Fenomena yang semakin mengemuka akhir-akhir ini, istri-istri muda berstatus ASN menggugat cerai suami mereka hanya karena suami tak “selevel” secara status maupun finansial. Padahal, tidak sedikit suami yang mendampingi perjuangan istri dari nol—biaya tes ASN, belajar lembur, hingga berbagi peran saat sang istri fokus karir. Namun ironisnya, cinta yang dulu dibangun bersama runtuh saat NIP berada di tangan.
Apakah selembar NIP bisa menjungkirbalikkan fondasi cinta dan komitmen yang sudah dibangun?
Laporan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mencatat bahwa sepuluh persen dari pelanggaran kode etik ASN antara tahun 2020–2023 adalah kasus perselingkuhan dan perceraian—sekitar 172 kasus yang menyebabkan kerusakan integritas dan rumah tangga ASN.
Prosedur perceraian bagi ASN juga tidak sederhana, ASN yang ingin cerai wajib mengajukan izin tertulis kepada atasan dan melewati proses mediasi selama tiga bulan sebelum keputusan diambil. Ini menunjukkan bahwa isu ini bukan sekadar kasus pribadi, tetapi mencerminkan pergeseran nilai yang sistemik.
Pergeseran Nilai dan Ego
Dalam budaya patriarkal dan birokrasi kita, PNS masih dilihat sebagai simbol kekuatan finansial dan stabilitas. Ketika istri mendadak memiliki NIP, ada pergeseran dinamika kekuasaan dan ekspektasi.
Banyak istri merasa status mereka seharusnya diikuti oleh suami, dan jika tidak, muncul rasa tidak puas—meski suami memiliki riwayat mendukung sejak awal.
Nilai mitsaqan ghalizha (perjanjian suci dalam pernikahan) tergeser oleh logika materialistis “apa untungnya saya”.
Lingkungan sosial dan keluarga kerap menekan dengan pesan, “Cari yang sepadan seragammu.” Tekanan semacam ini perlahan menjadi pembenaran emosional untuk mengakhiri pernikahan. Akibatnya, perceraian sering dianggap jalan pintas demi memenuhi standar gengsi semata.
Lebih dari Sekedar Perpisahan
Perceraian bukan sekadar perpisahan dua individu, ia menyisakan jejak luka yang tak kasat mata, membekas pada hati, pikiran, dan bahkan tatanan sosial. Bagi seorang suami, perceraian karena alasan status atau profesi sering kali meninggalkan rasa pengkhianatan mendalam. Perjuangan yang selama ini ia lakukan—keringat yang menetes, mimpi yang ia pertaruhkan demi keluarga—mendadak terasa sia-sia. Harga dirinya terkoyak, seolah nilai seorang laki-laki ditimbang semata-mata dari besar gaji atau seragam kebanggaan yang ia kenakan. Luka psikologis itu tidak hanya menggerogoti keyakinannya pada cinta, tetapi juga pada arti pengorbanan.
Bagi seorang istri, perceraian bisa tampak seperti jalan keluar sesaat—ilusi bahwa kebahagiaan akan hadir ketika ia terbebas dari kehidupan yang dianggap kurang “mewah” atau “mapan”. Namun, realitas sering mengajarkan hal yang pahit, status dan gaji bukanlah jaminan kebahagiaan. Sebuah rumah mungkin bisa dibangun dengan uang, tetapi kehangatan rumah tangga tidak bisa dibeli. Pada titik tertentu, ia mungkin menyadari bahwa kenyamanan finansial tanpa fondasi cinta hanya meninggalkan ruang kosong di hati.
Bagi masyarakat, fenomena ini mengguncang pemahaman kolektif tentang makna “setia” dan “komitmen”. Jika ikatan pernikahan bisa goyah hanya karena status sosial, apa artinya janji sehidup semati? Jika cinta dapat ditukar dengan NIP atau gelar, maka sendi sosial dan nilai keluarga menjadi rapuh. Kita hidup dalam zaman di mana definisi kebahagiaan seakan direduksi menjadi gaji dan pangkat, padahal hakikat cinta jauh lebih dalam daripada itu.
