Menarik bahwa Hari Buruh Sedunia yang diperingati setiap tanggal 1 Mei sesungguhnya merupakan momentum memorial terhadap para anarkis imigran yang dihukum mati dalam Peristiwa Haymarket Martyrs pada tahun 1887 di Chicago, Amerika Serikat.
Itulah mengapa pada hari yang dikenal sebagai May Day itu, kaum buruh internasional mengenangkan para pemimpin buruh revolusioner yang ditangkap dan dihukum mati karena telah menimbulkan kekacau-balauan dalam masyarakat. Meski tiada bukti yang dapat digunakan untuk menuduh keterlibatan mereka, namun 200 orang terluka akibat tembakan polisi yang ujung-ujungnya dapat terungkap bahwa agen polisi sendirilah yang telah melempar bom ke tengah-tengah pasukan polisi yang tengah menjaga demonstrasi damai kaum buruh.
Ironis, bukan? Sebab kaum buruh yang dikorbankan atas nama keamanan dan ketertiban itu telah dimanfaatkan sebagai pihak yang patut disalahkan dan diberi hukuman meski dengan mengabaikan hukum yang berlaku. Dalam konteks ini, kerusuhan yang direkayasa untuk membubarkan demonstrasi buruh itu sekaligus digunakan untuk menandai akan bahaya dari kaum anarkis.
Kaum yang sebelumnya luput dari pengamatan aparat keamanan, mulai saat dipandang setara dengan kaum pemberontak atau teroris. Artinya, seperti dinyatakan oleh kepolisian metropolis New York, Amerika Serikat, saat bertugas menjaga Konvensi Partai Republik tahun 2004, “Ancamannya bukan berasal dari orang-orang komunis, bukan pula dari fanatikus Muslim, melainkan dari kaum anarkis.” Dengan kata lain, kaum anarkis telah mendapat stigma yang sebelumnya tidak pernah mereka bayangkan.
Pertanyaannya, siapa sesungguhnya yang dimaksud dengan kaum anarkis itu? Seperti apa jejak langkah historisnya dalam peta gerakan sosial selama ini? Adakah pelajaran yang dapat direkonstruksi, bahkan didekonstruksi, dari sejarah kaum anarkis untuk masyarakat kita di masa kini?
Dalam bukunya yang berjudul Di Bawah Tiga Bendera: Anarkisme Global dan Imajinasi Antikolonial (Serpong, Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2015), Benedict Anderson memaparkan bahwa anarkisme bukan sekadar aksi perusakan, pembakaran, bahkan pembunuhan. Tetapi, hal itu adalah aksi nasionalis militan yang sama sengitnya dengan kelompok kiri radikal (Marxis) terhadap imperialisme dan kolonialisme.
Jadi, anarkisme tumbuh dan berkembang sesudah wafatnya Karl Marx pada tahun 1883 melalui tokoh-tokoh nasionalis lokal di Kuba (1895), Filipina (1896) hingga Afrika Selatan. Apa dan siapa yang dilawan? Tentu saja adalah para penguasa imperialis dan kolonialis seperti Inggris, Perancis, dan Rusia, serta ditambah lagi dengan Jerman, Amerika Serikat, Italia, dan Jepang. Dengan cara apa mereka melawan?
Melalui jaman yang disebut sebagai “globalisasi perdana” di penghujung abad ke-19, kaum anarkis memanfaatkan berbagai media komunikasi lintas benua seperti telegram surat, majalah, koran, foto, dan juga buku. Apalagi didukung dengan jalinan rel kereta api yang mampu menembus batas-batas nasional dan imperial, mereka dapat dengan mudah dan cepat bergerak secara lebih leluasa tanpa banyak memakan waktu dan tenaga.
Karena itulah, kaum anarkis adalah seorang poliglot sejati (menguasai banyak bahasa) lantaran belum adanya sebuah “bahasa internasional”. Hanya dengan cara itu, perjuangan untuk menentang kolonialisme dapat disebarluaskan, meski tidak mudah untuk dikerjakan dan kerap gagal.
