Tanggal 25 November diperingati sebagai hari guru. Tiap sekolah dari berbagai jenjang melaksanakan upacara peringatan. Semua guru memakai seragam PGRI. Bisa diprediksi, warganet akan mengunggah postingan terkait hari guru di akun media sosial mereka. Media massa paling tidak akan menurunkan berita dan ulasan seputar guru. Uforia hari guru terjadi di mana-mana.
Namun demikian, peringatan hari guru biasanya bersifat emosional. Upacara, postingan di media sosial, dan ulasan media massa paling banyak bicara mengenai romantisme “pahlawan tanpa tanda jasa” dan “Oemar Bakre”. Dua metafora itu menggambarkan guru sebagai sosok yang sewajarnya hidup dalam kekurangan namun tetap setia mendidik.
Faktanya, kemajuan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari tingkat kesejahteraan para guru. Majunya pendidikan di Finlandia ꟷ negara dengan kualitas pendidikan terbaik ꟷ semisal bukan semata karena urusan kurikulum atau fasilitas penunjang tapi juga kesejahteraan gurunya. Profesi guru di Finalandia disejajarkan dengan dokter, pengacara, dan provesi bonafit lainnya.
Pemerintah melalui UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen tampak telah melakukan terobosan guna meningkatkan kesejahteraan guru. Guru dengan prasyarat tertentu mendapat tunjangan profesi memang mengalami perbaikan kesejahteraan yang pesat. Sayangnya, jumlah guru PNS dan guru tersertifikasi jumlahnya tidak lebih besar daripada guru yang menyandang status guru wiyata bakti atau guru honorer. Sejumlah data menyebutkan jika komposisi guru PNS dan guru honorer di banyak sekolah mencapai 1:3. Jamak ditemui semisal sebuah SD memiliki tiga guru PNS dan enam guru honorer.
Di sisi lain, nasib guru honorer masih belum menunjukan titik terang. Terlebih, beberapa bulan lalau Permendiknas No. 26/2017 diberlakukan. Terdapat klausul bahwa dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tidak boleh lagi digunakan untuk menggaji guru honorer. Padahal, sebelumnya, dana BOS oleh sebagian besar sekolah menjadi satu-satunya sumber pembayaran gaji guru honorer. Ini karena UU No.20/2003 tentang Sisdiknas mewajibkan pendidikan dasar gratis dan tidak boleh lagi ada penarikan dana dari masyarakat dalam bentuk apapun.
Kondisi ini menimbulkan kepanikan di sejumlah wilayah. Dengan melihat komposisi guru honorer di tiap sekolah yang melebihi 50%, keberadaan gurur honorer menjadi sangat vital. Apalagi, sebagian besar dari mereka adalah tenaga muda yang diandalkan karena kemampuan teknologi informasinya.
Akibatnya, sejumlah sekolah melakukan improvisasi. Mereka mengundang wali murid untuk menyepakati adanya sumbangan. Sejumlah sekolah semisal menyepakati dalam setahun wali murid menyumbang minimal 750 ribu rupiah guna keperluan menggaji guru honorer. Meski dirasa menyalahi amanat undang-undang agar pendidikan dasar gratis, dengan pertimbangan lebih besar, sejumlah sekolah terpaksa membuka sumbangan.
Kepanikan atas diberlakukannya Permendiknas ini juga ditunjungan dengan aksi turun ke jalan. Demonstrasi cukup besar terjadi di Cilacap dan Jember. Di Kabupaten Cilacap, 5000 lebih guru turun ke jalan pada 4 Oktober 2017 (antaranews.com, 2017). Mereka menuntut Pemerintah Kabupaten Cilacap mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pengangkatan sebagai tenaga honorer. Ini karena sejatinya semangat lahirnya Permendiknas No. 26/2017 adalah mendelegasikan wewenang penggajian guru honorer pada pemerintah daerah.
