Jumat, November 8, 2024

Hadits: Yang Otentik Atau Progresif?

A.S. Rosyid
A.S. Rosyid
Penulis dan Peneliti di Komunitas Riset Akademi Gajah. Menekuni etika Islam, etika lingkungan hidup dan dunia literasi.
- Advertisement -

Di acara TV Indonesian Lawyer Club (ILC), pada tanggal 5 Desember 2017, dialog antara Abu Janda (Permadi Arya) dan Felix Siauw menjadi sorotan publik. Topiknya seputar reuni gerakan 212.

Abu Janda mempermasalahkan adanya bendera bertuliskan La Ilaha Illallah—diklaim sebagai bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi yang telah dibubarkan. Menurutnya, bendera itu menodai reuni. Felix Siauw menyanggah: bendera tersebut bukanlah bendera HTI. Bendera itu adalah bendera Rasul Saw. Felix Siauw menekankan, tidak seharusnya muslim antipati padanya. Felix Siauw mengutip sebuah hadits untuk menguatkan pendapatnya.

Abu Janda kemudian—di sinilah konteksnya—tidak menerima hadits tersebut dengan mengatakan bahwa “Hadits itu baru ada dua ratus tahun setelah Rasulullah wafat. Banyak yang dha’if, banyak yang palsu juga. Jadi nunsewu kalau misalnya itu tidak bisa dijadikan pegangan.” Saya tergelitik.

Saya tidak ingin meramaikan perdebatan seputar reuni, atau seputar bendera. Saya merasa ada yang lebih urgen untuk dikaji. Lewat tulisan ini, kepentingan saya sederhana: menyodorkan klarifikasi sejauh yang saya pelajari tentang perdebatan mengenai keotentikan hadits, dan menawarkan premis yang menurut saya lebih krusial seputar hadits.

Otentisitas Hadits

Sesungguhnya, pernyataan Abu Janda mewakili ekspresi kelompok skeptis dalam tradisi studi hadits di kalangan sarjana Barat (orientalis). Pernyataan Abu Janda adalah pertanyaan tentang keotentikan hadits, yaitu, keraguan bahwa hadits yang dikenal umat Islam hari ini tidak benar-benar berasal dari Nabi Saw, melainkan dikarang oleh generasi sesudahnya, terutama hingga abad ke-3 hijriyah, di era kodifikasi hadits (dibukukan).

Topik ini sudah hangat sejak abad ke-19. Tokoh skeptis yang bisa pembaca telusuri adalah Abu Royyah, Gustav Weil, Alois Sprenger, dan William Muir. Mereka berpendapat bahwa redaksional hadits Nabi Saw. sudah tidak ada yang otentik, menyebut lebih dari setengah isi Kitab Hadits Bukhari palsu, dan ragu hadits bisa menjadi sumber sejarah.

Puncak kejayaan skeptisisme Hadits adalah pada karya Ignaz Goldziher, yang dikembangkan oleh Joseph Schacht, dan ditajamkan lagi oleh G.H.A. Juynboll. Mereka mengembangkan suatu teori bernama the common link. Apa itu?

Common link adalah pihak yang dicurigai mengarang suatu hadits dan menyebarkannya secara luas pada publik. Sebutlah si A, meriwayatkan suatu hadits pada beberapa orang (yang dari beberapa orang itu, hadits tersebut menyebar lebih luas). Namun, hadits tersebut tidak diriwayatkan oleh selain si A pada masanya. Sementara itu, jalur periwayatan si A adalah tunggal (single strand, atau yang dikenal dengan istilah hadits ahad). Dalam teori orientalis skeptis, si A disebut common link, pengarang atau pemalsu hadits.

Akibat dari teori ini fatal: yang tertolak bukan hanya hadits ahad, melainkan juga hadits mutawatir yang di dalamnya terdapat periwayat yang dicurigai sebagai common link. Sedangkan dalam tradisi ilmu hadits, hadits ahad masih diterima dengan beberapa kriteria. Calder menjelaskan, fenomena common link marak karena persaingan politis berbagai kelompok Islam hingga paruh kedua abad ketiga hijriyah. Era kodifikasi memang dipicu oleh massifnya peredaran hadits palsu.

Kritik skeptis para sarjana Barat ini adalah wajar. Mereka orientalis, yang menurut Edward Said, tujuan orientalisme sewajah dengan kolonialisme: melemahkan pihak yang diserang. Hadits, menurut umat Islam, adalah pedoman suci kedua setelah al-Qur’an, karenanya ia harus dipastikan otentik. Tentu, bila terhembus isu ilmiah bahwa seluruh hadits adalah palsu, umat akan goyah. Menurut Kamaruddin Amin, inti dari studi hadits di Barat memang untuk membuktikan bahwa hadits tidak otentik, tidak bersumber utuh dari Nabi Saw.

