Warta harga telur yang terus meroket kini menjadi isu hangat di negeri ini. Ada satu adagium Arab, meski adagium tersebut tak ada kaitan langsung dengan isu harga telur, yang bicara soal telur, yaitu “baydhotul yaum khoirun min dajaajatil ghod” (Telur hari ini lebih baik dari daging ayam besok hari).
Tak hanya pedagang telur ayam, mayoritas ibu-ibu rumah tangga di seluruh daerah dari Sabang hingga Merauke, tak terkecuali Banten, kini tengah mengernyitkan dahi dan mengepalkan tangan. Mereka dibuat pusing, kaget sekaligus geram oleh ulah si telur yang harganya terus merangkak naik. Padahal hari raya Idulfitri 1439 Hijriyah sudah lama berlalu.
Dalam beberapa hari terakhir, kenaikan harga tersebut membuat heboh jagad jejaring sosial dengan status dan komentar netizen. Tak tanggung-tanggung, harga telur ayam di pasaran, baik pasar tradisional maupun modern, sudah mencapai Rp. 30.000 per kilogram. Sebuah harga yang sinis, fantastis juga sadis bagi masyarakat.
Biasanya, harga bahan kebutuhan pokok akan turun jika momentum hari raya atau hari besar tertentu telah berlalu dan permintaan pasar berkurang. Namun, kali ini tak berlaku bagi telur ayam. Ia adalah salah satu dari delapan komoditas pangan yang harganya diatur oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58 Tahun 2018.
Harga acuan yang sudah ditetapkan pemerintah untuk pembelian telur ayam di tingkat peternak Rp-17.000-Rp.19.000 per kg dan penjualan di tingkat konsumen Rp.22.000 per kg. Apalah daya, regulasi tinggallah aturan. Pasar abai dan tak peduli aturan atau regulasi, ia hanya tunduk pada teori ekonomi, yaitu supply dan demand (penawaran dan permintaan).
Perbandingan
Menurut data Kompas (13/7/2018), harga telur ayam tahun ini justru semakin naik pascalebaran. Harga rata-rata telur ayam di pasar-pasar tradisional di DKI Jakarta naik dari Rp. 23.919 per kg (14/6/2018) menjadi Rp. 27.860 per kg (12/7/2018). Kenaikannya mencapai 16,4% dan tercatat sebagai harga tertinggi sejak 1 Januari 2018.
Kondisi di atas sangat jauh berbeda dengan yang terjadi di dua tahun sebelumnya. Di Tahun 2017, harga telur ayam turun pascalebaran yang kemudian di beberapa pekan setelah lebaran anjlok hingga berada di harga Rp. 16.000 per kg, harganya lebih rendah dari ongkos produksinya, yaitu Rp. 18.000.
Demikian juga di Tahun 2016, harga telur ayam berangsur turun setelah naik di bulan Juni sekitar 5,86 persen. Saat itu para peternak meminta pemerintah untuk menjaga harga agar stabil di atas ongkos produksi untuk menjaga kelangsungan industri perunggasan dalam negeri.
Prognosis (prediksi) Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian produksi telur ayam tahun 2018 sangat mencukupi permintaan pasar, bahkan lebih. Bahkan diklaim tak aka nada kenaikan harga karena ada kelebihan persediaan sekitar 202.000 ton. Dilihat dari permintaan konsumen tahun ini sekitar 2,276 juta ton, sedangkan ketersediaan telur ayam tersebut 2,96 juta ton (ditjenpkh.pertanian.go.id)
Untuk Mei-Juni 2018 saja, ketersediaan telur ayam sekitar 521.335 ton, sedangkan kebutuhan konsumen sekitar 485.831 ton. Ini berarti ada surplus sekitar 35.504 ton. Tapi apa yang terjadi di lapangan. Prediksinya meleset, jauh dari fakta objektif di pasar.
Harga telur ayam terus merangkak naik, tak bisa ditahan. Rakyat kecil yang menjadi korban. Mereka babak belur tanpa ampun, terus-terusan digempur harga telur yang tak mau mundur. Ibu-ibu rumah tangga, khususnya, merasakan sekali dampak dari kenaikan harga telur ini. Mereka harus mengeluarkan anggaran lebih untuk memenuhi kebutuhan dapurnya agar terus bisa ngebul.
