Selasa, Oktober 15, 2024

Hari Guru Nasional, Antara Etos dan Problematika Pendidikan

Achmad Santoso
Achmad Santoso
Editor Jawa Pos, pemerhati bahasa, pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah

Hari Guru Nasional diperingati setiap 25 November. Jika seandainya ditanya tentang profesi apa yang paling membutuhkan kesabaran, ketelatenan, dan ketulusan? Tentu pembaca budiman sepakat, salah satunya adalah profesi guru.

Kalaupun ada yang tidak sependapat, itu bukan mayoritas, juga tidak populer. Meski bukan guru, mereka yang pernah terlibat dalam dunia pendidikan secara luas pasti mengamininya. Guru ibarat jembatan yang bisa menghubungkan seseorang dengan cita-citanya kelak. Di papan tulisnya terdapat lukisan harapan anak bangsa. Di ruang kelasnya ada wajah masa depan Indonesia. Guru lah kelompok paling awal yang tahu potret masa depan bangsa Indonesia.

’’Seorang yang berilmu, kemudian bekerja dengan ilmunya itu, dialah yang dinamakan orang besar di bawah kolong langit ini. Dia bagai matahari yang memberikan cahaya kepada orang lain, sedangkan dia sendiri pun bercahaya. Ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain, dia sendiri pun harum.’’ Begitu kata Imam Ghazali, seorang ahli filsafat Islam yang sanggup meninggalkan segala kemewahan hidup demi berkelana mencari ilmu pengetahuan. Kita mafhum rangkaian kalimat nan elok tersebut menggambarkan betapa guru merupakan profesi yang mulia.

Saking mulianya, tidak heran ketika banyak anak muda berlomba-lomba meraih profesi tersebut. Niat mereka pun macam-macam: karena panggilan jiwa, passion, bahkan ’’keterpaksaan’’. Apa pun alasannya, yang jelas, guru adalah pencari nafkah yang mesti diperlakukan sama seperti manusia lainnya. Menjadi seorang guru juga butuh perjuangan yang tak mudah dan tak murah.

Pembaca budiman mungkin pernah mendengar ungkapan ini: cara sebuah bangsa memperlakukan gurunya adalah cermin cara bangsa memperlakukan masa depannya! Ya, itu gagasan cendekiawan pendiri Indonesia Mengajar Anies Baswedan, yang kini menjadi orang nomor satu di Jakarta. Ingin tahu isinya lebih lengkap, baca artikelnya berjudul VIP-kan Guru-Guru Kita!

Tulisan itu dibuka dengan ilustrasi pertanyaan kaisar Jepang sesudah bom atom dijatuhkan di Negeri Sakura, ’’Berapa jumlah guru yang masih hidup?”. Selanjutnya mantan menteri pendidikan dan kebudayaan tersebut mengklasifikasikan tiga persoalan besar yang dialami guru, yakni distribusi penempatan guru yang tidak seimbang, kualitas guru yang tidak merata, serta kesejahtaraan guru yang tidak memadai.

Pertama, distribusi penempatan guru yang tidak seimbang. Kasus ini sebenarnya sudah dicarikan solusi. Program SM-3T, Guru Garis Depan, Indonesia Mengajar, dan Indonesia Menyala merupakan salah satu ikhtiar untuk mendistribusikan guru di seluruh penjuru tanah air. Persoalan kedua, saya kira, juga tidak bisa dinafikan. Memang banyak anak muda yang menggantungkan asanya untuk menjadi guru. Namun, harus diakui, output yang dihasilkan kurang merata. Kualitas guru di sekolah satu dengan yang lain juga kerap tak sepadan.

Nah, penyakit ketiga ini paling kronis. Persoalan kesejahteraan, salah satunya gaji, menjadi hal sensitif yang sejak dulu urung menemui titik terang. Lebih khususnya dialami guru honorer. Mereka mesti antre bertahun-tahun agar bisa diangkat menjadi PNS. Hal itulah yang dikritisi Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi. Dia berharap pemerintah tidak mempersulit pengangkatan guru honorer menjadi PNS. Sebab, selama ini guru honorer membantu pemerintah mengatasi kekurangan guru. ’’Coba tidak ada guru honorer, pasti banyak SD yang tidak bisa berjalan kegiatannya,” katanya beberapa waktu lalu.

