam buku ‘Hati Nurani Seorang Demonstran’. Hariman Siregar merupakan tokoh legenda peristiwa Malam Lima Belas Januari (Malari) 1974.
Malari merupakan peristiwa yang terjadi akibat membengkaknya jumlah pengangguran, kemiskinan yang begitu nyata, dan penanaman modal asing yang berlebihan.
Dalam wawancara majalah Politika tahun 1992, Hariman Siregar menjelaskan bahwa gerakan mahasiswa sering ditakuti oleh pemerintah. Karena acap kali diidentikkan dengan perubahan kekuasaan secara revolusioner. Kerap dikaitkan dengan huru-hara dan perusakan fasilitas publik.
Padahal gerakan mahasiswa di Prancis misalnya, ternyata mampu mengubah kurikulum pendidikan. Sementara di Amerika Serikat, gerakan mahasiswa muncul karena menentang perang Vietnam. Inilah bukti bahwa gerakan mahasiswa sejatinya memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Mahasiswa adalah para kaum elitis yang memiliki kesadaran sosial yang lebih tinggi daripada masyarakat awam. Peran para mahasiswa dan kaum muda dalam melakukan perubahan dan pembaharuan tidak perlu diragukan.
Sejarah mencatat peristiwa Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 1945 adalah bukti bahwa gerakan tersebut dimotori oleh semangat mahasiswa dan kaum pemuda. Untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan.
Mahasiswa Tetap Menjadi Tumpuan Masyarakat
Demokrasi akan menemui masalah jika para penguasa melakukan maksiat struktural dan moral. Sementara itu aspirasi masyarakat tidak diindahkan oleh para mandataris rakyat. Padahal suara rakyat adalah suara Tuhan. Vox populi vox dei.
Realita demokrasi berbeda antara kenyataan (das sein) dan keharusan (das sollen). Buntutnya adalah kehidupan yang semakin menantang untuk mencari sesuap pagi dan sesuap petang.
Atas hal tersebut, Hariman Siregar menyatakan bahwa mahasiswa dan kaum muda diharapkan mengemban amanat penderitaan masyarakat. Tatkala kontrol sosial mandeg. Para mahasiswa menjadi tumpuan masyarakat untuk menjadi pemecah kebuntuan (Media Indonesia, 1992).
Walaupun dewasa ini dinamika mahasiswa sering ditekan namun penekanan itu tidak bisa selamanya. Sepanjang ada krisis dan masalah yang mendorong mahasiswa berkiprah, mereka akan ikut ambil bagian.
Kondisi Indonesia hari ini sedang tidak baik-baik saja. Pengesahan UU Cipta Kerja disaat pandemi COVID-19 belum usai menambah situasi menjadi carut-marut.
Tidak tahu apa urgensi mengesahkan UU Cipta Kerja menjelang tengah malam. Yang jelas, hal tersebut patut dipertanyakan alasannya. Apalagi sedari awal terkesan tergesa-gesa dan kurang melibatkan partisipasi banyak pihak.
Terakhir, by the way, dokumen final UU Cipta Kerja yang sudah final kapan akan dirilis ya? yang 1028 atau 905 halaman? Ditunggu bapak ibu anggota dewan untuk rilis resminya.