Kamis, Maret 28, 2024

Gerakan 212 dan Bloody Sunday

Harsa Permata
Harsa Permata
Alumni Filsafat Universitas Gadjah Mada, Dosen di berbagai universitas di Yogyakarta.

Setelah mengadakan “reuni” untuk yang kedua kalinya, mulai kelihatan arah politik dari gerakan 212 ini. Dari tahun ke tahun, jumlah massa yang menghadiri demonstrasi damai setiap tanggal 2 Desember tersebut, selalu cukup besar.

Pemicu kemunculan gerakan ini sebenarnya adalah persoalan dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI (Daerah Khusus Ibukota) Jakarta, pada tahun 2016, yaitu Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok. Saat itu memang Ahok memberikan pendapat terhadap sebuah ayat dalam AlQur’an, hal yang seharusnya tidak dilakukannya, karena di luar kapasitasnya, ia bukan pemeluk agama Islam, dan juga bukan seorang ahli agama. Karena itulah pada keputusan sidang akhir, yang bersangkutan divonis bersalah.

Akan tetapi, sebelum vonis tersebut diberikan, demonstrasi dari ribuan bahkan jutaan kaum muslimin, yang dipimpin oleh para ulama, termasuk di dalamnya, yaitu Habib Rizieq Shihab, dan Kiai Ma’ruf Amin. Nama yang kedua, sekarang menjadi calon wakil presiden mendampingi Jokowi, sementara yang pertama masih berada di Mekkah. Habib Rizieq berangkat ke Mekkah, setelah kasus asusila yang dituduhkan padanya, mulai disikapi secara serius oleh pihak kepolisian.

Demonstrasi yang dilakukan oleh gerakan 212 ini kalau dibandingkan dengan salah satu demonstrasi dalam sejarah revolusi Rusia, yang terkenal dengan nama Bloody Sunday sebenarnya sedikit banyak memiliki kemiripan, walaupun perbedaan yang cukup signifikan tetap ada.

Bloody Sunday, adalah sebuah demonstrasi damai di Istana Musim Dingin di Rusia, yang dilakukan oleh rakyat Rusia, di bawah kepemimpinan seorang pemuka agama, yaitu Pendeta Georgi Gapon. Demonstrasi yang dihadiri oleh ratusan ribu massa buruh dan rakyat tersebut, sebenarnya bertujuan menyerahkan petisi, yang telah ditandatangani oleh kurang lebih 150.000 orang, pada Tsar Nicholas II.

Mereka berharap bahwa Tsar mau melaksanakan reformasi politik dan ekonomi, seperti yang tertuang dalam petisi. Poin-poin dalam petisi tersebut menurut John Simkin (2017), adalah supaya Tsar menghentikan penindasan secara legal terhadap rakyat Rusia. Selain itu, juga berisikan tuntutan tentang pendidikan, kebebasan pers, kebebasan berorganisasi dan berpikir, pembebasan tahanan-tahanan politik, pemisahan gereja dan negara, menerapkan pajak progresif, kesetaraan di bidang hukum, kredit dengan bunga rendah, dan reformasi agrarian (https://spartacus-educational.com/, akses 4 Desember 2018).

Apa yang terjadi kemudian?

Berbeda dengan apa yang dialami oleh gerakan 212 tahun 2016, yang berlangsung damai dan dihadiri oleh Presiden Jokowi. Demonstrasi damai yang berlangsung pada tanggal 22 Januari 1905 tersebut, direpresi habis-habisan oleh Tsar, yang mengerahkan ribuan pasukan bersenjata, yang di dalamnya terdapat juga pasukan kavaleri Cossack, yang terkenal akan kekejamannya.

Ratusan orang kehilangan nyawa karena diinjak-injak dan terkena tebasan pedang pasukan Cossack yang ganas. Hal yang membuat Pendeta Gapon berteriak “Tidak ada Tuhan lagi! Tidak ada Tsar!” (Richard Cavendish dalam www.historytoday.com, akses 4 Desember 2018).

Represi kejam Tsar terhadap rakyatnya dalam Bloody Sunday inilah, yang sedikit banyak menyebabkan gerakan revolusioner di Rusia menjadi semakin radikal. Tercatat, beberapa revolusioner Rusia seperti Alexandra Kollontai dan Vladimir Lenin, bergabung dalam demonstrasi damai tersebut (https://spartacus-educational.com/, akses 4 Desember 2018). Mereka inilah yang kemudian menjadi pimpinan-pimpinan revolusi Oktober tahun 1917 di Rusia.

