“Hujan silih berganti basahi debu jalanan, tapi di hitamnya masih menyimpan api dan bara”
Selamat datang 2020. Berakhirnya tahun 2019 sebagian orang melihatnya sebagai babak akhir dari satu dekade. Seolah roller coaster, perjalanan kita menjadikan beragam momen untuk dirayakan, ditangisi, dan diambil maknanya.
Satu momen yang kuat menonjol yaitu munculnya gerakan-gerakan politik di berbagai negara. Meminjam istilah Takashi Shiraishi, inilah zaman bergerak, dan kita berjalan di atasnya.
Daftarnya akan panjang: sebut saja demonstrasi menuntut dicabutnya RUU ekstradisi di Hongkong, penolakan terhadap elit politik di Chile, demonstrasi menolak kenaikan harga BBM di Ekuador, aksi yang berhasil menurunkan presiden Evo Morales di Bolivia, protes terhadap pemerintah di timur tengah (Lebanon, Iraq, Mesir), seruan akan isu perubahan iklim di AS, Inggris, dan negara barat lainnya, hingga aksi #ReformasiDikorupsi di Indonesia yang menyusul gesitnya DPR mengesahkan beberapa RUU bermasalah.
Menurut BBC(11/11) banyak dari aksi tersebut memiliki sumber masalah yang sama: kesadaran akan ketidakadilan, pemerintah korup, dan kebebasan politis yang terancam.
Lalu siapakah yang telah membaca kondisi hal tersebut? Mayoritasnya adalah anak muda, salah satunya generasi Z. McCrindle Research Centre di Australia menyebut Generasi Z sebagai orang-orang yang lahir pada 1995 sampai 2009 (Tirto, 26/09).
Simon Tisdal, dalam opininya di The Guardian(26/10), mengatakan bahwa sekitar 41% populasi di dunia berusia kurang dari sama dengan 24. Kebanyakan dari mereka mencapai dewasa ketika dunia sedang berada dalam resesi sehingga akar pergerakan mereka didasari kesadaran kolektif akan ketimpangan ekonomi, pekerjaan, perubahan iklim (Tisdal, 2019, Barenberg dan Corzo, 2019).
Generasi ini juga merupakan generasi yang lebih terpelajar dibanding generasi lainnya (Parker. et al, 2019, Tirto, 26/09). Hal ini yang menyebabkan mereka lebih mudah memahami kejadian sekitar dan kebijakan publik yang muncul.
Selain itu, generasi ini juga memiliki kelebihan yang tidak dimiliki generasi tua, yaitu bahwa mereka sangat mudah terhubung satu sama lain, khususnya melalui media daring. Kampanye-kampanye politik melalui sosial media dengan mudah telah menggerakan massa dan ikut mengabarkan keberlangsungan aksi. Hal ini salah satunya terlihat dari Aksi #ReformasiDikorupsi.
Aksi #ReformasiDikorupsi yang memuncak pada September lalu menjadi suatu pernyataan sikap dari Generasi muda, khususnya Generasi Z. Aksi kemarin memang mayoritas digaungkan oleh mahasiswa, yang berusia sekitar 17-22 tahun.
Generasi Z di Indonesia kebanyakan lahir setelah Soeharto dan Orde baru tumbang, menjadikan mereka sebagai generasi pasca-reformasi. Hal ini tentu menyebabkan memori kolektif yang berbeda dengan pendahulunya.
Menurut Tirto.id (26/09), generasi Z lebih toleran terhadap isu-isu terkait ras, seksualitas, keberagaman, dan HAM (isu yang terbilang tabu bagi generasi sebelumnya). Sebagai generasi yang akrab dengan media sosial, generasi Z menggunakan gawai dan media daring dalam membuat dan melaksanakan pergerakan.
Mulai dari yang teknis seperti merilis kajian, membuat pernyataan sikap, dan kabar dari jalanan hingga sentilan-sentilan kecil melalui status di Line atau utas di Twitter tentang keresahan-keresahan duniawi (oh dan juga jangan lupakan meme yang bertebaran).
Aksi ini lantas “menggegerkan” Indonesia, di mana media massa ikut menyorot dan banyak tokoh yang juga berkomentar. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah sebelumnya generasi muda ini dianggap apolitis oleh generasi tua? Ada gap di antara generasi yang menyebabkan generasi tua cenderung lebih meremehkan gerakan generasi muda tersebut.
