Beberapa waktu lalu, transportasi penyeberangan Indonesia kembali berduka. Setelah tragedi tenggelamnya KM Sinar Bangun pada medio tahun 2018 di Danau Toba, tragedi hampir serupa terjadi di perairan Alor Nusa Tenggara Timur. Kapal motor (KM) Nusa Kenari yang berangkat dari pelabuhan Dulionong Kalabahi (ibukota Kabupaten Alor) menuju Kecamatan Pureman karam di perairan sekitar Tanjung Margeta.
Kapal yang berangkat sekitar jam 3 pagi diduga mengangkut beban yang berlebih. Ditambah lagi, cuaca buruk yang terjadi di sekitar perairan Alor seakan menjadi awal nestapa bagi 52 orang penumpang dan ABK. Sampai dengan tulisan ini dibuat, kepolisian setempat melaporkan terdapat 7 (tujuh) korban tewas dan 45 lainnya dinyatakan selamat.
Kecelakaan yang terjadi pada penyeberangan “Bus laut” ini sebenarnya bukan 1-2 kali terjadi di negeri ini. Hampir setiap tahun penyeberangan tradisional Madura-Situbondo selalu memakan korban. Terbaru, KM Arim Jaya di Sumenep tenggelam pada (17/6) akibat dihantam gelombang dan menewaskan sekitar 17 orang.
Kejadian di Tanjung Margeta sebenarnya merupakan sinyal dari gunung es carut-marutnya tata kelola penyeberangan rakyat ini. Untuk kasus KM Nusa Kenari saja, diduga kapal berangkat tanpa adanya surat izin dari Syahbandar setempat. Plus beban yang dibawa 2 kali lipat dari kemampuan kapal.
Bisa dibayangkan betapa berbahayanya terlebih penyeberangan rakyat ini seringkali tidak dilengkapi dengan peralatan keselamatan yang memadai. Jangankan pelampung untuk setiap penumpang, mesin pompa air yang digunakan untuk membuang air yang masuk ke kapal terkadang tidak berfungsi optimal.
Eksistensi Bus Laut
Di sebagian daerah negeri ini, penyeberangan tradisional atau yang sering disebut bus laut ini masih menjadi favorit masyarakat untuk mobilitas sehari-hari. Kemenhub mencatat pada tahun 2017, terdapat 400 perusahaan jasa pelayaran rakyat di Indonesia.
Jumlah armadanya pun meningkat dari 1.340 unit pada tahun 2013 menjadi 1.516 unit pada tahun 2017 dengan rata-rata pertumbuhan 3,2% per tahun. Selain karena murah, bus laut terkadang menjadi opsi satu-satunya untuk menunjang aktifitas masyarakat. KM Nusa Kenari sebenarnya melayani daerah yang masih satu daratan.
Hanya saja, keterbatasan infrastruktur jalan menyebabkan masyarakat disana enggan untuk ber off-road ria meskipun sebenarnya waktu yang ditempuh akan lebih singkat. Begitu pula masyarakat yang berada di Madura yang ingin ke Situbondo, keterbatasan fasilitas penyeberangan yang memadai membuat mereka “nekat” menantang maut dengan menaiki bus laut.
Daerah-daerah lain di Kepulauan Nusa Tenggara Timur bahkan menjadikan transportasi bus laut sebagai transportasi utama masyarakat seperti penyeberangan ke Adonara Flores, Lembata, dan Pantar. Ciri khas dari bus laut kebanyakan adalah seringkali menurunkan penumpang tidak pada dermaga yang memadai. Terkadang barang dan penumpang yang turun harus overstapen dengan menggunakan sampan untuk sampai ke bibir pantai.
Bus laut erat kaitanya dengan nelayan. Banyak nelayan di daerah Nusa Tenggara Timur yang juga mengerjakan pekerjaan sampingan sebagai penyedia atau operator bus laut. Berbekal dengan kapal yang mereka punya serta insting sebagai nelayan sepertinya dirasa cukup oleh mereka. Padahal, dunia nautika tidak hanya sekadar mampu mengemudikan kapal motor. Aspek keamanan dan keselamatan juga harus menjadi salah satu syarat terselenggaranya transportasi umum.
Perlu Aksi Nyata
Beberapa kejadian yang menimpa bus laut seolah tidak menggugah pemerintah untuk berbenah. Bus laut seakan menjadi buah simalakama. Disatu sisi, pemerintah memiliki cita-cita akan transportasi yang aman dan nyaman.
Namun disisi lain pemerintah belum mampu hadir sebagai solusi dari masalah yang dialami oleh masyarakat pengguna penyeberangan rakyat atau bus laut ini. Eksistensi bus laut dengan standar asal-asalan seolah menjadi maklum. Padahal, harga setiap nyawa adalah sebuah ironi bagi pemerintah.
Upaya-upaya yang dilakukan terhadap kemajuan transportasi penyeberangan sepertinya hanya bussiness-oriented. Tercatat, revitalisasi pelabuhan yang digalakkan hanya menyasar pelabuhan-pelabuhan pengumpul yang mendukung program tol laut.
Pembangunan infrastrukur transportasi laut pada tahun fiskal 2015-2019 yang terdiri dari 24 pelabuhan strategis, 163 pelabuhan non komersial, 50 kapal perintis, 500 kapal patroli, 50 kapal navigasi, dan pembangunan 65 pelabuhan penyeberangan serta 50 kapal penyeberangan dirasa kurang. Pemerintah juga harus memperhatikan pelabuhan rakyat sebagai pelabuhan pengumpan. Jangan sampai rakyat yang tinggal di daerah pelosok harus berjibaku bangun sendiri dari keterbatasan.
Keseriusan pengelolaan bus laut ini sebenarnya lebih efektif jika ditangani oleh pemerintah daerah. Dinas perhubungan setempat semestinya lebih mengetahui akar permasalahan. Sayangnya, pemerintah daerah sering bergeming dengan keterbatasan dana dan wewenang.
Di beberapa daerah seperti Jawa Barat sebenarnya telah menerapkan “standar tinggi” untuk penyelenggaraan pelayaran rakyat. Solusi yang paling irit biaya adalah soal pengawasan dan standardisasi baik yang menyangkut izin penyelenggaraan bagi perusahaan atau perseorangan sampai dengan izin berlayar yang disertai sanksi tegas.
Akan lebih baik lagi jika pemerintah daerah dan pusat bekerja sama merevitalisasi dermaga-dermaga pelabuhan rakyat untuk menunjang kemudahan masyarakat. Namun lagi-lagi, harapan masyarakat untuk merasakan transportasi bus laut yang aman dan nyaman sepertinya sulit.
Ironi pada KM Nusa Kenari yang justru dimiliki oleh Pemda seakan menegaskan komitmen pemerintah daerah yang minim terhadap pengelolaan penyeberangan rakyat. Nenek moyang kita memang seorang pelaut, tapi bukan berarti kita bersedekah nyawa di laut.