Beberapa hari ini, barangkali kita sama-sama jemu menjumpai berbagai respons warganet terkait kasus penganiayaan terhadap AY. Dua belas anak SMA diduga melakukan perundungan kepada AY dan tiga di antaranya telah ditetapkan sebagai tersangka – terbukti melakukan penganiayaan ringan. Ketiga pelaku memang patut mendapatkan sanksi agar menjadi pembelajaran bagi mereka dan anak-anak yang lain, bahwa setiap perbuatan memiliki konsekuensi.
Sebelum fakta terkuak dengan keluarnya hasil visum, warganet beramai-ramai menyebar dan menandatangani petisi agar AY mendapatkan keadilan. Warganet merasa ngeri sekaligus geram dengan pemberitaan yang viral tentang kepala AY dibenturkan di aspal, perutnya diinjak-injak, dan yang paling memicu kemarahan – vaginanya ditusuk agar selaput daranya pecah.
Akibat dari viralnya pemberitaan tersebut, para terduga pelaku mendapatkan kutukan bertubi-tubi dari warganet. Foto mereka disebar dan dipermalukan habis-habisan. Mereka juga diancam akan diperlakukan lebih parah – layak diperkosa atau vaginanya ditusukkan pisau. Ancaman mengerikan itu menunjukkan kepada kita perihal betapa piciknya pemikiran kebanyakan warganet.
Setiap kejahatan memang harus mendapatkan sanksi yang setimpal. Namun, jika hukuman yang dimaksud justru dengan mengutuk pelaku dan menganggapnya sebagai satu-satunya sumber masalah – bagi saya, itu merupakan tindakan yang amat keliru.
Melawan kejahatan, bukan berarti mesti melakukan kejahatan serupa. Jika melakukan hal sama, apa yang membedakan kita dengan mereka? Dengan berbuat demikian, kejahatanlah yang akan selalu menang. Kehidupan kita pun menjadi sesuatu yang amat memprihatinkan setiap harinya. Gersang akan keberadaan nilai-nilai kebaikan.
Tindakan demikian, seperti melawan pelaku body shaming dengan melakukan body shaming pula. Atau yang paling dekat dengan keseharian kita sekarang, terutama yang berkaitan dengan kontestasi politik: melawan berita bohong dengan menyebarkan berita bohong pula. Akhirnya, menciptakan karut-marut dalam kehidupan bermasyarakat yang tanpa ujung – spiral kekacauan.
Sepertinya watak warganet memang demikian, gemar menghakimi dengan melakukan perundungan. Watak itu dengan jelas diperlihatkan lagi dengan keluarnya hasil visum AY — yang paradoks dengan pemberitaan sebelumnya. Warganet yang tadinya mendukung AY, tiba-tiba berbalik menyerang.
Mereka menggelari AY sebagai putri drama. Ratna Sarumpaet junior. Juga penerus Setya Novanto. Kemudian, menggunakan status-status AY di facebook untuk melabelinya sebagai anak nakal. Video Tiktok AY pun dijadikan alasan untuk memperkuat label tersebut.
Maka dari itu, penting sekali menyelamatkan anak-anak dari watak yang demikian. Saya selalu percaya bahwa tidak ada anak-anak yang dilahirkan dengan mental sakit. Tidak ada anak-anak bermasalah, melainkan hanya kurang bahagia. Karena kurang bahagia, mereka pun melakukan tindakan-tindakan yang tidak sepatutnya – sesuatu yang kita definisikan sebagai kenakalan.
Alexander Sutherland Neil dalam bukunya Summerhill School juga mengatakan demikian – bahwa tidak ada anak-anak yang jahat. Yang ada adalah para orang tua bermasalah, guru-guru yang bermasalah, dan sekolah-sekolah yang bermasalah – yang semuanya melahirkan anak-anak bermasalah. Mereka melakukan hal-hal bermasalah sebagai pelampiasan mereka atas kekesalannya terhadap keadaan.
