Kamis, Maret 28, 2024

Hak Cipta Intelektual: Masalah Globalisasi? (Bagian 1)

Agung Tri Putra
Agung Tri Putra
Menteri Koordinator Bidang Inovasi & Prestasi BEM UNAIR | Undergraduate Student of International Relations, Airlangga University, Surabaya, Indonesia

Ayo sejenak melupakan sesaknya perdebatan mengenai pemilihan presiden 2019. Mari membahas sesuatu yang lebih simpel daripada politik yang mulai memanas, yaitu mengenai “Hak Cipta Intelektual”.

Globalisasi menyebarkan ilmu pengetahuan tersebut ke seluruh pelosok dunia, dengan corak yang sama. Sehingga pengetahuan tersebut dirasakan di seluruh dunia tanpa terkecuali, hal tersebut seharusnya menjadi hal yang positif, namun kenyataannya tidak selalu demikian.

Karena muncul narasi untuk pembentukan hak paten, atau hak cipta intelektual yang membatasi semuanya. Konsep ini dalam mata kuliah Globalisasi dan Masyarakat Internasional diterjemahkan oleh Peter Drahos dan J Braithwaite sebagai Information Feudalism.

Peter Drahos dan J Braithwaite dalam tulisannya yang berjudul “Who Owns the Knowledge Economy?” mengilustrasikan fenomena pelanggaran sederhana hak cipta intelektual dengan gambar seorang anak yang sedang bermain ayunan, setelah beberapa saat anak tersebut pulang. Kemudian beberapa waktu setelah itu, datang sebuah surat yang menyatakan bahwa si anak tersebut telah melakukan pelanggaran hak paten terhadap gerakan/metode mengayunnya tersebut.

Keberadaan hak paten atau hak kekayaan intelektual memang baik dalam beberapa hal seperti kesejahteraan penemunya serta kegunaan darinya jika diperuntukkan untuk mengembangkan teknologi lainnya. Akan tetapi kemudian tidak disangka sistem paten ini memiliki sistem yang hampir sama dengan feudalisme konvensional, feudalisme konvensional yang menggunakan tanah sebagai sumber kapitalnya.

Hal yang berbeda hanya pada kapital yang digunakannya saja, yaitu ilmu pengetahuan atau informasi, sistemnya adalah ilmu pengetahuan diklaim milik perseorangan. Sehingga siapapun yang memutuskan untuk menggunakan itu harus membayar lisensi terhadap ilmu yang dipakai. Perseorangan yang dimaksud disini memang personal pemilik dari paten tersebut, tapi terdapat aktor lain yang lebih kuat daripada itu, yaitu korporasi dan konglomerat media.

Dengan hadirnya permainan yang demikian tersebut monopoli swasta terhadap sumber-sumber pengetahuan akan menjadi gurita bagi masyarakat global yang tidak memiliki akses terhadap hal tersebut seperti masyarakat negara dunia ketiga. Mungkin masuk akal jika melihat hal tersebut dalam dunia industri besar, karena banyak sumber uang yang berputar di sana dan menurut penulis hal tersebut bukanlah sebuah masalah.

Samsung pernah didenda sebesar 7.6 Triliun karena menggunakan teknologi yang telah dipatenkan oleh Apple. Samsung melakukan penjiplakan terhadap beberapa fitur yang dimiliki oleh iPhone dengan tujuan agar konsumen melakukan pembelian terhadap produknya tersebut. Kedua perusahaan ini telah berselisih dari tahun 2011, memenangkan iPhone sebagai pemilik paten dari fitur tersebut.

Penulis rasa dampaknya tidak begitu terlihat bagi masyarakat luas, mungkin hanya di kalangan perusahaan produsen telepon genggam pintar saja. Akan tetapi ini tetap dinamakan sebagai feudalisme. Lebih parah dari itu, penggunaan hak paten ini membatasi perusahaan-perusahaan untuk berkembang. Bagaimana sebuah perusahaan baru dapat menciptakan produk unggulannya, misalnya telepon genggam pintar, tanpa menggunakan hak paten terhadap teknologi dari yang telah ada?

