Friedrich Julius Stah, seorang pakar konstitusi, filsafat dan politik dari Jerman mengemukakan empat (4) ciri dari negara hukum yaitu (1) jaminan hak asasi manusia (HAM); (2) pemisahan atau pembagian kekuasaan; pemerintahan berdasarkan hukum serta (4) adanya peradilan administrasi.
Sementara itu, AV Dicey juga mengemukakan ciri-ciri dari rule of law yaitu (1) supremasi hukum ; (2) kedudukan yang sama di depan hukum serta (3) terjaminnya hak asasi manusia (HAM). Jaminan terhadap HAM merupakan persyaratan mutlak dari sebuah negara hukum.
Secara konstitusional, Indonesia adalah negara hukum. Hal tersebut dinyatakan secara tegas dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) tahun 1945.
Pengakuan terhadap jaminan HAM juga dijamin secara kosntitusional. Hal ini dapat kita lihat dengan adanya pengaturan tentang HAM dalam konstitusi. Bahkan, jaminan terhadap HAM diatur dalam bab tersendiri, yaitu bab XA tentang Hak Asasi Manusia.
Bahkan dari 37 pasal dalam UUD NRI Tahun 1945, 9 diantaranya mengatur tentang HAM. Hal ini menunjukkan bahwa jaminan yang diberikan oleh negara terhadap HAM bukanlah main-main.
Meskipun jaminan terhadap HAM sudah memiliki legitimasi yang kuat, namun hingga hari ini kasus pelanggaran HAM terus terjadi. Data dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menunjukkan, sepanjang tahun 2017 Komnas HAM menerima 5.387 berkas pengaduan dari masyarakat (Tempo, 22 Januari 2018).
Menurut ketua Komnas HAM, Ahmad Taufam Damanik, Kepolisian menjadi institusi yang menjadi pihak terlapor terbanyak yang masuk ke Komnas HAM. Padahal kepolisian merupakan alat negara yang harusnya mempunyai tugas untuk menjaga ketertiban dan perlindungan masyarakat. Namun, hal ini tidak didukung dengan implementasinya, justru Kepolisian menjadi institusi yang melakukan pelanggara HAM nomor 1 di Indonesia.
Populisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah paham yang mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan, dan keutamaan rakyat kecil.
Sedangkan istilah Pasca Kebenaran (Post Truth), pertama kali diperkenalkan oleh Steve Tesich dalam majalah The Nation ketika menulis tentang perang teluk dan Iran yang kemudian dipopulerkan oleh Ralph Keyes (2004) seorang penulis asal Amerika Serikat dalam bukunya yang berjudul The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception In Contemporary Life.
Keyes berpendapat bahwa dahulu kita hanya mengenal benar atau salah. Namun hari ini, seseorang dapat menyampaikan fakta denfan bumbu kebohongan. Pada era ini, batas antara fakta atau palsu serta benar atau salah menjadi kabur. Hal ini yang kemudian menyebabkan tantangan perlindungan HAM di Indonesia dalam era populisme dan pasca kebenaran menjadi berat.
Sedikitnya terdapat tiga (3) tantangan perlindungan HAM di Indonesia dalam era populisme dan Pasca Kebenaran yaitu sebagai berikut :
1. Komitmen Pemerintah dalam menjamin terselenggaranya HAM
Hingga hari ini, komitmen pemerintah terhadap jaminan terselenggaranya HAM masih diragukan. Hal ini dibuktikan dengan berbagai fakta. Salah satunya adalah pemerintah merupakan pelaku utama yang melakukan pelanggaran HAM di Indonesia.
Data Komnas HAM menunjukkan, pada tahun 2016 pemerintah (pusat dan daerah) merupakan pihak terlapor yang paling banyak diadukan masyarakat. Dari 7.188 pengaduan yang masuk ke Komnas HAM, 4.054 pelapor menyatakan bahwa Pemerintah (pusat, daerah, kepolisian, dan kejaksaan) merupakan actor utama pelanggaran HAM di Indonesia.
2. Hoax / Berita Bohong yang beredar
Hoax atau berita bohong merupakan tantang perlindungan ham kedua dalam era Populisme dan Pasca Kebenaran. Mudahnya akses informasi yang didapatkan masyarakat melalui media sosial, sering kali menjadi alat penyebar hoax yang mudah.
Data Kementrian Komunikasi dan Informasi menunjukkan sedikitnya terdapat 800.000 situs di Indoensia yang terindikasi sebagai penyebar informasi palsu. Maraknya hoax yang beredar di masyarakat merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM yaitu hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan informasi yang benar sebagaimana dijamin dalam pasal 28F UUD NRI Tahun 1945.
3. Sikap masyarakat yang permissif
Tantangan selanjutnya adalah sikap masyarakat yang permissif terhadap pelanggarann HAM yang terjadi. Tak banyak masyarakat yang berani memperjuangkan HAM ketika pelakunya merupakan pemerintah / pihak yang mempunyai kekuasaan.
Data yang diterima Komnas HAM mengenai laporan pelanggaran HAM belumlah seberapa dibandingkan fakta yang terjadi di lapangan.Menurut anggota Kompolnas, Syafriadi Cut Ali, mayoritas korban penyiksaan yang dilakukan oleh aparat tidak berani melaporkan penyiksaan yang dialaminya kepada pihak terkait.
Hal ini disebabkan oleh salah satunya kemampuan ekonomi korban yang lemah. Sehingga dalam keadaan yang demikian, korban dan pelaku yang merupakan aparat dalam keadaan yang tidak seimbang.
Oleh karena itu, dalam menjawab tiga tantangan perlindungan HAM dalam era populisme dan era pasca kebenaran saat ini, diperlukan adanya komitmen pemerintah, sikap masyarakat yang cerdas serta keberanian dan pengawasan dari semua pihak karena perlindungan HAM adalah tanggungjawab bersama.