Keadaan itu yang menurut Neil sebagai pemicu anak-anak digerogoti kebencian. Kemudian, kebencian tersebut melahirkan kebencian lain pula. Maka anak-anak yang dipenuhi kebencian seolah berperang dengan dirinya sendiri. Konsekuensinya, mereka merasa berperang dengan seluruh dunia.
Menurut saya, hal itu yang luput dari kesadaran kita terkait kejahatan yang biasanya dilakukan oleh anak-anak. Mereka adalah hasil dari kegagalan orang dewasa dalam mendidik. Mereka menjadi anak-anak yang tidak bahagia dan melampiaskannya – dengan melakukan kejahatan kepada orang lain.
Anak-anak yang seperti itu, hampir selalu dikarenakan oleh perlakuan yang salah terhadap mereka di rumah dan di sekolah. Maka dari itu, kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak, seharusnya menjadi tanggung jawab orang tua dan guru. Para orang tua dan guru harus menginstrospeksi diri – mengevaluasi kesalahan atau kelemahannya dalam mengasuh dan/atau mendidik anak.
Para orang dewasa juga harus menyadari bahwa setiap anak terlahir dengan membawa kecenderungan untuk menjadi baik atau jahat. Anak-anak menjadi salah satu dari keduanya ditentukan oleh keadaan lingkungan hidupnya: rumah, sekolah, dan masyarakat. Setiap anak adalah peniru ulung, mereka dengan mudah meniru apa pun yang dapat mereka jangkau.
Anak-anak bermasalah di muka bumi, dikonstruksi oleh hal-hal yang mereka lihat setiap hari. Caci maki, pertengkaran, pembunuhan, dan hal-hal bermasalah lainnya – dengan mudah mereka jumpai – baik di dunia maya, maupun di dunia nyata.
Kondisi tersebut secara tidak langsung membangun kesadaran anak-anak bahwa semua itu adalah sesuatu yang biasa dan normal. Maka anak-anak pun tumbuh menjadi manusia yang gemar melakukan perundungan dan tidak merasa bersalah. Hal itu bisa kita lihat dari kelakuan para perundung AY ketika berada di kantor polisi – yang masih sempat melakukan boomerang di akun instagram-nya.
Menjumpai kenyataan tersebut, sepatutnya para orang dewasa menyadari bahwa keberadaan anak-anak bermasalah merupakan bentuk kegagalan mereka memberikan contoh yang baik. Anak-anak hanya meniru apa yang orang dewasa pertontonkan di televisi, di media sosial, dan di kehidupan sehari-hari. Kesalahan-kesalahan para orang dewasalah yang membuat anak-anak tumbuh dengan mental pembenci dan perundung.
Setelah menyadari kesalahan-kesalahan tersebut, para orang dewasa, terutama orang tua dan guru mesti segera membenahi pola asuh atau pola mendidik. Mereka mesti menjamin setiap anak terhindar dari segala sesuatu yang bisa membangun kebencian atau ketidakbahagian dalam dirinya. Seperti kita tahu, kebencian hanya melahirkan kebencian, maka yang perlu ditanamkan pada anak-anak adalah kasih sayang. Sehingga kasih sayang itu pun melahirkan kasih sayang yang lain dan menjamur dalam keseharian anak-anak.
Untuk menumbuhkan kasih sayang dalam diri anak-anak, orang dewasa hanya perlu menjamin anak-anak bisa merasa bahagia. Caranya sederhana, cukup menjadi orang tua dan guru yang mampu menahan diri untuk tidak merampas kebahagiaan mereka – dengan tidak sok tahu perihal apa pun yang mereka butuhkan, tanpa meminta pendapatnya. Orang tua dan guru hanya perlu selalu perhatian, tanpa melulu mendikte mereka.
Dengan melakukan itu, anak-anak akan tumbuh dengan pribadi yang sangat bahagia – yang kemudian mengalahkan segala bentuk kebencian. Sebab, tidak ada orang bahagia yang melakukan kejahatan kepada orang lain. Seperti kata Neil, semua kejahatan, semua kebencian, dan semua peperangan bersumber dari ketidakbahagiaan.