Jumat, Mei 3, 2024

Gestok Bukan Hanya Persoalan Siapa Dalangnya

Zamzam Fuad
Zamzam Fuad
Peneliti, Penulis

Membaca kembali sejarah 1965 membuat bulu kuduk berdiri. Namun begitulah sejarah. Tidak semua sejarah itu menyenangkan hati. Ada juga sejarah yang memilukan, mengerikan, menyakitkan. Tapi agar cerita sejarah itu tidak terulang lagi, kita perlu untuk mengingatnya dan belajar darinya.

1965 merupakan tahun yang berlumuran darah. Pada mulanya adalah Gerakan 1 Oktober (Gestok) di Jakarta yang menyebabkan jatuhnya korban dari TNI AD, mulai dari berpangkat jenderal hingga perwira. Kemudian disusul rentetan pembantaian terhadap orang-orang yang dianggap Anggota PKI. Total prakiraan jumlah tewas sepanjang tahun 1965-1966 imbas Gestok bervariasi, dari terendah 100.000 hingga tertinggi 2 juta jiwa (Robert Cribb, 1990).

Sampai hari ini, telah banyak studi yang meneliti siapakah dalang peristiwa Gestok. Menurut Asvi Warman Adam, studi yang ada menunjuk beberapa pelaku atau dalang utama Gestok: 1) PKI; 2) Klik Angkatan Darat; 3) Soekarno; 4) Soeharto dan MPRS; 5) CIA; 6) Tidak ada pelaku tunggal.

Meskipun banyak variasinya, pemerintah masih bergeming pada “sejarah resmi” bahwa dalang kejadian Gestok adalah PKI. Namun apakah itu itu salah? Dalam perspektif keilmuan tentu saja tidak salah. Toh para penulis yang mengambil perspektif berbeda juga ngotot dengan pendapatnya. Nah, yang salah adalah ketika ada pihak, bisa pemerintah, bisa masyarakat sipil, menggunakan instrumen koersi, fisik atau non fisik, untuk memaksakan pendapatnya.

Tidak seperti dulu, sekarang jarang terdengar negara melakukan sweeping atau pembakaran buku tentang Gestok yang berbeda dari narasi sejarah resmi. Pemerintah nampaknya konsisten menjalankan keputusan Mahkamah Konstitusi yang mencabut aturan tentang pelarangan buku oleh kejaksaan.

Sejak ada keputusan ini, mulai banyak terbit buku yang mengulas kembali sejarah Gestok. Demikian juga buku yang pernah dilarang oleh pemerintah mudah ditemukan di marketplace seperti Tokopedia, Bukalapak, Shopee, dll. Semua ini memancing banyak diskusi akademis terkait Gestok dengan berbagai versi historiografi. Ruang sejarah yang tadinya steril dari kritik akademis, perlahan-lahan mulai terbuka. Situasi ini adalah kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk melakukan “wisata akademik” terhadap berbagai narasi terkait Gestok.

Yang saya maksud sebagai wisata akademik adalah pembacaan sejarah Gestok dalam berbagai versi historiografi. Mungkin di antara kita masih ada yang merasa bahwa membaca narasi selain sejarah resmi dapat membangkitkan kembali komunisme di Indonesia. Mungkin ada juga kekhawatiran kalau kalau korban PKI melakukan playing victim, lalu kemudian menyerang balik dan menuduh pihak lain sebagai dalang tragedi berdarah 1965.

Menurut saya tidak sampai sejauh itu. Malahan, mempelajari peristiwa Gestok dalam versi yang beda-beda, justru membuat kita sulit menghakimi satu pihak saja. Dengan melakukan wisata akademik, kita akan menyadari betapa ruwetnya peristiwa sejarah ini, dan sulit untuk menyimpulkan mana korban utama, mana pelaku utama.

Kalau kita membaca buku Palu Arit di Ladang Tebu, tulisan Hermawan Sulistyo, misalnya. Buku itu menjelaskan bahwa sepanjang tahun 1965-1966 ribuan anggota PKI menjadi korban pembantaian. Dimana-mana ada manusia tergeletak tak bernyawa. Ada juga yang jasadnya dibuang begitu saja ke sungai. Mengerikan. Tapi memang begitu faktanya. Namun buku itu juga menjelaskan bahwa kejadian itu tidak bisa dilepaskan dari politik konfrontasi dan aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh PKI sepanjang tahun 1960an. Jadi, dalam konteks ini, semua adalah pelaku, sekaligus semua adalah korban.

