Jumat, April 26, 2024

Harapan Umar Kayam dan Janji Pendidikan Nasional

Frengki Nur Fariya Pratama
Frengki Nur Fariya Pratama
Mahasiswa Ilmu Susastra Undip Semarang, Komunitas Sraddha Institute, Komunitas Sastra Langit Malam, anggota Pramuka.

Melihat Esai Umar kayam sebenarnya Output Arah kebijakan DAK Fisik Tahun Anggaran 2020 bukanlah barang baru. Narasi yang datang 47 tahun silam itu begitu kontekstual dengan permasalahan wajah pendidikan saat ini. Mungkin, ini pertanda stagnasi pendidikan Indonesia atas permasalahn pendidikan Indonesia yang tak kunjung usai.

Jika kita masih ingat sepenggal kalimat UUD 1945 “Mencerdaskan kehidupan bangsa” yang ditasbihkan. Tentu kalimat ini adalah sebuah janji. Yang rasanya patut untuk ditagih kembali. Apalagi dugaan Ki Hajar Dewantara terkait penyalahgunaan tempat pendidikan menjdai tempat perniagaan seperti dulu, patut ditengok kembali.

Sebuah esai Umar Kayam berjudul “Sebuah Esai Tentang Pendidikan” Patut dijadikan reflkesi ikhwal pencerdasan bangsa lewat pendidikan Indonesia saat ini. Esai yang terbit di majalah Prisma pada 30 Maret 1972 ini menyoal keterbelakangan pendidikan Indonesia dan keterasingan bangku sekolah dengan realita kehidupan masyarakat.

Barang tentu, kita patut meninjau ulang praktik di lapangan. Sejauh mana para pihak terkait menyelesaikan permasalahan pendidikan. Apakah terjadi penyimpangan? Bagaimana sinkronisasi kebijakan berbagai instansinya? Atau malah ada formula yang salah atas praktik pendidikan Indonesia.

Narasi Umar Kayam

Umar Kayam tak hanya menyorot pendidikan dalam bingkai sekolah, Universitas (Perguruan Tinggi) pun menjadi titik pandang wajah pendidikan kita. Esainya yang melihat kongjusi pendidikan dan masyarakat, mengisyaratkan adanya instansi pendidikan sebagai menara gading yang berdiri di tengah masyarakat, yang menangis atas penderitaannya. Wajib adanya benang merah penghubung pendidikan dan masyarakat.

Imaji Siswa atau Mahasiswa tanpa benang merah dengan realitas masyarakat, saat itu memunculkan anggapan pendidikan tak berguna dikehidupan bermasyarakat. Timbullah solusi perbaikan dari Umar Kayam untuk menambah ruang kelas, ruang praktek siswa, serta pengadaan perpustakaan, sebagai penunjang menengok realitas kehidupan.

Menurtnya pula, paling penting adalah meningkatkan kanal-kanal informasi pengetahuan, menarik benang merah antara ilmu dan relaitas kehidupan. Titik beratnya ada pada bagaimana kontekstualitas pengajar menyampaikan berbagai informasi kepada anak didik dengan keakraban imaji kehidupan mereka.  Dan disinilah kata Umar Kayam kelemahannya.

Ada hal unik di esai Umar Kayam prihal administrasi keprofsian pengajar. Saking capeknya pengajar membawa segudang urusan super ribet administrasi sekolah, menyebabkan mereka tak sempat untuk membuka buku sekedar untuk menyulam informasi yang tercecer. Apalagi mengurai benang merah antara bahan ajar dan masyarakat. Mungkin mereka memilih tidur pulas dengan membawa mimpi buruk administrasi yang menghantui tidurnya.

Pengajar Literasi

Sangat jelas, pengajar yang literat harapan narasi besar Umar Kayam. Mampu menjadi samudra ilmu bagi siswanya dalam melihat keadaan bangsa. Karena, sifat dan maksud pendidikan untuk-menyokong kodrat alam anak-anak yang dididik, supaya dapat menunbuh-kembangkan hidup lahir dan batin menurut kodratnya sendiri-sendiri (1977: 94). Itulah pesan Ki Hajar Dewantara yang termaktub dalam buku kumpulan karaya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan, Bapak pendidikan Indonesia.

Wali Siswa yang percaya mitos pendidikan, bahwa Guru adalah sosok yang super pintar. Segala ucapananya adalah kebenaran. Pasti hanya menyerahkan begitu saja anaknya. Dengan harapan keluar dari Sekolah menjadi anak yang pintar dan purna dari segala macam.

