Jumat, Maret 29, 2024

Gerakan Mahasiswa, Belum Beranjak dari Utopia?

M. Fatah Mustaqim
M. Fatah Mustaqim
Sehari-hari menulis dan bekerja mengurusi peternakan. Pernah belajar di FISIPOL UGM, juga pernah bergiat sebagai sukarelawan partikelir di WALHI Yogyakarta dan di komunitas kepenulisan Omah Aksara Yogyakarta.

Sampai hari ini retorika gerakan mahasiswa agaknya belum beranjak dari utopia yang meyakini perannya sebagai agen revolusioner yang mendorong perubahan. Sering kali retorika tersebut lupa melihat jarak (gap) objektif antara kapasitas gerakan mahasiswa dengan tantangan nyata yang dihadapi.

Retorika gerakan mahasiswa yang tidak melihat gap antara idealisme utopis dan kenyataan yang dihadapi tak jarang pada akhirnya menjadi halusinasi dan bombasme semata. Meskipun sesungguhnya utopia gerakan mahasiswa diperlukan sebagai imajinasi gerakan yang memang bersandar pada nilai-nilai ideal. Maka yang diperlukan sebenarnya adalah merawat imajinasi dan intuisi gerakan mahasiswa dengan terus-menerus menjawab tantangan nyata yang dihadapi untuk kemudian direfleksikan pada nilai ideal yang diutopiakan.

Dengan demikian utopia gerakan mahasiswa akan tetap relevan dan tidak hanya menjadi wacana yang mengawang tanpa menjejak di bumi kenyataan sehingga jatuh menjadi halusinasi semata. Premis yang semestinya berlaku pada gerakan mahasiswa adalah bagaimana menjawab tantangan nyata (materil) baru kemudian secara dialektis direfleksikan pada nilai-nilai ideal yang diutopiakan bukan sebaliknya. Pertanyaan yang utama adalah bagaimana merawat secara konsisten dialektika antara nilai ideal (utopia) dan dinamika kenyataan yang dihadapi gerakan mahasiswa.

Namun sebelum menjawab pertanyaan tersebut, gerakan mahasiswa harus selesai dengan urusan internalnya sendiri dengan terus-menerus mengupayakan otokritik terhadap gerakan. Sebab dialektika antara idealisme dan tantangan yang dihadapi hanya akan menemukan jawaban legitimate jika gerakan mahasiswa mempunyai kecukupan kapasitas dan tidak mudah terpolarisasi serta terpecah-belah.

Jika kita lihat satu aspek saja mengenai polarisasi gerakan mahasiswa yang menandakan bahwa mereka tidak mempunyai narasi realitas yang kuat dalam merumuskan perkembangan secara organik sehingga cenderung menjadi pengikut dari narasi yang dibentuk orang lain. Absennya narasi realitas yang organik dari mahasiswa telah mengaburkan dan membiaskan idealisme gerakan mahasiswa sehingga utopia gerakan mahasiswa sebagai agen perubahan cenderung hanya menjadi slogan dan jargon bombasme semata.

Polarisasi gerakan mahasiswa juga tak jarang mengakibatkan mereka sekedar sebagai tools (alat) dari kepentingan politik golongan tertentu. Sehingga kini gerakan mahasiswa semakin terombang-ambingkan serta tidak mampu memainkan perannya sebagai eksponen independen yang punya peluang membikin perubahan sosial baru. Jika gerakan mahasiswa tidak cukup memiliki legitimasi dan independensi karena terlalu terpolarisasi maka utopia gerakan mahasiswa sebagai agen perubahan hanya akan menjadi bahan olok-olok semata karena terlalu jauh dari kenyataan.

Gerakan Mahasiswa Hari ini, What Is to be Done?

Jika kita mengandaikan gerakan mahasiswa hari ini bersatu minimal dalam persepsi mengenai demokrasi Indonesia maka apa yang seharusnya dilakukan hari ini? Persatuan (bukan penyeragaman) gerakan mahasiswa adalah prasyarat mutlak menggapai cita-cita perubahan. Mengingat keterbatasan sumberdaya yang ada, sulit sekali, apabila gerakan mahasiswa bergerak maju secara sporadis tanpa arah dan jaringan persatuan di antara mereka.