Beberapa pendapat publik berbisik bahwa akhirnya mahasiswa kembali turun ke jalan sejak reformasi 1998, seolah selama itu mahasiswa tidak pernah lagi turun. Padahal sebenarnya mahasiswa dan generasi muda masih ikut mendalami isu publik bahkan turun ke jalan, hanya saja tidak sebesar aksi ini. Oleh karena itu, aksi ini seperti yang ditekankan di awal adalah sebuah pernyataan sikap yang jelas bahwa generasi muda kita tidak apatis terhadap isu sosial politik.
Namun cukup disayangkan, beberapa pihak menganggap sepele gerakan tersebut, bahkan Menkopolhukam Wiranto mengatakan bahwa demonstrasi tak lagi relevan sekarang dalam suatu konferensi pers (Tirto, 26/09).
Benarkah pendapat mantan Menkopolhukam kita tersebut bahwa aksi demonstrasi tidak lagi relevan di dunia 4.0 ini? Hal ini masih menimbulkan perdebatan, bahkan dalam golongan mahasiswa dan pemuda itu sendiri.
Studi dari Madestam et al. (2011) menyatakan bahwa protes politik memengaruhi laku kebijakan publik. Sedangkan menurut Jacquelin van Stekelenburg dalam blog The London School of Economics and political Science (2015), efektivitas dari protes jalanan bergantung terhadap tiga mekanisme: disrupsi, fasilitasi, dan persuasi. Lalu tiga pihak: partai politik, opini publik, dan media.
Demonstrasi dapat secara langsung memengaruhi kebijakan publik melalui disrupsi, sedangkan secara tidak langsung melalui mediasi dan amplifikasi pengaruh demonstrasi terhadap kebijakan publik. Hal ini menandakan bahwa efektifitas demonstrasi tidak berdiri sendiri, melainkan ia terkait dengan pihak luar juga.
Telah menjadi rahasia umum bahwa parpol di Indonesia dikuasai elit dan oligarki (salah satu hal yang diangkat dalam aksi #ReformasiDikorupsi) sehingga secara umum semua parpol mendukung disahkannya RUU-RUU bermasalah tersebut. Hal ini jelas menyulitkan dari segi partai politik dan demokrasi, di mana tidak adanya dukungan terhadap demonstrasi tersebut. Sebab semakin demokratis suatu negara, ia akan semakin mudah mendengar rakyatnya.
Kemudian, media massa dan opini publik cukup membantu meledaknya animo terhadap aksi tersebut, akan tetapi media massa hanya menyorot animonya dan bukan dalam segi konteksnya. Banyak yang bermunculan adalah gambar-gambar lucu tentang poster peserta demo, sedangkan gambaran besar isu yang dibawakan luput dari pemberitaan. Hal ini kemudian membuat persepsi publik memandang kecil aksi yang berlangsung dan merendahkan efektivitas dari demonstrasi pula.
Hal-hal ini yang menyebabkan aksi #ReformasiDikorupsi belum cukup efektif dalam menjadikan pemerintah mengabulkan tuntutan massa. Walaupun begitu, ketika sesuatu telah membusuk bahkan hingga ke intinya, maka cara paling efektif untuk menyembuhkannya adalah dengan membakar dan menjadikannya abu agar dari abu tersebut tumbuh suatu yang lebih baik.
Oleh karena itu, pergerakan masih dan tidak akan usai. Terkadang ia tidak berhasil dalam sekali jalan, bahkan beberapa demonstrasi memerlukan waktu yang panjang untuk terlihat dampaknya (Thorpe, 2017). Progresivitas dilahirkan dari kelihaian membaca situasi dan mengambil renungan dari kejadian tersebut.
Kekurangan dari Aksi #ReformasiDikorupsi dan aksi-aksi dari belahan dunia lain dapat kita jadikan pelajaran untuk kembali membangun suatu gerakan yang lebih terstruktur dan kolektif. Problematika Indonesia kian berlarut. Maka bersamaan dengan terkembangnya payung hitam di depan istana, kita generasi Z terus menyatakan mosi tidak percaya terhadap penindasan dan kesewenang-wenangan.