Begitu kontradiktif dengan kenyataan. Alih-alih suatu bentuk harapan. Malah menjadi jurang pemisah anaknya dengan masyarakat. Konsekuensinya “mitos pendidikan harus ditebas”.Bukan tak percaya pada instansi pendidikan, tapi sebagai langkah melengkapi benang merah imaji anak dengan realitas masyarakat, melalui orang tua siswa yang aktif memberikan pendidikan di lingkungan keluarga.

Kemendikbud pun tanggap menyelesaikan masalah itu dengan Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan dunia pendidikan. Hingga, menerapkan kebijakan kontroversial sistem Zonasi Sekolah. Yang diharapkan menepis elitisisme Sekolah dan menggalakkan gaung pemerataan pendidikan. Disinilah para Guru diuji kemampuan dan loyalitasnya.

Guru harus menerima siswa yang memiliki berbagai latar belakang. Jika, siswa yang terjaring tak seperti harapan. Tentunya Guru harus kembali menengok tujuan adanya pendidikan “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” bukan “Menampung Anak Pintar Bangsa”.

Ranah Perguruan Tinggi pun tak luput dari permasalahan. Jurang pemisah instansi pendidikan-masyarakat terlihat begitu menganga. Dikandung maksud mencetak penerus bangsa, yang mencerdaskan warga negara. Perguruan tinggi sangat berjarak dengan masyarakat. Amanat Tri Darma hanya menjadi formalitas dalam kertas. Permasalahan masyarakat tak serius mejadi kajian untuk diselesaikan.

Sekarang, para pengajar justru hanya sibuk mengurus hal-hal yang sifatnya diluar urusan mendidik. Urusan keprofesioan pun hanya sekedar urusan administratif untuk meningkatkan sertifikasi. Ditingkat Perguruan tinggi urusan jurnal, penelitian dan pengabdian hanya di pandang segi remonerasi. Bukan pada tataran substansi peningkatan kualitas pendidikan.

Keberjenjangan pendidikan pun masih menuai masalah. Sistem zonasi sekolah yang dicanangkan oleh kemendikbud sebagai langkah pemerataan pendidikan tak diimbangi keberjenjangan pendidikan pasca sekolah.

Kemendikbud yang bertaruh atas penebasan mitos sekolah elit dengan mensetarakan semua sekolah. Justru ditataran Perguruan Tinggi elitisme digadang-gadang sebagai kegelamoran Instansi Perguruan Tinggi. Penggenjotan jurnal scopus, penggenjotan rangking Perguruan Tinggi, Hingga wacana ditingkat Perguruan Tinggi untuk mengganti Rektor Asing. Sangat Kontradiktif dengan kebijakan Kemendikbud. Dan lagi-lagi Pendidikan kembali berjarak dengan Masyarakat.

Pesan Bapak Pendidikan

Ki Hajar Dewantara berpesan kurang-lebih demikian: “Nenek moyang bangsa Indonesia bercocok tanam, berpasrah kepada Tuhan. Tak Memiliki nafsu berlebih mengumpulkan kebendaan. Hal ini dipandang buruk oleh bangsa lain. Namun, inilah kondrat alam bangsa, yang bisa disebut pendidikan nasional, Natuurlijk dan Menschelijk.”

Bagaimana dengan pendidikan Nasional?

Sistem pendidikan di Indonesia selalu mengacu dan memprimordialkan asing. Tanpa melirik sisi lokalitas bangsa. Entah, berapa banyak bangsa luar yang telah melirik dan memuja sistem pendidikan kita era dulu. Dan kini sukses memperbaiki kualitas pendidikan bangsanya.

Bangsa Indonesia hanya mencari rujukan dari bangsa luar tanpa mencoba menelaah potensi sumber pendidikan bangsa. Baik dari peninggalan tempat Pawiyatan zaman dahulu, ataupun kekayaan sumber yang tak kurang dari peninggalan kasusastraan Indonesia. Itulah pesan dari Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara.

Baik Sekolah maupun Perguruan Tinggi, selayaknya menggali potensi dari apa yang menjadi kepribadiannya sendiri. Tanpa mencederai kepribadiannya dan tetap terus berinovasi untuk wajah pendidikan Indonesia yang berkarakter National, Natuurlijk dan Menschelijk.

Begitulah Harapan Umar Kayam atas kesenjangan yang semakin hari semakin kentara terjadi di wajah pendidikan Indonesia ini.

Frengki Nur Fariya Pratama
Frengki Nur Fariya Pratama
Mahasiswa Ilmu Susastra Undip Semarang, Komunitas Sraddha Institute, Komunitas Sastra Langit Malam, anggota Pramuka.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.