Terdapat 250.000 paten di seluruh dunia berkaitan dengan penciptaan telepon genggam pintar. Perusahaan tersebut harus membayar lisensi untuk penggunaan paten tersebut baru dapat menghasilkan sesuatu.

Pembahasan tersebut berada di tingkat perusahaan, lantas bagaimana yang terjadi dalam lingkup pendidikan dan pembahasan mengenai ilmu pengetahuan?

Tentunya banyak juga bahan (jurnal) terbitan internasional yang harus dimiliki. Tetapi ternyata tidak banyak yang tersedia secara gratis, hampir semua dari jurnal internasional tersebut memiliki hak paten intelektual. Selain memang dilindungi oleh hak paten intelektual terhadap buah pikiran orang, penggunaan hak paten ini membunuh penyedia-penyedia jurnal lainnya, seakanperusahaan besar menguasai dan memonopoli jurnal-jurnal tersebut.

Sehingga tercipta stereotype jika jurnal terbitan perusahaan A lebih berkualitas daripada jurnal terbitan perusahaan B.

HKI (Hak Kekayaan Intelektual membuat sebuah informasi memiliki harga, sehingga kemudian menaikkan biaya lisensi, kemudian jikalau-pun terjadi inovasi, sang innovator tersebut harus membayar terhadap ide awal yang telah digunakannya terhadap produk yang dimiliki. Karena jurnal terbitan A memiliki kualitas yang dianggap lebih bagus, maka harganya juga naik dalam membayar royalty kepada penulis jurnal tersebut.

Akhirnya khasanah ilmu pengetahuan bukan lagi mengenai ketulusan untuk dapat berkontribusi untuk pengembangan dunia pendidikan, tetapi juga mengenai uang dan kapitalisasi didalamnya. Inilah yang menjadi salah satu kritik penulis terhadap perkembangan globalisasi dan masyarakat informasi pada masa kontemporer ini.

Karena seharusnya pengetahuan adalah milik semuanya, jika terus seperti ini tidak ada perbedaan secara arti antara imperialisme dan feudalisme masa lalu dengan keberadaan ilmu pengetahuan yang menjadi objek monopoli perusahaan atau negara-negara tertentu pada saat ini. Hasilnya, keadaan seperti ini hanya menguntungkan bagi negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Eropa.

Sehingga kemudian menurut pandangan di atas penulis beropini dan memiliki posisi bahwa terdapat tiga tingkatan konglomerasi ilmu pengetahuan melalui hak paten intelektual yaitu korporasi, pemilik dan pemakai.

Korporasi berada di tangga teratas, karena berhasil meyakinkan pemilik untuk menggunakan hak ciptanya dengan sedikit bayaran untuk dijual kembali dengan harga yang lebih mahal. Logika ini biasanya digunakan dalam HKI penemuan dan jurnal internasional. Korporasi penyedia jurnal internasional tersebut memang memberikan royalty terhadap si pemilik hak cipta, namun tidak sebanyak apa yang mereka dapatkan.

Pemilik masih dapat dikategorikan sebagai orang yang mampu untuk mengakses keilmuan maupun paten tersebut, entah karena taraf hidupnya yang tinggi atau karena kedekatannya dengan korporasi tersebut. Namun cukup menyedihkan ketika membicarakan mengenai pemakai hak tersebut, apalagi jika berasal dari masyarakat kategori negara dunia ketiga.

Harga yang mahal menjadi salah satu penghalang terhadap akses hak kekayaan intelektual tersebut. Sehingga kecenderungan untuk tidak berkembang atau biasa disebut uncivilized society bukan karena mereka tidak ingin maju pesat, tetapi karena keterbatasan akses dan sumberdaya yang dimilikinya.

Agung Tri Putra
Agung Tri Putra
Menteri Koordinator Bidang Inovasi & Prestasi BEM UNAIR | Undergraduate Student of International Relations, Airlangga University, Surabaya, Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.