Sampai di sini, kaum anarkis lebih tampak sebagai aktivis dalam gerakan sosial yang berada di balik layar. Artinya, mereka kerap disebut sebagai “think tank” (wadah pemikir) dalam gerakan sosial, namun dapat tampil di atas panggung jika benar-benar diperlukan. Jose Rizal adalah salah satu contoh dari aktivis semacam ini yang akhirnya djatuhi hukuman mati pada 30 Desember 1896 dan diangkat sebagai “Bapak Nasionalis” di Filipina.
Di Indonesia, tokoh-tokoh nasionalis seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Amir Sjarifuddin, sesungguhnya termasuk dalam kelompok ini pula. Begitu juga dengan Soe Hok Gie yang menjadi salah satu tokoh penting dalam gerakan mahasiswa pada tahun 1966. Perjuangan mereka awalnya bukan untuk mengajak orang banyak untuk “angkat senjata”, tetapi justru sekadar mengobarkan semangat perlawanan melalui organisasi atau gerakan kerakyatan.
Contohnya, lewat perkumpulan dagang, pendidikan, atau kesehatan yang membantu masyarakat untuk dapat mencukupi kehidupan sehari-hari secara mandiri dan tanpa pamrih. Inilah sebenarnya yang dikerjakan oleh para anarkis dari ujung satu ke ujung lain di seluruh dunia.
Jadi, pada dasarnya kaum anarkis memang tidak berpretensi, apalagi berintensi, untuk mengubah dunia. Dalam konteks ini, bukan “masyarakat tanpa kelas”, sebagaimana dirumuskan Marx, yang dicita-citakan oleh kaum anarkis, melainkan hanyalah “kesadaran kelas”, yaitu jeli dan waspada untuk selalu peka serta peduli pada nasib sesama. Inilah hakekatnya kritik yang sejak semula ditujukan Marx pada para filsuf karena hanya cakap menafsir dunia tanpa mengubah apapun juga.
Maka, bukan kebetulan jika Rizal yang awalnya adalah novelis dengan karyanya yang terkenal, yaitu Noli Me Tangere (Jangan Sentuh Aku) dan El Filibusterismo (Merajalelanya Keserakahan), tergoda untuk menjadi aktivis politik sehingga gagal untuk menyelesaikan novelnya yang ketiga.
Kegagalan itulah yang juga dialami oleh Wiji Thukul pada tahun 1998 dengan warisan kata-katanya “Hanya satu kata: Lawan!” dan lukisan “Berburu Celeng” yang dilukis oleh Djoko Pekik meski laku terjual dengan harga 1 milyar di tahun yang sama. Akibatnya, anarkisme yang tersurat dalam karya-karya sastra dan seni itu seakan-akan hilang ditelan waktu meski selalu dapat mengguratkan semangat perlawanan.
Secara historis, kaum anarkis pada intinya hanyalah sebuah “gerakan tanpa nama”. Namun, gerakan itu masih mampu menggaungkan perlawanan global. Itu artinya, mereka bukanlah gerakan yang menghasilkan chaos, tetapi justru mengajak dan membantu siapapun juga untuk selalu menjadi radikal dan nasionalis.
Itulah mengapa sebagai sebuah gerakan, kaum anarkis pada dasarnya selalu berpijak pada pedoman “berorganisasilah tanpa pemimpin”. Dengan pedoman itulah, cukup jelas bahwa tuntutan dan tuntunan dari gerakan anarkis adalah menjadi pemimpin dari dan bagi diri sendiri. Dengan kata lain, menjadi anarkis itu bukan untuk mengubah apapun, bahkan siapapun. Tetapi, diri sendirilah yang pertama-tama dan terutama untuk direkonstruksi serta didekonstruksi agar tidak asal bergerak tanpa kendali.
Namun, agar setiap gerakan yang biasanya marak pada Hari Buruh 1 Mei, khususnya yang terlanjur dipandang anarkis seperti “Anarko Sindikalisme”, adalah perlu dan penting untuk selalu diamati dengan tajam dan cermat. Sebab jangan-jangan, seperti dalam Peristiwa Haymarket Martyrs di atas yang sudah lebih dari 100 tahun berlalu, biang keladi dari setiap gerakan anarkis yang terjadi di sejumlah kota selama ini, seperti Jakarta, Yogyakarta, atau Bandung, masih tetap sama alias mudah untuk ditebak, namun sulit untuk ditindak.