Kedua hal yang tertulis di dalam judul di atas adalah yang sedang nyata terjadi kini. Dengan kata lain, politik yang bermakna sebagai wujud ‘pengabdian’ dalam merevolusi peradaban ke mimpi-mimpi ideal menjadi sebuah keniscayaan.
Panasnya situasi politik Indonesia selama setahun belakangan hingga kini, jika diartikan sebagai prestasi (keterlibatan dari yang sebelumnya apatisme) adalah kontradiksi dan bahkan api yang dipuja-puja namun begitu menggerahkan badan yang sedang menjalani.
Terbukti jika ditilik secara kronologis, berbagai problema malah tercipta setelah suasana ‘gila politik’ terjadi. Rasisme dan polarisasi, matinya kritik karena plutokrasi, propaganda, dan cyber war, membuncah membanjiri hari-hari tahun politik kita.
Naluri dan libido gila politik melahirkan sebuah panggung kontestasi menjadi liar tanpa lagi mempertimbangkan visi politik yang syarat akan nalar dan bentuk untuk perubahan yang bagai angin segar.
Gila politik mengakar, bukan hanya para politisi yang sedang berada di ring tinju tapi telah berwujud layaknya darah yang mengalir di setiap diri bangsa yang kegirangan berpolitik.
Dus, politik gila lah yang menjadi capaian dalam hal ini. Kekacauan dimana-mana, konflik berlangsung lama, membinatangkan siapa saja bahkan yang katanya beragama. Begitu.
Ungkapan “Di dadaku ada dadamu” dari Bung Karno dan “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan” dari Gus Dur, hanyalah layaknya kasidah-kasidah indah yang lewat secepat kilat di telinga setiap diri.
Apakah tidak ada jalan lain untuk bangsa ini agar kembali seperti semangat rajawali (garuda) dan politik di dalamnya? Barangkali memang bangsa ini membaca perjuangan merebut kemerdekaan adalah dongeng dan romantisme yang tak pernah sampai ke dalam dada.
Lalu, saat ada ramalan akan lahir generasi emas yang akan merubah bangsa ini menjadi maju dan mendunia itu bagaimana? Generasi emas tak pernah lahir dari zaman cengeng. Generasi emas lahir karena ia mampu melawan zaman krisis.