Pendeta Gapon, menurut Sean Munger (2014), adalah seorang agen yang bekerja untuk Okhrana, organisasi polisi rahasia Tsar (https://seanmunger.com/, akses 4 Desember 2018).

Serupa dengan Gapon, Habib Rizieg Shihab, sebagaimana disitir oleh Arman Dhani (2017), dalam sebuah artikel yang berjudul “Kisah  Kedekatan Wiranto dan Rizieq Shihab”, memiliki keterkaitan dengan Wiranto, yang saat ini menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) dalam pemerintahan Jokowi. Kedekatan tersebut terlihat jelas pada dukungan dan pembelaan Wiranto terhadap Front Pembela Islam, organisasi yang dipimpin oleh Habib Rizieq.

Selain itu, atas undangan Wiranto, FPI pernah melakukan mobilisasi massa sekitar 100.000 orang, atas nama Pam Swakarsa, yang bertujuan melindungi pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, dari para demonstran yang menolak pergantian presiden dari Soeharto ke Habibie pada bulan November 1999 (https://tirto.id/, akses 4 Desember 2018). Belum diketahui, apakah Habib Rizieq juga merupakan mata-mata pemerintah seperti halnya Pendeta Gapon.

Akan tetapi, yang jelas nasib Habib Rizieq jauh lebih baik dari Pendeta Gapon, yang digantung oleh kaum revolusioner Rusia pada tanggal 26 Maret 1906 (https://spartacus-educational.com/, akses 4 Desember 2018). Sementara, Habib Rizieq pasca demonstrasi 212, walaupun harus pergi ke Mekkah, untuk menghindari “kriminalisasi” terhadap dirinya, di sana hidupnya cukup terjamin, dan masih bisa berorasi lewat teleconference kepada para pendukungnya di Indonesia.

Bagaimana dengan Gerakan 212?

Setelah melakukan reuni untuk yang kedua kalinya, gerakan ini tetap konsisten dengan aksi damai, dan memiliki kecenderungan untuk mendukung salah satu calon presiden, yaitu Prabowo Subianto. Hal ini terlihat dengan kehadiran Prabowo, dalam demonstrasi reuni 212, tanggal 2 Desember 2018.

Dalam demonstrasi tersebut, Prabowo juga berpidato dan menyebutkan bahwa ia “sekarang telah mendapat tugas sebagai calon presiden Republik Indonesia” (Jessi Carina dalam https://nasional.kompas.com/, akses 4 Desember 2018). Terlepas dari pidato tersebut merupakan salah satu bentuk kampanye atau bukan, yang jelas ia telah menginformasikan statusnya ke massa demonstrasi, terkait statusnya sebagai calon presiden, dan tak ada reaksi penolakan dari massa saat itu.

Akhir kata, gerakan 212, secara kuantitas massa, dan format demonstrasi, memiliki beberapa kemiripan dan perbedaan dengan demonstrasi yang dipimpin oleh Pendeta Gapon di Rusia tahun 1905.

Kemiripannya adalah, yaitu sama-sama dipimpin oleh rohaniwan (pemuka agama), jumlah massa yang besar, serta berharap supaya pemerintah memberikan apa yang mereka inginkan. Perbedaannya adalah, yaitu demonstrasi damai yang dipimpin oleh Pendeta Gapon, direpresi habis oleh Rezim Tsar, yang dikenal dengan peristiwa Bloody Sunday, sementara gerakan 212 tidak direpresi, hanya pemimpinnya yang dipengaruhi oleh pemerintah.

Seperti diketahui, Habib Rizieq harus pergi ke Arab Saudi, untuk menghindari “kriminalisasi”, sementara Kiai Ma’ruf Amin, menjadi calon wakil presiden mendampingi petahana Joko Widodo, untuk maju dalam Pilpres 2019. Hal ini mungkin yang menyebabkan gerakan 212 tidak berkembang menjadi gerakan revolusioner, seperti halnya gerakan rakyat dalam sejarah Rusia, yang berhasil melakukan revolusi pada tahun 1917.

Harsa Permata
Harsa Permata
Alumni Filsafat Universitas Gadjah Mada, Dosen di berbagai universitas di Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.