Jadi, alih-alih mencari dalang utama, dengan wisata akademis terhadap historiografi Gestok, kesimpulan yang paling mungkin diambil adalah: bangsa ini pernah mengalami polarisasi ekstrem dan tragedi berdarah karena urusan rebutan kekuasaan.

Hampir semua buku yang menulis tentang Gestok menggambarkan situasi 1960an: para aktor politik sudah mulai ambil ancang-ancang merebutkan kursi kekuasaan mengingat Presiden Soekarno mulai sakit-sakitan. Kekuatan politik pun semakin terpolarisasi dan saling suudzon. Isu-isu berseliweran dan saling memanas-manasi.

Ya seperti di zaman kita sekarang ini kan. Kalau mau ada Pemilu pasti muncul isu-isu lucu dan aneh-aneh seperti Si A didanai Cina, Si B antek Amerika, Si C LGBT, Si D ga jelas ibunya siapa, Si E pernah makan babi dll. Nah, dulu juga sama seperti itu. Beredar kabar dimana-mana yang membuat tensi politik meninggi.

Mulai dari yang isu yang berat-berat seperti: AD bikin Dewan Jenderal; bocornya dokumen Gilchrist; kabar Soekarno kian mesra dengan Aidit; dan oleh karena itu lebih dekat dengan Cina; sampai ke kabar-kabar ringan seperti penyakit Soekarno, ada yang bilang ginjal, lumpuh, atau hanya masuk angin. Pokoknya semua isu ini membuat urat syaraf politik menegang, hingga semua merasa harus pasang kuda-kuda untuk mendapatkan lungsuran kekuasaan Bung Karno.

Mengingat jaman dulu belum ada presidential thershold, jadi buat apa membuat koalisi-koalisi lucu seperti yang terjadi sekarang. Politik yang digunakan adalah politik konfrontasi. Sehingga situasi politik pun memanas dari tingkat pusat hingga daerah, yang berujung pada pecahnya tragedi berdarah Gestok.

Di titik inilah orang meributkan siapa dalangnya. Padahal, selain urusan dalang, ada hal yang bisa disepakati bersama bahwa Gestok adalah puncak dari peristiwa suksesi kekuasaan. Gestok adalah cerminan betapa ugal-ugalannya kita kalau sudah menyangkut urusan perebutan kekuasaan. Dan, lantaran tidak memaknai Gestok dengan cara demikian, kita berulangkali hampir jatuh ke dalam lubang yang sama: berdarah-darah meributkan dan merebutkan kekuasaan.

Tentu kita tentu ingat bagaimana reformasi harus mengorbankan nyawa dan tetesan darah mahasiswa serta trauma mendalam yang dialami warga etnis Tionghoa. Begitu juga ketika Presiden Gus Dur lengser muncul ancaman serius akan terjadinya bentrokan besar di Jakarta. Bahkan saat itu ada isu tentang moncong meriam sudah mengarah ke istana. Atau jangan jauh-jauh, 21-22 Mei 2019 kemarin, kita menyaksikan bentrokan besar yang menewaskan 8 orang dan 897 orang luka-luka, karena memprotes hasil pemilu 2019. Bukankah semua ini juga bisa diartikan sebagai Gestok versi mini?

Artinya apa? Bangsa ini rentan terseret ke dalam konflik berdarah ketika menghadapi persoalan perebutan kekuasaan nasional. Padahal, mestinya peristiwa Gestok menjadi guru sejarah terbaik bagi bangsa ini agar peristiwa serupa tidak terjadi. Dan, kesadaran sejarah seperti ini hanya bisa muncul ketika seorang dibiarkan untuk melakukan wisata akademis mempelajari seluruh narasi Peristiwa Gestok.

Tidak perlu menjadi Soekarnois untuk memahami arti penting sejarah. Anak saya yang bermain hujan akan langsung masuk rumah ketika diingatkan pernah jatuh terpeleset genangan air. Dan ia menurut saja. Artinya, dalam diri kita sepertinya ada insting bahwa mengingat sejarah berguna agar tidak jatuh di lubang yang sama.

Demikian juga dengan Peristiwa Gestok. Sepilu apapun peristiwa itu, seanyir apapun baunya, kita harus harus berani mengingatnya, mempelajarinya. Ini semua demi menumbuhkan kewaspadaan bersama agar momen “rebutan kekuasaan” tidak berakhir dengan tragedi berdarah. Ingat, 2024 di depan mata!

Zamzam Fuad
Zamzam Fuad
Peneliti, Penulis
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.