Kamis, April 25, 2024

Hari Ibu dan Tantangan Disinformasi

Giri Lumakto
Giri Lumakto
Digital Ethicist, Educator | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital dan Teknologi | Alumni AAI STA Queensland Uni of Technology, 2019 | Awardee LPDP, 2016 | University of Wollongong, Australia | Mafindo Researcher | Kompasianer of The Year 2018 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | Email: lumakto.giri@gmail.com

 

Di Hari Ibu yang jatuh tanggal 22 Desember kemarin, ada tantangan dan keprihatinan. Masih banyak kaum ibu yang menyebarkan hoaks atau disinformasi. Terkadang, karena ketidaktahuan, mereka pun menyebarkan misinformasi.

Ibu adalah penggerak baik dalam keluarga maupun masyarakat. Seorang ibu akan menjaga keluarganya dari segala hal buruk, semampu mereka. Seorang ibu juga akan memastikan lingkungan sekitar tidak merugikan keluarga mereka.

Apa yang dikatakan seorang ibu mau tak mau akan dipatuhi anaknya. Jika ibu-ibu kompleks keluhkan soal sampah menumpuk, warga niscaya akan segera bergerak.

Namun, jika seorang ibu bergerak menyebarluaskan kabar bohong. Tidak sedikit yang akan percaya. Tentunya, hal ini memprihatinkan.

Masih kita ingat, 3 orang ibu di Karawang yang menyebar hoaks soal pelajaran agama akan dihapus di era Jokowi. Seperti halnya tugas misionaris, mereka dari pintu ke pintu menyebarkan hoaks tersebut.

Hingga pada akhirnya seorang netizen secara candid merekam aksi mereka. Video yang diunggah pun viral. Polisi pun datang menjemput ke tiga orang ibu.

Pelajaran agama dianggap ibu-ibu ini sebagai prinsip moral anak-anak mereka. Agama juga menjadi pondasi etika dan norma anggota keluarga. Jika pelajaran agama dihapus, bisa jadi hal ini mengancam keluarga mereka.

Wajar jika ke tiga orang ibu di atas khawatir. Tetapi kekhawatiran mereka tanpa didasarkan fakta. Hingga akhirnya ancaman 3 tahun penjara mereka hadapi.

Hoaks terkait ibu-ibu lain juga sempat membuat kita ngeri. Konon kabar beredar, telah terjadi banyak penculikan anak. Narasi penjualan organ anak yang diculik di pasar gelap. Sampai video editan cara menculik anak. Telah disebarluaskan.

Ibu-ibu segera bertindak. Kabar ini pun disebarkan via sosial media. Semua tak lain untuk menjaga keluarga dan lingkungan warga dari penculik anak.

Setidaknya ada 6 orang ibu yang diamankan polisi karena hoaks ini di tahun. Mereka berasal dari beragam daerah di Indonesia. Padahal, di tahun 2017 hoaks penculik ini meresahkan warga Pantura. Sampai-sampai gelandangan pun dicurigai dan dimassa.

Tidak ada ibu yang ingin anaknya diculik. Apalagi tahu ada prosedur mutilasi dan penjualan organ anak yang diculik. Ngeri. Namun narasi sensasional ini nyatanya mampu menggerakkan kaum ibu dan warga yang tertipu dengan hoaks.

Karena ibu adalah penggerak. Dan ibu pun adalah individu penjaga keluarga dan masyarakat. Namun bagaimana jika seorang ibu dipersekusi?

Inilah yang dinarasikan kepada ibu Ratna Sarumpaet. Melalui press conference, ia dinyatakan telah dikeroyok sekelompok pemuda. Dengan narasi yang menyudutkan pemerintah dan aparat keamanan yang dianggap lemah. Narasi ini menggerakkan dan menggetarkan linimasa Pilpres 2019.

Walau faktanya, narasi persekusi ibu Ratna Sarumpaet adalah konyol dan bohong. Namun, ibu-ibu lain dan publik secara umum mengecam tindakan pengeroyokan seorang ibu. Jika memang benar terjadi.

Ancaman atau persekusi terhadap seorang ibu tidak pernah bisa diterima. Namun, menjadikan prinsip untuk mengemas kampanye hitam adalah kebodohan yang nyata.

Andai saja hoaks ibu Ratna Sarumpaet ini dikemas dan disajikan dengan lebih teliti. Para pelakunya pun tidak ditemukan. Pasangan Capres oposisi Jokowi bisa naik tahta. Hoaks ibu Ratna Sarumpaet lalu menjadi teori konspirasi. Dan 10 tahun lagi akan menjadi mitos.

Dari semua kasus hoaks yang menimpa kaum ibu. Atau hoaks yang difabrikasi dari mereka. Muncul keprihatinan kita. Apa yang seharusnya kita atau pemerintah lakukan?

Tsunami informasi digital dan kegagapan literasi media menjadi faktor pemicu. Linimasa perspektif homogen ala algoritma sosial media menciutkan cara berpikir kritis. Banyak kaum ibu terjebak ruang gema yang menguatkan keyakinan, yang tak jarang salah.

Jika ibu adalah pilar keluarga dan masyarakat. Apakah kita patut diam saja? Setidaknya kesadaran untuk mengedukasi kaum ibu soal literasi media dan digital harus segera dilakukan.

Jika ibu mau belajar merawat anak dan keluarga melalui PKK. Mengapa tidak ibu-ibu bergerak untuk ikut menggerakkan Penyuluhan Digital, misalnya.

Jika ibu gandrung akan sosial media. Mengapa tidak mereka sebaiknya diarahkan untuk mengambil manfaat dunia maya. Seperti melatih kecakapan cek fakta, contohnya.

Di Hari Ibu tahun ini. Atau di tahun depan. Bahkan di tahun tahun berikutnya. Akankah pemerintah masih terus abai akan isu pelik ini. Disinformasi memang tidak mengenal siapa targetnya. Namun, membiarkan fenomena ini berlangsung, bisa jadi memupuk bencana literasi nasional.

Giri Lumakto
Giri Lumakto
Digital Ethicist, Educator | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital dan Teknologi | Alumni AAI STA Queensland Uni of Technology, 2019 | Awardee LPDP, 2016 | University of Wollongong, Australia | Mafindo Researcher | Kompasianer of The Year 2018 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | Email: lumakto.giri@gmail.com
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.