Berdasar laporan Education Efficiency Index, Indonesia termasuk negara yang kurang mengapresiasi guru. Dari 30 negara yang masuk survei tersebut, gaji guru di Swiss merupakan yang paling tinggi dengan nilai Rp 950 juta per tahun. Kemudian diikuti Belanda, Jerman, dan Belgia. Di mana posisi Indonesia? Negara kita berada di urutan paling buncit dengan gaji Rp 39 juta per tahun.

Seperti halnya buruh, misalnya, guru juga seyogianya memiliki upah minimum. Kebutuhan hidup layak (KHL) menjadi salah satu acuan untuk menentukan berapa upah yang layak buat guru. Di dua kota besar di Jawa Timur, Surabaya dan Malang, KHL masing-masing pada 2017 adalah Rp 2,38 juta dan Rp 2,37 juta. Padahal, masih banyak guru non-PNS yang bergaji di bawah Rp 1 juta, bahkan di bawah Rp 500 ribu, terutama di daerah-daerah. Pemerintah juga patut menjadikan Undang-Undang RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai acuan. Pada bab XI pasal 40 disebutkan, tenaga pendidik berhak memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas.

Kalau hal itu belum juga teratasi, rasanya lirik lagu Oemar Bakri milik Iwan Fals berpuluh tahun silam masih menjadi kritik ”abadi” untuk menggambarkan nasib kesejahteraan guru di Indonesia. Pantas saja peringatan Hari Guru Nasional senantiasa diwarnai dengan unjuk rasa guru perihal tuntutan kesejahteraan. Tahun ini pun tidak tertutup kemungkinan terjadi aksi damai serupa.

Guru adalah manusia biasa dengan segala plus-minusnya. Biar begitu, merekalah yang menanamkan masa depan paling awal kepada anak bangsa. Beban menjadi guru amatlah besar, namun kadang tidak seirama dengan hak yang diterima. Dari setumpuk kasus yang menempa dunia pendidikan, ujung-ujungnya guru bisa dijadikan kambing hitam. Singkat cerita, tidak menempatkan posisi guru dalam derajat yang lebih tinggi adalah perbuatan naif.

Mari merenung sejenak. Bagaimana mungkin seorang guru bisa mencerdaskan putra-putri orang lain, tetapi kesulitan menyekolahkan anaknya sendiri ke jenjang pendidikan yang lebih layak. Siapa yang tidak prihatin ketika ada guru honorer bertahun-tahun hanya digaji Rp 200-300 ribu per bulan? Itu basa-basi! Ketimpangan tersebut kian benderang bila terpaksa membandingkannya dengan pekerjaan-pekerjaan lain. Sampai-sampai, muncul kelakar seperti ini: guru dibayar murah untuk mencerdaskan anak bangsa, sedangkan artis dibayar mahal untuk menodai anak bangsa.

Memang, guru masih sering mendapat stereotip ”pahlawan tanpa tanda jasa”. Karena itu, adakalanya para guru dituntut untuk tidak serta-merta mengeluh dengan dasar pengabdian. Padahal, dalamnya laut dapat diukur, dalamnya hati siapa tahu. Kegundahan itulah yang harus segera diatasi. Besar kemungkinkan antusiasme mengajar guru, salah satunya, dipengaruhi oleh gaji.

Pemerintah dan pemilik lembaga pendidikan harus yakin dan berbaik sangka bahwa hak yang berkecukupan akan berbanding lurus dengan kewajiban. Tanggung jawab yang cukup berat itu alangkah bijaksananya jika diimbangi dengan penghargaan yang layak. Siapa nyana itu bisa memotivasi mereka untuk meningkatkan kinerja. Bisa jadi persaingan para sarjana pendidikan bakal lebih kompetitif. Akhirnya, potensi mewujudkan guru-guru profesional pun semakin merata di seluruh penjuru Nusantara.

Meski begitu, pembaca budiman semua, yang sudah menjadi guru maupun yang masih sebagai calon guru, terjebak pada urusan rupiah semata juga bisa berbahaya. Sebab, penghargaan paling utama bagi seorang guru adalah ketika anak didiknya berhasil mengukir masa depan yang cerah. Masa depan yang bermaslahat bagi agama, bangsa, dan negara. Teruslah mengabdi demi mencendekiakan putra-putri terbaik bangsa, yakinlah kesejahteraan akan mengikutinya! Selamat Hari Guru!

Achmad Santoso
Achmad Santoso
Editor Jawa Pos, pemerhati bahasa, pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.