Kamis, Maret 28, 2024

Hakikat Demokrasi

Despan Heryansyah
Despan Heryansyah
Despan Heryansyah Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) dan PUSHAM UII Yogyakarta

Demokrasi bagi bangsa Indonesia sendiri adalah istilah baru yang dikenal pada paruh abad ke-20. Dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, demokrasi dalam bentuknya yang modern ini juga tidak dikenal di Indonesia.

Musyawarah mufakat sebagai budaya asli Indonesia yang kerap disamakan dengan prinsip demokrasi, adalah kesimpulan keliru karena musyawarah yang dimaksud ketika itu, hanya diikuti oleh laki-laki dewasa dan penduduk asli semata. Sedangkan perempuan dan anak-anak tidak memiliki hak untuk duduk bersama melakukan musyawarah, tentu demokrasi yang kita maksud pada abad ini bukanlah demokrasi yang demikian, begitu kata Bung Hatta dalam bukunya Demokrasi Kita.

Demokrasi berdiri di atas prinsip persamaan, bahwa setiap manusia adalah sederajat oleh karena itu tidak boleh ada pengkhususan terhadap kelompok tertentu, atau anggapan bahwa yang satu labih terhormat dari pada yang lain. Maka, menjadi wajar jika di Indonesia demokrasi berjalan tertatih, sulit menemukan pijakan dan arahnya yang baku, utamanya dalam hal praktik demokrasi dalam kehidupab berbangsa dan bernegara. Demokrasi baru menyentuh pada aspeknya yang prosedural.

Oleh sebab itu, demokrasi harus mengatasi bentuknya yang sekarang berupa prosedural semata, meski yang prosedural itu sendiri tidak dapat dihilangkan namun demokrasi substansial mutlak dibutuhkan. Prosedural demokrasi  mengandung dua ancaman yang sama latennya.

Pertama, demokrasi dibajak oleh mereka yang sejatinya anti demokrasi. Kelompok-kelompok sektarian dapat mengambil hati konstituen secara demokratis, tetapi setelah berkuasa mereka membakar jembatan yang mereka bakar sendiri. Ada kecenderungan di Indonesia bahwa kepentingan mayoritas, biasanya atas nama keamanan, harus lebih diutamakan dari kepentingan minoritas, tidak peduli sepenting apapun hak minoritas yang dikorbankan itu.

Kedua, demokrasi dibajak oleh orang-orang berpunya. Demokrasi merosot maknanya menjadi kompetisi untuk mendulang suara yang di dalamnya popularitas menjadi kunci utama. Sementara popularitas jarang dibangun dari keringat kerja-kerja politik, melainkan iklan politik belaka. Tak ayal, para pemenang pun adalah mereka yang bermodal atau dimodali oleh para cukong.

Kualitas demokrasi pun dipertaruhkan ketika relasi politik berubah menjadi transaksi ekonomi belaka. Politik demokrasi bukan lagi pembangunan proyek-proyek kolektif (kesejahteraan umum), melainkan festival proseduralisme belaka.

Hampir sepanjang perjalanan sejarahnya, teori dan praktik tentang demokrasi terpusat pada klaim-klaim yang saling berlawanan mengenai kekuasaan oleh kelompok-kelompok sosial yang saling bersaingan.

Demikianlah, David Held memulai karyanya Models of Democracy dengan mendefinisikan demokrasi sebagai “suatu bentuk pemerintahan di mana, pertentangan monarki dan aristokrasi, rakyatlah yang memerintah”.

Begitulah sejatinya demokrasi dilahirkan lalu diperjuangkan, agar rakyat tidak hanya menjadi penonton atas hiruk pikuk kehidupan bernegara, namun diberikan ruang untuk berperan aktif maupun pasif.

Hakikat demokrasi akhir-akhir ini kembali hangat dibicarakan, setidaknya semakin gencar pasca disahkannya revisi undang-undang MD3 yang dinilai memutar balikkan logika demokrasi.

Sejak semula menjadi kesadaran bersama bahwa pilihan atas demokrasi perwakilan memberikan kewenangan kepada wakil untuk mewakili seluruh prosedur dalam pemerintahan, namun secara substantif arah dari segala sesuatu yang diputuskan dalam demokrasi perwakilan itu adalah berdasarkan kepada kehendak rakyat.

Jadi setiap wakil harus tau apa yang menjadi keinginan dari orang-orang yang diwakilinya, bagaimanapun kehendak pribadi dan kelompok harus tunduk kepada kehendak rakyat. Maka, menjadi aneh ketika lahir suatu undang-undang yang serta merta mendapatkan penolakan dari rakyat.

Tampak jelas bahwa undang-undang itu dibuat tidak berdasarkan pada kehendak dari pemiliki kedaulatan yaitu rakyat, ia hanya berisi ihwal kepentingan dari elit politik penguasa partai politik semata. Bagaimana mungkin, wakil mengambil keputusan namun tidak berdasarkan pada kehendak yang ia wakili, menandakan bahwa ada yang salah dengan demokrasi perwakilan kita.

Konteks ini, kita bisa melihatnya bersama dalam kasus revisi undang-undang MD3, yang sah menjadi undang-undang dengan penuh drama. Setelah mendapatkan persetujuan bersama dari presiden dan DPR, lalu presiden “berpura-pura” tidak mau menandatanganinya dan hendak mengeluarkan Perppu, namun perppu tak kunjung disahkan lalu pasca 30 hari ia sah menjadi undang-undang, tepatnya pada 12 Maret 2018 lalu.

Beberapa hari saja setelah di sahkan, undang-undang yang belum bernomor ini segera digugat oleh banyak komunitas ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sampai di sini saja, tampak jelas bahwa demokrasi perwakilan kita tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya, antara wakil dengan yang diwakili punya logikanya masing-masing, padahal seharusnya logika yang digunakan wakil adalah logika yang diwakilinya.

Kini kita menggantungkan harapan pada komitmen Mahkamah Konstitusi, MK pun sejak semula tidak hanya diposisikan sebagai penjaga konstitusi, namun di atas itu MK adalah pelindung HAM dan demokrasi itu sendiri. Artinya, dalam kasus ini hakim MK juga harus mendengar apa yang menjadi kehendak pemilik kedaulatan, tidak hanya berkutat pada teks undang-undang dan Undang-Undang Dasar.

Despan Heryansyah
Despan Heryansyah
Despan Heryansyah Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) dan PUSHAM UII Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.