Peristiwa teror bom bertubi-tubi terjadi pasca Lapas Mako Brimob disandera oleh para penghuninya. Surabaya, Sidoarjo, dan Riau menjadi tiga kota dalam sepekan yang terkena amuk bom bunuh diri. Kita baru sadar bahwa terorisme ada dan berlipat ganda. Ia dekat dengan namun tak pernah tertangkap penglihatan kita.
Ditengah isak tangis keluarga korban. Polisi melakukan tindakan nyata dengan melacak setiap barang bukti untuk memastikan setiap jengkal motif apa yang dilakukan oleh pelaku. Bela sungkawa pun datang dari berbagai aliansi masyarakat atas kejadian beruntun ini. Tagar #terorisjancuk pun menghiasi trending topic Twitter sebagai simbolisasi kami tidak takut.
Nun jauh dari tempat kejadian perkara. Terorisme menjadi perdebatan karena payung hukum yang sudah diajukan ke parlemen untuk direvisi semenjak 2015, saat tulisan ini ditulis, belum juga segera dikerjakan. Landasan itu menjadi penghambat penegak hukum untuk melakukan proses hukum pada kasus terorisme.
Selain persoalan tunggu di DPR, definisi hingga pertalian antara pasal-pasal di dalam revisi UU 15 tahun 2013 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan konsep hak asasi manusia masih menjadi perdebatan dan dianggap menghambat proses legislasi. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri, Tjhajo Kumolo.
Sejauh mana konsepsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dibutuhkan untuk merevisi undang undang pemberantasan terorisme?
F. Budi Hardiman d alam karyanya Terorisme, Pradigma dan Definisi mengungkapkan bahwa menakut-nakuti, mengancam, dan membunuh bermaksud menyebarkan rasa takut adalah takti yang melekat pada perjuangan kekuasaan. Namun tindakan teror biasa dilakukan oleh suatu organisasi yang memiliki cita-cita politik atau religius tertentu. Pelakunya terdiri dari perorang atau keompok.
Seiring berjalannya zaman, perluasan paradigma, teroris dikategorikan sebagai crime againt state dan perbuatannya disebut crime againt humanity. Sasaran teroris adalah masyarakat yang tidak berdosa menjadi korban.
Motifnya bberupa kekerasan dan ancaman yang berakhir pada politik untuk melakukan perubahan di dalam suatu negara. Fenomena tersebut justru memerlukan upaya upaya negara untuk melindungi warganegara dan kepentingan negara –pembuatan hukum- salah satunya dengan meratifikasi hukum internasional mengenai tindakan terorisme.
Tindak pidana terorisme pun merupakan extra ordinary crime. Derajat keluarbiasaan ini ppula menjadi salah satu dikeluarkannya perpu anti reroisme dengan pemberlakuan retroaktif untuk kasus Bom Bali. Mengapa teroris termasuk extra ordinary crime ? Bukan soal crime againts humanity dan genoside, juga sulit pengungkapan kepada khalyak publik karena sifatnya transboundary dan melibatkan jaringan internasional.
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak yang melekat penuh dan tidak bisa direnggut oleh perseorangan sebagai manusia. Ia dijamin oleh hukum nasional dan internasional penerapan ini merupakan bentuk awal agar terhindar dari kesewenang-wenangan terhadap otoritas negara, individu maupun koorporasi. Oleh karenanya, negara –termasuk birokratnya- wajib melindungi dan memenuhi HAM sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pasal 27-29 serta UU 39 tahun 1999.
Dalam konteks ini bahwa teroris telah berulang kali mencabut hak hidup orang secara sewenang. Pada hal ini hak yang paling fundamental telah dicerabut dan pada akhirnya sama HAM Pelaku, HAM korban, dan HAM orang publik menjadi hilang..