Egosentrisme di antara mereka, seyogyanya tidak lagi ditonjolkan. Persatuan perjuangan, independensi gerakan serta pembenahan internal gerakan mahasiswa adalah syarat mutlak yang harus dimiliki apabila gerakan mahasiswa tidak mau cita-cita pembaruan sosial mereka hanya menjadi utopia semata. Agar tidak terus tenggelam dalam ilusi romantisme dan utopia semata, gerakan mahasiswa dalam konteks negara demokrasi di Indonesia hari ini, pada level arus bawah, seyogyanya segera mengupayakan pendidikan cara berpikir kritis kepada rakyat. Gerakan mahasiswa dapat mengupayakan pendidikan politik terkait kesadaran rakyat sebagai warga negara.

Melalui kampanye gerakan literasi politik (melek politik) bagi warga khususnya mengenai relasi kuasa antara negara dan rakyat yang timpang. Pendidikan politik yang dikampanyekan terutama mengenai dekonstruksi cara berpikir dan pola komunikasi yang keliru antara rakyat dan negara namun dianggap lazim (biasa) padahal sangat merugikan rakyat.

Misalnya diksi frasa “bantuan negara” yang keliru karena seharusnya sebagai negara republik demokrasi, dengan slogan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, diksi frasa istilah yang tepat adalah redistribusi negara bukan bantuan negara.

Sama halnya diksi kata “pemerintah” yang bermakna sumbang karena dalam kondisi normal, aparatur negara yang kini masih menyebut dirinya pemerintah, dalam sebuah negara demokrasi seharusnya lebih berperan sebagai pengurus kepentingan administratif warga negara daripada berposisi sebagai pemerintah yang berkonsekuensi timpang dalam relasi kuasa yang tidak setara dengan rakyat karena tindakannya yang bersifat perintah (amar) yang memaksa. Kecuali jika keadaan darurat maka aparatur negara baru berhak secara legal melalui persetujuan dewan rakyat menyebut dirinya pemerintah sesuai nomenklatur.

Output dari gerakan pendidikan politik bagi rakyat ini jika berhasil diwujudkan adalah perubahan konkret cara berpikir dalam bernegara yang pada akhirnya akan merombak kebijakan negara menjadi lebih rasional sesuai khittah bernegara yang sejati yang mendudukkan rakyat sebagai tuan di negaranya dan pemerintah sebagai pelayannya.

Pendidikan politik bisa direalisasikan melalui berbagai saluran media berkolaborasi dengan lembaga pers mahasiswa misalnya atau melalui kampanye di media sosial maupun dikampanyekan secara langsung kepada masyarakat. Namun upaya tersebut hanya akan terwujud apabila gerakan mahasiswa tidak menjadi bagian dari kultur cara berpikir yang korup dan sedang dominan (mainstream) saat ini.

Independensi gerakan mahasiswa dari kultur yang korup tentu merupakan sebuah tantangan bagi eksistensi dan relevansi gerakan dalam lapangan perjuangan agar tidak mudah bergantung kepada siapapun selain pada kewarasan gerakannya. Mahasiswa sebagai pelopor pemuda intelektual seharusnya juga mampu menjadi contoh bagi rakyat bahwa lapangan perjuangan baru yang menganut kultur independen sesungguhnya masih bisa bertahan dan berkembang dengan baik.

Maka gerakan mahasiswa hari ini semestinya mempunyai kemampuan yang paripurna. Gerakan mahasiswa hari ini dapat belajar dan mengambil sisi positif dari kakak angkatan mereka dari generasi mahasiswa 1966 yang mempunyai kemampuan berkomunikasi dan berkolaborasi dengan para elit maupun eksponen masyarakat. Gerakan mahasiswa hari ini juga harus tampil dengan otentisitas (kejujuran) aspirasi atau amanat gerakannya serta sifat non-partisannya sebagaimana angkatan 1974 dan 1978.

Gerakan mahasiswa hari ini juga seyogyanya mempunyai kemampuan dan kemauan untuk terjun langsung melakukan aksi-aksi pemberdayaan dan advokasi konkret di masyarakat sebagaimana gerakan mahasiswa angkatan 1980-an. Melalui gerakan aksi-refleksinya dengan kedalaman pemikiran intelektual dalam diskusi publik di kampus-kampus dan aksi nyata di lapangan. Serta yang terakhir ialah keterbukaan gerakan serta kepemimpinan kolegial sebagaimana dimiliki gerakan mahasiswa angkatan 1998.

M. Fatah Mustaqim
M. Fatah Mustaqim
Sehari-hari menulis dan bekerja mengurusi peternakan. Pernah belajar di FISIPOL UGM, juga pernah bergiat sebagai sukarelawan partikelir di WALHI Yogyakarta dan di komunitas kepenulisan Omah Aksara Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.