Sejak dahulu kala bahasa telah menjadi perhatian para filsuf, karena mereka menyadari pentingnya peran bahasa dalam kehidupan manusia.
Sejarah perkembangan ilmu linguistik pragmatik tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ilmu filsafat, khususnya filsafat bahasa. Timbulnya ilmu linguistik pragmatik dipengaruhi oleh perkembangan tradisi filsafat analitis pada abad ke-20. Perkembangan filsafat analitis dilatarbelakangi karena adanya kekacauan bahasa dalam filsafat.
Banyak teori serta konsep filsafat yang dipaparkan dengan bahasa yang membingungkan, bahkan semakin jauh dari bahasa sehari-hari. Kekacauan penggunaan bahasa dalam filsafat itu membuat ilmu filsafat dipandang sebagai ilmu yang sulit, membingungkan, dan makna yang kurang jelas untuk diungkapkan, sehingga banyak orang mengalami kesulitan dalam mempelajari ilmu filsafat.
Dalam mengatasi kekacauan bahasa filsafat tersebut, tokoh yang pertama kali meletakkan dasar filsafat analitika bahasa, yakni George Edward Moore mengembangkan tradisi analitis bahasa sebagai reaksi terhadap aliran idealisme yang berkembang di Inggris saat itu, melalui karyanya Principia Ethica.
Pada abad ke-18 akhir dan awal abad ke-20, dalam perkembangan sejarah filsafat Barat, khususnya di Eropa, terdapat dua aliran besar yang mendonimasi pemikiran berfilsafat pada saat itu. Kedua aliran tersebut adalah filsafat idealisme dan filsafat empirisme. Idealisme berkembang pesat dalam tradisi filsafat Jerman, sedangkan empirisme berkembang di Inggris.
Pada pertengahan abad ke-19 aliran filsafat idealisme masuk ke Inggris. Aliran filsafat ini mengalahkan dominasi filsafat empirisme yang selama berabad-abad telah menjadi ciri utama tradisi filsafat di Inggris. Saat itu sebutan yang lebih terkenal untuk idealisme di Inggris yaitu neo-idealisme, atau disebut juga neo-hegelianisme. Hal ini karena sumber inspirasi utama filsafat idealisme Inggris adalah filsafat hegelianisme.
Filsafat neo-idealisme ini akhirnya tidak dapat bertahan lama di Inggris, karena kedudukannya diambil oleh suatu gerakan baru, yaitu gerakan neo-realisme. Tokoh-tokoh terpenting dari aliran ini adalah G.E. Moore, A.N. Whitehead, Samuel Alexander, Bertrand Russel, Ludwig Wittgenstein, dan A.Y. Ayer.
Corak dan cara berpikir filsafat dari gerakan neo-realisme ini berseberangan jauh dengan corak, model, dan cara berpikir filsafat neo-hegelianisme. Cara berpikir dengan menganut filsafat neo-realisme menaruh perhatian besar terhadap penyelidikan linguistik dan logika analisis dari berbagai istilah dan konsep.
Mereka kembali meninjau metode analisis bahasa, dan akibatnya istilah-istilah seperti empirisme logis, positivisme logis, neopositivisme, linguistic analysis, semantic analysis, philosophy of language, dan filsafat analitis mulai dipakai. Corak filsafat di Inggris pada waktu itu menjadi berorientasi pada penyelidikan bahasa. Dari sini baru mulai dikenal secera serentak dengan istilah filsafat analitis.
Menurut Moore, banyak ungkapan-ungkapan dalam filsafat yang tidak dapat dipahami oleh akal sehat, karena menggunakan ungkapan-ungkapan yang tidak berfisik. Berdasarkan hal itu, banyak yang berpendapat bahwa analisis bahasa harus berdasarkan pada logika, sehingga ungkapan-ungkapan bahasa yang melukiskan suatu kenyataan terwujud secara utuh. Racikan pemikiran filsafat yang mendasarkan pada suatu analisis melalui bahasa dan didasarkan atas logika ini yang merupakan sumbangan terbesar Moore terhadap atomisme logis.
Filsafat analitis bahasa merupakan metode yang khas untuk menjelaskan, menguraikan, dan menguji kebenaran ungkapan-ungkapan filosofis. Menguraikan dan menguji kebenaran hanya mungkin dilakukan lewat bahasa, karena bahasa memiliki fungsi kognitif, yaitu dengan bahasa manusia menjelaskan apa yang dipikirkannya, apakah benar atau salah, sehingga dapat diterima atau ditolak secara rasional.