Perceraian memang memutus hubungan, tetapi dampaknya jauh lebih luas daripada yang tampak di mata. Ia merembes ke harga diri, menelusup ke hati, dan perlahan mendekonstruksi nilai-nilai yang dulu kita yakini teguh.
Dimensi Hukum & Etika
Perceraian di kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) bukan sekadar urusan pribadi, tetapi terikat oleh regulasi yang ketat. Berdasarkan PP 45/1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS, setiap PNS yang hendak bercerai wajib memperoleh izin dari pejabat berwenang. Proses ini bukan formalitas semata—ada mekanisme mediasi yang wajib ditempuh, dengan tujuan mempertahankan keutuhan rumah tangga selama masih memungkinkan.
Bahkan, aturan ini membawa konsekuensi finansial yang nyata. Pasal 8 PP 45/1990 mengatur bahwa PNS pria yang menceraikan istri tanpa anak wajib menyerahkan separuh gaji pokoknya kepada mantan istri hingga ia menikah lagi. Jika memiliki anak, kewajiban ini menjadi sepertiga gaji untuk mantan istri dan anak-anaknya. Ketentuan ini lahir dari asas perlindungan ekonomi, mencegah istri dan anak terabaikan akibat perceraian.
Namun, regulasi bukan satu-satunya dimensi yang berbicara. Hakim di pengadilan agama memiliki ruang diskresi untuk menyesuaikan putusan dengan prinsip keadilan dan kepatutan, bukan sekadar mengikuti mekanisme administratif. Data dari Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (2023) menunjukkan bahwa 40% kasus perceraian PNS mengalami intervensi putusan hakim yang mengubah besaran nafkah pasca-cerai demi menyesuaikan kemampuan finansial pihak suami. Ini menegaskan bahwa hukum tidak kaku; ia menimbang realitas hidup.
Dari sudut pandang etika, pernikahan dan perceraian PNS juga membawa dampak reputasi dan integritas profesi. Penelitian oleh Deborah Carr, sosiolog dari Boston University, menemukan bahwa perceraian di kalangan pekerja sektor publik sering menimbulkan stigma sosial yang lebih tinggi dibanding pekerja sektor swasta, karena dianggap mencederai nilai teladan yang diemban oleh profesi mereka. Hal ini menuntut kesadaran moral: keputusan bercerai tidak boleh sekadar diukur dari gengsi atau status, tetapi harus ditempuh dengan pertimbangan matang atas konsekuensi sosial, finansial, dan etikanya.
Pada akhirnya, dimensi hukum dan etika ini menjadi pengingat bahwa perceraian PNS bukan hanya soal tanda tangan di atas berkas, melainkan keputusan yang mengguncang tatanan personal, finansial, dan bahkan citra institusi negara.
Ajakan dan Kesadaran
Inilah saatnya kita meneguhkan kembali makna pernikahan sebagai ruang pengorbanan dan saling menopang, bukan ajang kompetisi status. Pernikahan, sebagaimana ditegaskan John Gottman, pakar psikologi keluarga dari University of Washington, “bukan tentang siapa yang menang atau siapa yang kalah, melainkan bagaimana pasangan mampu menumbuhkan rasa memiliki dan menghargai satu sama lain di tengah perubahan hidup.”
Fakta menunjukkan, menurut laporan American Psychological Association (APA), hampir 42–45% perceraian di Amerika Serikat dipicu oleh faktor non-finansial yang kemudian bereskalasi menjadi konflik finansial atau status sosial. Artinya, status dan gaji sering kali hanya menjadi “api pemantik” dari masalah mendasar hilangnya rasa hormat dan apresiasi dalam hubungan.
Kini, pertanyaannya bukan lagi siapa yang bergaji lebih tinggi atau siapa yang lebih dihormati di mata masyarakat, tetapi apakah pernikahan masih dilihat sebagai persekutuan dua jiwa, atau sekadar transaksi status? Saatnya kita kembali pada hakikat cinta—bukan siapa yang membawa gelar, melainkan siapa yang bertahan untuk saling menggenggam di tengah badai.