Jumat, Maret 29, 2024

Golput, Ancaman Demokrasi atau Pilihan Publik

Arif Ramadhan
Arif Ramadhan
Penyayang sesama mahluk Tuhan dan suka berbagi kasih.

Ancamana demokrasi di negeri ini adalah dikhawatirkan minimnya partisipasi publik terkait pernyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) menjelang hari pemilihan presiden. Hal demikan tentu sangat mengkhawatirkan bagi penyelenggara pemilu (KPU) yang berharap meminimalisir angka golput.

Dewasa ini, masyarakat Indonesia cukup paham menggunakan hak politik. Hak politik tersebut tidak ingin lagi dipermainkan oleh komunitas politik maupun rutinitas lima tahunan dengan tidak pastinya janji selama masa kampanye. Karena selama penyelenggaraan pemilu sebelumnya, janji setiap paslon sulit untuk mengubah penyelenggaraan pemerintah dan cita-cita mencapai kesejahteraan bersama. Lantas publik pun merasa kecewa.

Hak politik telah diatur dalam UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 23 ayat (1) bahwa “setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”. Atas dasar itu, maka tidak memilih merupakan pilihan dari bentuk aspirasi politik. Sedangkan dalam UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu tidak dijelaskan secara spesifik tentang penggunaan hak politik, melainkan hanya menyampaikan menghalangi atau mengganggu kelancaran pemilu.

Begitu khawatirnya penyelenggara pemilu dengan angka golput yang tinggi. Padahal jika melihat kembali kebelakang, setiap penyelenggaraan pemilu yang dijanjikan oleh setiap kandidat bukan berarti harapan publik itu tercapai. Meskipun slogan yang diberikan adalah untuk kepentingan publik maupun bekerja untuk rakyat. Publik hanya menjadi objek untuk menyukseskan pemilu bukan sebagai penerima manfaat dari kontektasi lima tahunan.

Maka tidak salah apabila gerakan golput mulai diminati seperti yang sudah digaungkan oleh YLBHI, Kontras, ICJR, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Lokataru, dan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI). Sebagai lembaga swadaya masyarakat, mereka cukup sadar dengan pilihan tersebut, bahwa pemilu tidak merubah apapun. Apalagi pemilu jika dicermati lebih jauh adalah pestanya para komunitas politik dan pengusaha.

Penyelenggaraan pemilu yang diikuti oleh partai politik tidak akan mampu dilakukan jika hanya menggunakan modal anggota dan partainya saja. Oleh sebab itu dibutuhkan sokongan dana agar tujuannya tercapai.

Mendekati pemilihan presiden dana kampanye menjadi perhatian, seperti yang di sampaikan Indonesian Corruption Watch (ICW) karena banyaknya aturan yang ditabrak oleh kedua paslon.

Jokowi-Ma’ruf menerima sumbangan dari perseorangan dengan kisaran besaran sumbangan Rp 1.000,- hingga Rp 24 juta. Total dari penerimaan sumbangan sebanyak 131 kali adalah Rp 121 juta. Dari jumlah tersebut, terdapat sumbangan sebesar Rp 97 juta atau 80% dari total sumbangan tidak ada bukti.

Lebih lanjut, dana kampanye Jokowi-Ma’ruf mayoritas berasal dari sumbangan dua kelompok, yaitu Perkumpulan Golfer TBIG (Rp 19,7 M) dan Perkumpulan Golfer TRG (Rp 18,2 M). Sumbangan mencapai 86% dari total penerimaan. PT TBIG dan PT TRG diduga merupakan dua perusahaan yang sahamnya dimiliki Wahyu Sakti Trenggono, Bendahara Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf.

Maka, publik pun akan bertanya-tanya siapa penyumbang atau dari mana asal dana kelompok Perkumpulan Golfer tersebut? Apabila perseorangan, mengapa tidak dilaporkan dan dicatat sebagai sumbangan perseorangan di KPU? Dan, apabila perusahaan, mengapa tidak disumbangkan atas nama sumbangan perusahaan? Jika perseorangan maka sumbangannya tidak lebih dari 2.5 miliar (PKPU No 24 Tahun 2018 Tentang Dana Kampanye Pasal 10).