Dalam suatu sambutan, Menteri Pendidikan Muhadjir Effendi menanggapi keresahan guru honorer dengan meminta pemerintah daerah agar menegeluarkan SK (tribunnews.com, 2017). Muhadjir juga mengatakan jika SK terbit maka guru bersangkutan dapat mengakses dana BOS. Namun demikan, hanya sedikit Pemda yang memiliki kemuan politis untuk menurunkan SK. Padahal, sebagaimana di level pusat, Pemda juga telah menganggarkan 20% APBD untuk sektor pendidikan. Entah ada ketakutan apa.
Pemegang bola kini adalah Pemda. Jika kementrian sudah mengiyakan bahkan mendorong Pemda untuk mengeluarkan SK pengangakatan guru honorer dan Pemda tetap tak bergeming berarti persoalannya adalah kemauan politik. Jika demikian, apakah guru honorer mesti melakukan usaha politis juga? Bila kemudian ada yang mengatakan jika guru tak boleh berpolitik, secara etika mungkin itu benar. Namun demikian, politik yang mungkin tabu bagu para guru yang dimaksud adalah politik praktis.
Pada praktiknya, guru selalu menjadi komoditas politik. Jumlah suara yang besar menggoda tiap kontenstan politik baik lokal maupun nasional untuk berusaha meraup sura guru. Jumlah guru PNS dari TK hingga SMA seluruh Indonesia adalah sebanyak 4.139.682 (data BPS, 2015). Jika ditambah dengan guru honorer maka jumlah guru akan lebih dari dua kali lipatnya. Selain itu, guru memiliki modal sosial yang kuat. Di tiap wilayah mereka tinggal, guru punya pengaruh yang kuat pada pemikiran masyarakat sekitarnya, termasuk dalam keputusan politik.
Di seputar uforia peringatan hari guru ini tampaknya para guru dan pemerhati pendidikan mesti menengok bagaimana peringatan hari buruh, hari dokter, bahkan hari lahir sejumlah organiasai masyarakat. Pada hari buruh semisal, para buruh sangat paham dengan daya tawar mereka. Mereka membuat serikat kerja yang jelas keberpihaknnya adalah pada nasib buruh. Serikat itu aktif memberi tekanan pada kekuatan politik.
Hasil perjuangan buruh tampak dari dijadikannya hari buruh sebagai hari libur nasional. Selain itu, upah minimum terus merangkak naik juga terjadi akibat solidnya serikat buruh. Pada momen Pemilu mereka memang menjadi langanan kampanye tapi karena solid mereka mampu membuat kontrak politik untuk memastikan nasib buruh. Berbeda dengan buruh, guru yang juga menjadi objek konstetasi politik terlampau normatif sehingga nasibnya ibarat “habis manis sepah dibuang”.
Dengan melihat potensi yang dimiliki dan masalah yang dihadapi, demi peningkatan kualitas pendidikan nasional, agaknya, guru mesti menyusun langkah politis sejak hari guru ini. Langkah politis yang dimaksud tentu bukan terjun ke politik praktis. Langkah politis dalam hal ini adalah agar guru lebih memiliki kesadaran politik. Ini bisa dimulai dengan membuat semacam serikat guru. Memang sudah ada organisasi semacamnya yakni Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Namun demikian, PGRI dirasa kurang cukup bersikap pada isu-isu seputar nasib kesejahteraan guru honorer. Dalam sejumlah momentum, PGRI justeru kerap menjadi pendorong mobilisasi suara incumbent karena kedekatannya dengan birokrasi.
Dari serikat tersebut bisa kemudian para guru melakukan tekanan, lobbiying, bahkan kontrak dengan kontestan politik agar tuntutan-tuntutannya dapat diakomodasi. Guru, terutama guru honorer harus mau keluar dari bayang-bayang kelas menengah yang konservatif lantas menjadi kelompok progresif dengan kesadaran politiknya. Tidak ada lagi alasan menganggap diri sebagai kelas menengah dengan gaji hanya 250 ribu rupiah per bulan.