Kategorisasi ini jalan untuk mengingatkan kita bahwa dalam melakukan penyelidikan terdapat asas hukum presumption of innocent (asas praduga tidak bersalah) dalam melakukan pencegahan kasus teroris. Bahwa pelaku harus melalui tahap penyidikan dan penyelidikan sesuai dengan due procces of law sehingga saat disidangkan pun publik mengetahui akuntabilitas kinerja pencegahan teroris di lapangan dan penegakkan hukum memanusiakan manusia.
HAM korban pun diperlukan untuk melihat hak paling fundamentallnya tercerabut. Tidak serta-merta boleh mengajukan “keberatan” yang tak di atur dalam hukum. Menghormati pengadilan adalah melawan se adil-adilnya.
HAM orang lain sebagai pengguna fasilitas publik yang kehilangan atas rasa aman. Negara harus memberikan ini sebagai fungsi to full fill dan to protect atas tindakan teror. Penangganan teror ini pula harus sesuai dengan standar operating prosedure dan revisi UU No. 15 tahun 2013.
Meskipun kejahatannya dikategorikan extra ordinary crime, melekat juga sifat kemanusiaan yang merepresentasikan hak-hak yang dilindungi oleh undang-undang. Tertuduh teror harus diadili melalui proses hukum yang sesuai dengan asa due process of law dalam koridor criminal justice system. Teroris di mata HAM juga harus dilokalisir sehingga tidak menyebar luas ke masyarakat. Humanisasi terduga di lapangan bukan saja pelaku melainkan korban.
Simalakama menekan terorisme
Ingatan kita masih utuh atas kebijakan Presiden George W. Bush yang menyatakan war on terror terhadap maraknya terorisme global setelah kejadian 9/11 di WTC. Kampanye masif dikalangan militer untuk melakukan pendekatan perang terhadap terorisme menjadi-jadi. Termasuk US pun menurunkan tentara terbaiknya ke area peperangan Timur Tengah untuk melakukan represifitas terhadap anggota terorisme.
Model perlakuan US terhadap terorisme juga ditenggarai menimbulkan praktik penyiksaan, penangkapan tidak sah, tindakan memata-matai publik secara tidak wajar, dan jatuhnya korban yang tidak bersalah.
Pendekatn ini pun diakhir saat Obama menjadi orang nomor satu di US, ia menghapuskan program War on Terror meskipun di waktu selanjutnya masih masif menurunkan tentaranya untuk menggebuk milisi Negara Islam Suriah dan Syam dengan bingkai “terorisme”.
Lantas mengapa pendekatan war on terror menjadi simalakama? Ya, Bush menjadi satu pijakan terorisme untuk mengungkapkan kemarahan atas apa yang dilakukannya terhadap milisi teroris yang diperlakukan tidak manusiawi. Ia pun tidak mengoreksi detail bahwa jaringan terorisme amat fleksibel layaknya klandestin menjadi bom waktu atas kekecewaanya.
Negara terdekat Indonesia, Filiphina pun dihadapkan pada serangan terorisme. Kepala negara justru memilih pendekatan militer sebagaimana dilakukan oleh pendahulunya yang berasal dari militer. “Battle of Marawi” pun menghiasai berbagai surat kabar dan media daring mengabarkan bahawa Kota Davao diserang pada 2017. Rodrigo Duterte pun tak segan menambah dua organisasi teroris yang tak ada sangkut pautnya, Communist Party dan Nes People’s Army ke dalamnya.
Contoh pendekatan war on terros juga terdapat data yang menunjukkan peningkatan akan laku teroris. Lembaga riset Global Index merilis Filiphina dalam 12 besar negara paling terdampak setelah negara-negara di Timur Tengah. Sekaligus 633 serangan teroris pada tahun 2016 pun tidak menurun secara signifikan di 2017. Lain Filiphina, US pun menampar mukanya sendiri. Pasca tragedi 9/11 jumlah warga sipil yang terbunuh oleh teroris hanya 9 orang. Berbanding terbalik dengan warga AS tertembak mati pada tahun2014-2015 sebanyak 11.537 orang. Dalang dari aksi teror ini 82% warga US sendiri.