Musabab
Banyak faktor dan pemicu yang membuat harga telur ayam di atas menjadi naik melambung. Beragam opini berasal dari pihak terkait yang menjadikan harga telur ini melambung tinggi. Ada dugaan harga bahan bakar minyak (BBM) berimbas pada harga telur setelah dinaikkan pemerintah per 1 Juli 2018 kemarin. Ada juga anggapan karena harga pakan ayam yang juga ikut naik, otomatis harga telur ayampun ikut serta naik.
Menurut kalangan peternak, dalam rembuk nasional di Jakarta (6/7/2018) naiknya harga telur disebabkan adanya 3 faktor utama yang berkaitan dengan penurunan produktivitas. Penurunan produktivitas pertama disebabkan penyakit. Ayam yang belum masa “panen” sudah mati terserang penyakit. Jumlahnya sangat besar sehingga angka panen tak seimbang dengan permintaan pasar.
Faktor kedua adalah soal nilai tukar rupiah yang kian melemah. Hal ini berdampak pada harga pakan yang ikut naik juga. Harga bahan baku pakan impor ikut naik karena dalam waktu yang bersamaan pasokan dan ketersediaan jagung dalam negeri sulit juga ditemukan di pasaran, padahal jagung merupakan bahan baku untuk pakan ayam tersebut.
Penyebab penurunan produktivitas yang ketiga, disebakan adanya larangan pemakaian antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan sejak tahun 2018 ini. Antibiotik meninggalkan residu yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Selain itu, antibiotik juga dapat meningkatkan kekebalan kuman terhadap antimikroba yang menyebabkan kontraproduktif terhadap ketahanan pangan.
Sejumlah uraian hebat yang disertai prognosis (prediksi) dan argumentasi rasional dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang mewakili pemerintah, menyoal kenaikan harga telur ayam di atas, tak mampu mengobati kekecewaan masyarakat yang terlanjur babak belur untuk mendapatkan telur ayam yang lebih rendah harganya, berkualitas tinggi serta sehat. Prognosis dan klaim pemerintah bahwa pasokan telur surplus ternyata tak seindah harapan, sangat jauh dari kenyataan.
Pemerintah, sebagai pembuat kebijakan (regulator) juga tak mampu mengendalikan harga telur ayam menjadi stabil, hal tersebut terlihat dari harga telur ayam di pasaran yang masih fluktuatif. Harga acuan pemerintah pun kurang berwibawa, kalah dengan harga “preman”, di mana semua harga dikendalikan oleh pasar bebas.
Kondisi ini sangat meresahkan masyarakat, baik masyarakat sebagai peternak ataupun masyarakat sebagai konsumen. Jika harganya anjlok, tentu tak berpihak pada peternak, dan di jika harganya melambung, pihak konsumen yang pastinya dirugikan.
Kebutuhan masyarakat akan telur sangat tinggi, pemerintah seharusnya melayani serta memenuhi kebutuhan masyarakat dengan baik. Sekali-kali jangan pernah membuat masyarakat babak belur karena soal harga telur. Sekali lagi, masyarakat tak butuh teori dan argumentasi panjang soal penyebab kenaikan harga telur. Yang dibutuhkan mereka adalah kepastian harga. Tentu harga yang bersahabat, sesuai dengan isi kantong masyarakat.
Keseriusan pemerintah untuk menyediakan pasokan telur ayam bagi kebutuhan masyarakat sekaligus mengontrol harga pasarnya agar sesuai dengan harga acuan pemerintah sangat ditunggu masyarakat dalam situasi dan kondisi tak menentu sekarang ini. Jangan sampai meroketnya harga telur ayam menjadi pemicu naiknya harga daging ayam.
Jika pemerintah tak mampu mengendalikan harga telur ayam serta daging ayam, babak belurlah masyarakat dibuatnya. Seperti kata pepatah, yaitu sudah jatuh tertimpa tangga. Maka sempurnalah kebabakbelurannya. Semoga tak demikian!