Umat Islam Indonesia sedang merayakan Idul Fitri 1440 H. Hari Raya ini sangat lekat dengan tradisi ketupat dan halal bihalal. Konon, ketupat untuk pertama kalinya dikenalkan oleh Sunan Kalijaga.
Ketupat bermakna “ngaku lepat” yang bermakna “mengaku bersalah”. Makna ini disimbolisasi dalam bentuk makanan ketupat yang dihidangkan kepada tetamu atau dihantarkan kepada sanak saudara sebagai bentuk permohonan maaf. Menerima dan memakannya dimaknai sebagai penerimaan dan pemberiaan maaf.
Ketupat atau ngaku lepat ini menjadi kesadaran komunal masyarakat Jawa khususnya pada momen Idul Fitri. Maka, menjadi tradisi masyarakat ini setiap aktivitas silaturrahim yang muda selalu menyatakan ke yang tua: “ngaturaken sedoyo kalepatan”. Sebaliknya yang tua tidak kemudian merasa benar sembari menjawab: “sing tuo akeh lupute”. Dalam konteks ini orang lebih banyak berebut salah dari pada berebut benar.
Tentu harapannya, tradisi di atas tidak hanya bersifat formal tetapi menjadi kesadaran setiap individu. Bergemanya takbir sebagai tanda usainya Ramadan, bulan pelatihan ruhani, perasaan ke-aku-an dan keangkuhan tergantikan dengan perasaan kemahabesaran Tuhan.
Tidak ada yang lebih besar selain Tuhan, tidak ada yang sempurna selain Tuhan, manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Maka memohon dan memberi maaf adalah keniscayaan yang manusiawi.
Jika berebut salah tidak hanya bersifat formal, jika berebut salah tidak saja menghiasi bulan Syawal, tentu keselamatan dan perdamaian sebagai pesan sosial Islam lebih mudah terwujud. Harus diakui, berbagai bentuk kegaduhan dan konflik sosial lebih banyak dilatarbelakangi oleh egosentrisme individu dan kelompok. Artinya individu dan kelompok lebih banyak berebut benar sembari menyalahkan individu atau kelompok lain.
Tradisi kupatan yang khas nusantara ini kemudian dikuatkan lagi dengan tradisi “halal bi halal”. Tradisi yang terakhirnya dimunculkan pertama kalinya oleh K.H. Wahab Chasbullah, salah seorang pendiri NU.
Tradisi halal bi halal awal mulanya adalah bentuk rekonsiliasi politik pasca perang kemerdekaan yang kemudian bertransformasi menjadi gerakan sosial-keagamaan yang masif di Indonesia.
Nyaris tidak ada organisasi dan institusi baik formal maupun informal yg melewatkan tradisi ini. Maka, momentum halal bi halal 1440 H ini menjadi sangat strategis untuk merekatkan kembali kerenggangan sosial – politik pasca pilpres dan pileg.
Islam Akomodatif-Apresiatif terhadap Tradisi
Tradisi kupatan dan halal bihalal adalah inovasi dalam keberagamaan. Inovasi ini pararel dengan subtansi agama tentang persaudaraan dan perdamaian. Media dan sarana untuk keduanya adalah silaturahmi.
Tiada persaudaraan dan perdamaian tanpa silaturahmi. Islam menegaskan bahwa prasyarat keberimanan adalah menyambung tali silaturrahmi apapun bentuknya (man kana yu’minu billah wa al-yaumi al-akhir fal yashil rahimah). Dalam konteks hadis, Tidak tanggung-tanggung Rasul menjadikan silaturahmi sebagai prasyarat keimanan seseorang.
Substansi agama memang selalu mengambil baju budaya dan tradisi. Dialektika agama dan budaya mengajarkan tentang transformasi nilai agama dengan media budaya. Dalam sejarah pelembagaan hukum Islam misalnya, respon Islam terhadap tradisi Arab lebih banyak bersifat akomodatif-apresiatif ketimbang destruktif.
Sikap akomodatif-apresiatif Islam terhadap budaya dan tradisi bermakna penerimaan terhadapnya sembari menyempurnakan aturan-aturannya serta merubah karakter tradisi jika dinilai tidak sesuai dengan pesan inti Islam.
Berdasar hal di atas, maka pendekatan terhadap tradisi lebaran (kupatan dan halal bihalal) seyogyanya lebih bersifat subtantif, tidak semu. Ketulusan dalam meminta dan memberi maaf perlu dihadirkan dalam hati. Ketulusan ini perlu dibarengi dengan sikap tawadlu, tidak merasa lebih dari yang lain.
Berbarengan dengan ini semua sikap kesetiakawan sosial terhadap yang kurang beruntung juga perlu ditingkatkan. Sikap tabzir perlu dihindakan, dan komitmen untuk melanggengkan hablun min al-nas yang baik pasca Idul Fitri perlu ditanamkan. Semoga!