“Tidak boleh lagi ada pembedaan kepada setiap warga negara Indonesia berdasarkan agama, bahasa ibu, kebudayaan, serta ideologi.”
KH. Abdurrahman Wahid
Selamat datang di bulan September, bulan di mana kita telah memasuki salah satu musim di antara empat musim besar di Indonesia: musim hujan, musim kemarau, musim ribut mengucapkan Selamat Hari Natal, dan musim ribut isu kebangkitan PKI.
Musim terakhir inilah yang kita rasakan sekarang. Saban tahun masyarakat (akar rumput) kita selalu mengalami “de javu paranoia” yang sama. Saya mengamati, setiap September datang, selalu saja ada kelompok yang kebakaran jenggot. Kemudian berbagai media menampilkan judul-judul yang naas untuk disimak: pelarangan diskusi, pembubaran seminar, pembubaran acara seni, dan segala jenis pembubaran tolol lainnya.
Tahun ini, pembubaran itu terulang kembali. Sabtu lalu (16/9/2017) terjadi pembubaran seminar “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/66” di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta. Pembubaran tersebut dilakukan oleh polisi dengan dalih tidak adanya surat izin pelaksanaan acara. Padahal, mengutip laman resmi Polri, surat izin keramaian harus dibuat apabila ada kegiatan yang mendatangkan minimal 300 orang, sedangkan peserta seminar sendiri berjumlah kurang dari 50 orang.
Esoknya, Minggu malam (17/9/2017) LBH Jakarta, kantor bantuan hukum yang bernaung di bawah YLBHI, menjadi tuan rumah acara “AsikAsikAksi: Darurat Demokrasi”, sebagai respons atas pelarangan dan pembubaran acara seminar yang berlangsung sebelumnya. Tapi siapa mengira kegiatan seni yang berisi pembacaan puisi, pertunjukan musik, dan stand up comedy ini tidak berjalan dengan baik? Malam itu, sekelompok massa tiba-tiba datang dan mengepung Gedung YLBHI. Massa menuduh sedang berlangsung konsolidasi orang-orang PKI di dalam gedung.
Pengepungan berlangsung hingga dini hari. Tidak hanya mengepung, massa juga melempari gedung YLBHI dengan batu hingga sebagian kaca pecah. Bahkan tersebar kabar bahwa orang-orang di dalam gedung sedang menyusun rencana untuk membunuh para jenderal dan menyanyikan lagu Genjer-genjer.
Ini menggelikan sekali. Beberapa kawan dan kenalan saya yang berada di sana mengabarkan bahwa segala tuduhan yang ditujukan pada mereka sama sekali tidak benar. Tak ada konsolidasi PKI, tak ada rencana pembunuhan jenderal, pun tak ada nyanyian lagu Genjer-genjer di sana.
Yah, ada banyak kegilaan akhir-akhir ini. Dalam tulisan ini, saya hanya akan menyampaikan tiga hal saja yang menjadi kegelisahan besar saya terkait pembubaran seminar dan pengepungan Gedung YLBHI.
Pertama, soal malfungsi tugas (oknum) kepolisian dalam mengayomi masyarakat. Tidak hanya membubarkan seminar, mereka juga melakukan pengancaman, penggeledahan paksa, dan intimidasi terhadap peserta seminar (ingat, peserta seminar, bukan pelaku kriminal). Bahkan, blokade polisi membuat para lansia terjebak di luar dan tidak bisa masuk, meski hanya untuk sekadar menumpang kencing.
Kedua, pembubaran seminar dan acara seni kemarin adalah sebuah noktah besar yang menodai momentum Hari Demokrasi yang diperingati pada 15 September lalu. Bagaimana tidak, kebebasan berpendapat dibungkam, kebebasan berekspresi dikebiri, lantas apa yang masih tersisa dari rakyat untuk menyampaikan hak bersuaranya?
Selama puluhan tahun Orde Baru berkuasa, masyarakat sipil selalu mendambakan sebuah kebebasan berpikir dan berpendapat dalam naungan negara demokrasi yang nyata. Tapi setelah reformasi terjadi, kejadian seperti ini masih saja berlangsung dan sering kali terulang. Sesungguhnya kita sedang melihat demokrasi kita berjalan mundur!