- Advertisement -

Namun, kajian skeptis itu pun telah dibantah dengan sangat baik oleh sarjana-sarjana Barat yang lebih objektif. Adalah Harald Motzki, salah satu yang mematahkan teori common link. Motzki membuktikan bahwa banyak hadits yang bisa dipastikan berasal dari Nabi Saw. Common link bukanlah pemalsu, melainkan “Pengajar hadits pertama di kelas-kelas secara luas.” Common link memiliki jalur periwayatan tunggal karena mereka yakin itulah jalur yang paling otentik. Menurut Motzki, praktek penulisan hadits telah dimulai sejak era sahabat, dan mereka menyimpan rekaman hadits tertulis hingga masa kodifikasi pada abad ke-3.

Dalam ilmu mustolahul hadits, indikasi keotentikan itu sebenarnya bisa dilacak. Salah satunya bila menilik 8 cara periwayatan hadits, 4 di antaranya adalah: (a) Sama’, yakni menghadiri kuliah ahli hadits dan mendengarnya; (b) Qira’ah, yakni membacakan hadits-hadits koleksinya untuk dikroscek pada ahli hadits; (c) Ijazah, mendapat izin resmi dari ulama hadits untuk meriwayatkannya; atau (d) Mukatabah, menerima hadits tertulis dari seorang ahli hadits baik secara langsung maupun lewat bersurat.

Adanya metode rinci tersebut membuktikan bahwa hadits memang ada sebelum dikodifikasi, dan otentik berasal dari Nabi—kecuali terdapat bukti yang menggagalkan keotentikan. Apa saja itu? Silakan membuka kitab ilmu hadits, penjelasannya bertaburan. Tentu persoalan dalam studi hadits tidak sebatas otentitas. Namun bagian ini hanya untuk menuntaskan kegelian saya terhadap statemen Abu Janda.

Hadits Progresif

Pertanyaan-pertanyaan yang justru penting dimunculkan hari ini adalah: lebih penting mana, sibuk memelihara keotentikan hadits, atau mengejawantahkan sisi progresifnya? Tentu saja, dengan anggapan bahwa hadits otentik adalah pedoman suci, kita harus terlebih dulu memikirkan keotentikannya. Namun, setelah hadits otentik ditemukan, lantas apa?

Pernahkah kita bertanya-tanya bahwa, mengapa, hadits-hadits otentik yang bertaburan lebih banyak bicara tentang konteks kemuliaan individu/primordial, daripada kemuliaan sosial/komunal? Mengapa hadits-hadits otentik tentang bentuk fisik dan pakaian Nabi Saw. jauh lebih marak sampai pada kita, daripada hadits-hadits otentik tentang pergerakan Nabi Saw. di akar rumput menegakkan keadilan sosial dan distribusi ekonomi, dalam mengatasi persoalan kesenjangan?

Hari-hari ini, kita dilanda persoalan sosial-politik dan sosial-ekonomi yang akut. Persoalan kita bukan sekedar toleransi, garis keras, atau pemimpin kafir. Persoalan kita adalah tidak tegaknya hukum, dan tidak meratanya keadilan dan kesejahteraan—topik-topik yang sayangnya tidak diprioritaskan oleh berbagai aksi bela-bela dan reuninya. Padahal modalitas umat untuk memperjuangkan itu amat besar. Namun, kesadaran pemihakan dan pembebasan memang belum menjadi kesadaran komunal umat, bila dilihat dari hadits bertema apa yang populer di tengah masyarakat kita.

Hadits tentang terlarangnya tanah, air, dan api, oleh sekelompok kecil penguasa politik dan ekonomi, terutama bila tidak digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran manusia, pernahkah terdengar? Maka wajar bila umat seakan abai dengan kasus memilukan terbaru: diusir-paksanya (dengan biadab) rakyat di Kulon Progo demi pembangunan sebuah bandara. Negara mendukung, umat bisu. Butuh hadits otentik macam apa untuk menggerakkan kesadaran? Atau kita membutuhkan tafsir progresif atas hadits. Tapi lebih banyak pemuka agama yang enggan (takut?) menyuarakannya. []

A.S. Rosyid
A.S. Rosyid
Penulis dan Peneliti di Komunitas Riset Akademi Gajah. Menekuni etika Islam, etika lingkungan hidup dan dunia literasi.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.