Anies Baswedan (AB) pernah mengeluarkan sebuah kalimat bijak. Kalimat yang cukup ampuh memainkan psikologi anak muda, sehingga di antara mereka ada yang mengimani keampuhan kalimat tersebut, meski sekadar untuk meluluhkan hati calon mertua. Kalimat itu berbunyi: “Anak muda itu memang minim pengalaman, karena itu ia tak menawarkan masa lalu. Anak muda menawarkan masa depan.
Sebagai anak muda sekaligus musisi yang tentu kerap mengintimi kata-kata, kalimat di atas barangkali telah menyelinap ke dalam lorong imajinasi Giring “Nidji”. Atau setidaknya, dia diam-diam mengizinkan quote tersebut menjadi pupuk atas motivasinya sehingga mau banting stir menjadi politisi.
Keputusan Giring untuk terjun ke dunia politik, bagi saya, tidak terlalu mengejutkan. Giring adalah bagian dari fenomena artis berpolitik, yang telah terjadi pada tahun 2009. Itu ketika Soetrisno Bachir (SB) yang berlatarbelakang pengusaha, menjadi ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN) periode 2005-2010. Pada saat SB menjadi ketua umum PAN, dia membuat kebijakan merekrut artis dengan tujuan yang sebenarnya sangat pragmatis: sebagai vote getter bagi partai. Langkah pragmatis SB itu lalu melahirkan dua akibat: pertama, artis yang berpolitik dipandang tak kompeten alias bermodal popularitas doang, dan yang kedua PAN diplesetkan sebagi Partai Artis Nasional. PAN kala itu seolah-olah menjadi pucuk gunung es dari ketakmampuan partai politik melakukan kaderisasi.
Beruntungnya Giring, dia tidak masuk ke gerbong partai yang sudah mapan. PSI (Parta Solidaritas Indonesia) yang telah berhasil mengambil hatinya adalah parpol yang sejauh ini telah berhasil mencitrakan diri sebagai parpol anak muda. Sehingga citra artis yang disandang Giring menjadi sedikit terimbangi dengan kemudaannya. Status PSI sebagai partai baru pun akan membuat Giring tidak akan ongkang-ongkang kaki sangeunahna, tetapi dia akan dipaksa untuk “berkeringat”.
Tentu saja Giring tidak boleh lupa akan kenangan yang mengendap di dalam kepala khalayak. Publik tidak amnesia dan telah menyimpan memori itu dengan sebaik-baiknya. Bahwa anak-anak muda, kala terjun ke kancah politik, cenderung men(d)ua. Energi yang tampak saat berjuang di luar sistem, menjadi larut tanpa diaduk. Anak-anak muda itu, meminjam istilah Abdul Hamdi (2010), alih-alih menjadi ikan di lautan asin mereka malah menjadi ikan asin.
Sejarah telah dengan lirih berbisik, bagaimana mahasiswa yang dulu gegap-gempita meruntuhkan rezim Soekarno, menjadi loyo dan senyap di era Soeharto. Yang melengserkan Soeharto pun anak-anak muda. Dan kini lihatlah anak-anak muda yang dahulu “menduduki Senayan” itu. Mereka berjas dan dasi, tampil necis. Lalu prestasi mereka? Lagi-lagi kata Abdul Hamid (2010), mereka menua ketika berada di pusaran politik, tak “sebelia” saat mereka berada di luar sistem atau saat pertama kali memasuki dunia politik.
Saya sih berharap, Giring dan sederet (calon) politisi lainnya sungguh-sungguh membangun basis sosial lewat perbuatan-perbuatan yang konkret. Jangan mentang-mentang muda dan mudah mengakses media, malah terjebak melakukan pencitraan melalui iklan yang tentu saja berbiaya mahal. Menjadi politisi sesungguhnya tak cukup ditopang popularitas. Kapabilitas dan integritas adalah dua hal yang tidak boleh diabaikan.
Pada paragraf terakhir ini, saya ingin mengutip kata-kata Abdul Hamid (2010) seutuhnya, bahwa perubahan besar yang terjadi di Republik ini, harus diakui, memang erat melekat pada diri pemuda. Tetapi kurang bijak rasanya bila faktor sejarah itu, secara paksa, dijadikan legitimasi untuk mendapatkan kepemimpinan politik. Jangan sampai ada pembajakan identitas pemuda oleh segelintir orang yang ingin menjadi politisi. Jangan sampai pemuda dan kepemimpinan pemuda hanya menjadi jargon belaka. Karena tidak serta merta, kala pemuda memimpin segala persoalan akan selesai.
Tapi, selamat berjuang Bro Giring!