Sedangkan Parbowo-Sandi mayoritas dana kampanye barasal dan Sandiaga mencapai Rp40,5 miliar (72,3%), sedangkan Prabowo Rp14,05 miliar (25%) dan sisanya dari perseorangan hanya Rp150 juta. Sandiaga telah menjual saham PT Saratoga Invetama Tbk miliknya dalam rentan waktu Oktober – Desember 2018 dan tercatat sebesar 3,28% atau Rp567,33 miliar yang sudah terjual.

Hanya Rp40,5 miliar yang dijadikannya sebagai sumbangan dana kampanye dan hal ini pun telah melanggar PKPU atas sumbangan perseorangan yang semestinya hanya 2.5 miliar. Jika dibandingkan dengan Dana yang dikeluarkan Sandiaga Uno pada Pilkada DKI Jakarta 2017 saja mencapai Rp 108 M. Terdiri dari pra kampanye Rp 30 M, kampanye putaran I Rp 62 M, dan kampanye putaran II Rp 16 M.

Kedua kubu kompak minim mecatatkan sumbangan perseorangan dan badan usaha. Bahkan, di LPSDK Prabowo-Sandi sama sekali tidak mencantumkan adanya sumbangan dari badan usaha. Padahal, baik di kubu Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi terdapat sejumlah pengusaha yang merapat menjadi tim pemenangan atau pendukung.

Hal inipun diperparah dengan debat pertama antar paslon dengan tema hukum, ham, korupsi dan teroris yang minim akan analisis, target kerja dan kerancuan berpikir. Pun dalam debat itu yang diperhatikan oleh publik hambar dan tidak menarik, gagasan tidak menjadi ujung tombak bagi kedua kubu.

Tidak tertinggal pula dengan masalah legislatif dan partai politik. Bersamaan dengan waktu pemilihan presiden, pemilihan legislatif (pileg) juga meruntuhkan kepercayaan publik. Kembali ICW menyampaikan terdapat 46 caleg mantan koruptor mengikuti pileg 2019. Sedangkan 89% anggota DPR 2014-2019 dengan kinerja buruk kembali, bahkan mayoritas anggota DPR enggan untuk melaporkan kekayaannya.

Dua kondisi diatas diperparah dengan masalah dari partai politik yang sulit terbuka dengan kader yang memiliki prestasi. Kader partai yang memiliki prestasi kalah dengan kader yang memiliki modal ekonomi dengan kemampuan politik yang minim.

Oleh sebab itu partai mencalonkan kembali anggotanya yang terlibat korupsi, karena partai membutuhkan dana untuk melakukan aktivitas. Disisi lain dana yang diterima oleh partai politik melalui APBN dan APBD tidak transparan, baik di pusat maupun di daerah, bahkan laporan penggunaan dana terlalu normatif jika dilihat dari hasil audit BPK.

Padahal dana yang diterima oleh partai semestinya digunakan untuk pendidikan politik, namun partai hanya melakukan aktivitasnya menjelang pemilu. Semestinya sebagai lembaga publik, partai politik harus memperlihatkan yang semestinya dapat diikuti oleh publik. Agar publik merasa percaya.

Oleh sebab itu, jika diperhatikan secara serius bahwa pemilu tidak ubahnya dengan agenda rutinan tanpa memberikan kepastian bagi pengguna suara. Melihat sokongan dana yang begitu besar dan tidak jelas pemberi bantuan dana kampanye kepada dua paslon, besar indikasi bahwa pemilu hanya akan menjadi praktek balas budi antar patron (pemberi bantuan dana/pengusaha) dan klien (penerima dana untuk mendapatkan jabatan publik).

Dengan kondisis semacam itu, dan tidak ada niat baik oleh partai untuk merovolusi kondisi demikain, maka tidak salah apabila pilihan politik publik akan sampai pada tidak memilih sama sekali. Partai melalui pemilu tidak mampu menghadirkan orang yang memiliki kredibilitas yang menjadi panutan bagi publik.

Orang-orang yang memiliki masalah dan modal ekonomi minus modal sosial yang selalu menjadi penghias setiap pemilu. Oleh sebab itu publik akan merasa jenuh dengan penyelenggaraan pemilu yang dimeriahi oleh kandidat partai politik yang hambar akan presatasi dan gagasan keberlanjutan untuk hidup bersama, diantaranya adalah tercapainya kesejahteraan, adil, dan kepastian perlindungan hukum.

Arif Ramadhan
Arif Ramadhan
Penyayang sesama mahluk Tuhan dan suka berbagi kasih.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.