Golput. Istilah ini selalu muncul mendekati hari-hari pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Golput atau golongan putih selalu diidentikkan dengan sikap cuek, apatis, atau tidak mau cawe-cawe dengan kondisi politik; akhirnya tidak memilih untuk berangkat ke TPS untuk mencoblos.
Istilah golput naik daun ketika menjelang Pemilu 1971. Pada sebuah siang, Kamis (3 Juni 1971), sekelompok mahasiswa, pemuda dan pelajar meriung di Balai Budaja Djakarta. Mereka memproklamirkan berdirinya “Golongan Putih” sebagai gerakan moral. Di antara tokoh-tokoh yang menjadi motor gerakan itu, seperti Adnan Buyung Nasution dan Arief Budiman, tulis Kompas, 5 Juni 1971.
Jadi, golput artinya sama dengan menolak untuk memberikan suara. Setiap kali ada pemilu, kemungkinan golput, diperdebatkan. Memang, UU pemilu kita, seperti halnya di mayoritas demokrasi di dunia, tak mewajibkan warga negara harus memilih.
Penyebab
Secara umum, masyarakat memilih golput dikarenakan beberapa faktor, yakni faktor psikologis (kekecewaan pada elit politik), faktor administratif, dan faktor liberalisasi politik. Diantara ketiga faktor tersebut, faktor psikologis lah yang baling banyak ditemui dilapangan.
Ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang memilih golput atau menjadi tidak bisa mencobolos, antara lain:
- Apatis terhadap politik
Masyarakat yang bersikap apatis terhadap politik menjadi salah satu penyebab tingginya angka golput. Masyarakat dengan tipe seperti ini tidak lagi peduli dengan urusan politik, bahkan tidak juga mencari tahu apa itu golput dan risiko jika memilih untuk golput pada setiap pemilu.
Ketidakpedulian serta ketidakpercayaan masyarakat tersebut muncul karena mereka merasakan bahwa tidak ada dampak positif yang terjadi padanya setelah pemilihan. Sementara, berita korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin serta wakil rakyat semakin meningkatkan apatis masyarakat terhadap para pejabat.
Padahal, golput tidak akan menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Justru dengan menggunakan hak pilih saat pemilu, maka masyarakat bisa memilih pemimpin berintegritas dan antikorupsi sehingga pemerintahan dapat dijalankan secara bersih, antikorupsi, adil, dan merata.
Mayoritas masyarakat berpendapat hampir semua elit politik tidak bisa menyalurkan aspirasi masyarakat. Mereka hanya disibukkan dengan proyek-proyek mereka untuk memperoleh keuntungan demi mengembalikan modal saat kampanye. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya elit politik yang terjerat hukum akibat kasus korupsi. Hal ini semakin membuat simpatisan golput menampakkan dirinya, bahkan tidak segan-segan mengajak masyarakat untuk memboikot pemilu karena pemilu merupakan alat “tangan-tangan kotor” untuk menjarah masyarakat. Simpatisan golput menilai dengan melakukan golput, maka kita turut berpartisipasi mewujudkan Indonesia yang lebih baik.
- Tidak tahu adanya pemilu
Pemberitaan pemilu di media massa atau media sosial, ternyata tidak membuat semua orang mengetahui tanggal pasti diadakannya pemilu.
Di masa penyelenggaraan pemilu, KPK turut berperan serta dalam menyosialisasikan dan mengajak masyarakat untuk menjadi pemilih yang cerdas agar dapat memilih calon pemimpin yang berintegritas. Contohnya dengan menolak serangan fajar dan tidak memilih pemimpin maupun partai politik yang memberikannya.
- Tidak terfasilitasi
Penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya untuk memberikan suara di hari pemilu. Sayangnya, keterbatasan yang dimiliki seringkali menghambat mereka dalam mencoblos. Misalnya tidak ada bantuan untuk pergi menuju ke lokasi TPS dan tidak tersedianya surat suara khusus bagi disabilitas.
Di era demokrasi, semua orang memang diberi kebebasan untuk bersuara, kebebasan untuk memilih dalam pemilu tanpa ada paksaan dari pihak manapun, termasuk memilih untuk tidak memilih (golput). Namun, apakah golput merupakan jalan keluar permasalahan yang menimpa bangsa kita?? Apakah masalah demokrasi harus diselesaikan dengan golput?
Penulis berargumen, untuk menyelesaikan masalah politik dan demokrasi di negeri kita ini tidak harus dilakukan dengan golput karena perlu diingat pemilu bisa terlaksana akibat uang rakyat yang diambil dari APBD/APBN untuk pengadaan kotak suara, kartu pemilih, bayar petugas KPPS, Banwaslu.
Oleh karena itu, dana yang sudah banyak dikeluarkan ini harus dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh setiap warga negara dengan cara berpartisipasi dalam pemilu. Selain itu, dengan melakukan golput artinya masyarakat Indonesia tidak mengharigai perjuangan demokrasi di nusantara. Hal ini dikarenakan dulu masyarakat memprotes pilpres hanya dilakukan oleh DPR sebagai wakil rakyat dengan alasan tidak demokratis dan menuntut bisa menyalurkan hak suaranya sebagai warga negara.
- Mencegah yang buruk berkuasa
Tak ikut memilih karena tak ada calon yang betul-betul sesuai dengan cita-cita Anda adalah, maaf, tanda kebodohan. Antara yang kurang memuaskan dan yang sama sekali tak memuaskan masih ada perbedaan besar. Yang betul-betul buruk adalah: ada yang bersikap ”peduli amat” dengan siapa yang dipilih. Dia tak bersedia ”membuang waktu” dengan repot-repot memilih. Yang dia pikirkan adalah kariernya sendiri. Nasib negara dia tak peduli.
Itu sikap benalu atau parasit. Dia hidup atas usaha bersama masyarakat, tetapi tak mau menyumbang sesuatu. Kita dengan susah payah berhasil mewujudkan demokrasi di Indonesia, tetapi Anda ”tak peduli politik”. Betul-betul tak sedap! Sikap itu juga bukan tanda kepintaran. Bisa saja hasil pemilihan punya dampak pada karier Anda.
Anda menggerutu dan golput. Seakan dengan tak ikut memilih, Anda mau menghukum si capres karena ia mengecewakan Anda. Itu pilihan buruk. Bukan hanya karena alasan di atas. Mengambil sikap atas dasar rasa kecewa adalah tanda mental yang lemah. Orang yang mentalnya baik tak akan mengizinkan rasa kecewa memengaruhi keputusannya.