Ketiga, tentang sekumpulan massa dengan tindakan fasistik yang takut dengan bayang-bayang hantu komunisme. Sayangnya, sekumpulan massa ini adalah cerminan sebagian masyarakat kita yang masih belum bisa berdamai dengan keterbukaan sejarah. Mereka yang hanya mengonsumsi sejarah dari sumber “katanya”, “pokoknya”, dan “yang pasti”. Juga mereka yang sulit untuk menjadi kosmopolit dan lebih membuka diri dengan jalan dialog-dialektis.
Peristiwa ’65 adalah bahasan yang sangat sensitif bagi banyak kalangan sampai sekarang. Tapi bukan berarti kita sama sekali menutup peluang untuk mengungkap kebenaran sejarah dan saling memaafkan atas nama kemanusiaan. Saya sendiri tidak menyalahkan satupun pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Saya sepakat dengan apa yang pernah ditulis oleh Dr. Rumadi Ahmad, peneliti senior The Wahid Institute, dalam tulisan dialog imajinernya bersama Gus Dur. Bahwa beberapa pihak (akar rumput) yang terlibat, terutama NU (juga masyarakat Islam) dan PKI, dalam Peristiwa ’65 merupakan sama-sama korban keaadan. Tiada faktor tunggal dalam peristiwa tersebut.
Dalam sebuah wawancara, yang kelak dikumpulkan menjadi buku Pram Melawan! (2011), Pramoedya Ananta Toer pernah menyampaikan soal perjumpaannya dengan Gus Dur. Kala itu Gus Dur masih menjabat sebagai presiden. Pram mengaku dua kali bertemu dengan presiden keempat itu. Pertemuan pertama terjadi ketika Gus Dur mengundang Pram untuk datang ke Istana Negara. Sedangkan pertemuan kedua terjadi ketika Gus Dur mengunjungi Pram di rumahnya di Bojong Gede, Bogor.
“Waktu dia datang ke rumah saya sebagai presiden, saya bilang saya menolak permintaan maafnya sehubungan keterlibatan pemuda-pemuda NU dalam pembunuhan ’66,” kata Pram. “Saya nggak bisa terima dan dia bilang terima kasih. Sikap pribadinya saya hormati”.
Gus Dur adalah orang NU sekaligus presiden pertama yang meminta maaf kepada para korban ’65, termasuk kepada Pram. Permintaan maaf Gus Dur saya kira merupakan titik terang kita untuk mulai berdamai dengan luka lama. Ada yang mengatakan bahwa maaf diyakini sebagai salah satu penanda kebudayaan. Komunitas yang warganya mentradisikan kata maaf jika melakukan kesalahan maka ia dianggap memiliki tingkat keberbudayaan yang lebih tinggi dibanding yang tidak.
Perlu digarisbawahi di sini, bahwa memaafkan peristiwa sejarah tidak sama dengan mengamini segala pembantaian ataupun membangkitkan kembali PKI. Berhentilah berkhayal tentang hantu partai dan menyebarkan paranoia yang tidak perlu. Dalam hal ini, saya setuju dengan “cuitan” Goenawan Mohamad terkait soal PKI dan ideologinya.
“Menakut-nakuti rakyat dengan hantu PKI sama dengan menyatakan bahwa PKI begitu hebat hingga tak bisa mati. PKI tak akan bisa hidup lagi karena ideologinya sudah kacau balau. Di kalangan bekas PKI yang masih hidup juga berlangsung perpecahan ideologis yang sengit. Tanpa ideologi yang solid, partai hanya omong kosong.”
Jadi, saudara-saudaraku sekalian, mari kita memfokuskan diri pada persoalan bangsa yang lebih pelik ketimbang hantu PKI yang fana itu. Kita masih punya PR besar dalam bidang demokrasi. Perlu daya tahan yang kuat dan stamina tinggi untuk memperjuangkan cita-cita bersama tersebut. Di samping itu, bangsa kita juga masih berurusan dengan kemiskinan, perpecahan, ketidakadilan, budaya literasi rendah, pembangunan tidak merata, dan terlebih lagi: korupsi yang merajalela.