Rabu, April 24, 2024

Generasi Z dan Radikalisme Beragama

Novi noviprawitasari
Novi noviprawitasari
Peneliti di Pusat Pelatihan dan Pengembangan dan Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara

Peristiwa ledakan bom di Gereja Katedral Kota Makassar pada 28 Maret 2021 lalu, menggegerkan masyarakat Indonesia. Bukan hanya karena jenis ledakan yang masuk kategori high explosive, tetapi juga dari usia pasangan suami-istri (pelaku) yang masih muda, bahkan termasuk usia Generasi Z.

Kedua pelaku diketahui lahir pada tahun 1995. Begitu pula kejadian penembakan di Mabes Polri pada 31 Maret 2021, yang juga dilakukan oleh seorang perempuan kelahiran tahun 1995 sehingga masuk kategori Generasi Z. Hal ini membuktikan bahwa radikalisme beragama telah menyusupi bukan lagi generasi milenial, aakn tetapi juga generasi setelahnya yaitu Generasi Z.

Generasi Z adalah mereka yang lahir pada 1995-2010, dan dibesarkan di lingkungan serba digital. Beberapa karakteristik Generasi Z yaitu melek teknologi dibanding generasi lainnya, serta cepat belajar dan cerdas di antara generasi lainnya. Hal ini ditandai dengan ciri khas mereka yang kreatif, inovatif, dan pekerja keras. Dan karena dilahirkan dalam era teknologi yang sedang berkembang pesat, media komunikasi yang digunakan oleh generasi ini adalah yang sedang trending seperti video call, snapchat, dan instastory.

Perpaduan kemajuan teknologi dan cepat belajar itulah, yang membuat generasi Z terbiasa belajar dan mencari informasi secara otodidak dari internet, serta multitasking alias bisa mempelajari banyak hal sekaligus. Hal ini terbukti pada pelaku peledakan di Gereja Katedral Makassar, yang ternyata mempelajari cara merakit bom melalui pelatihan di media sosial.

Kegiatan yang dilakukan Generasi Z di berbagai media sosial seperti Youtube, Instagram, dan TikTok turut memengaruhi sudut pandang mereka, termasuk dalam hal beragama. Figur-figur yang dijadikan panutan oleh generasi Z adalah generasi milenial, yang dijadikan jembatan referensi dan akselerasi religius. Demikian pula sebaliknya, generasi milenial menjadikan generasi Z sebagai target pasar untuk mengarahkan orientasi dan preferensi keagamaannya, termasuk juga menanamkan pemahaman radikalisme dan intoleransi.

Agama dan Radikalisme

Menurut Hendropuspito dalam Natalia (2016), agama merupakan suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganutnya pada kekuatan non-empiris yang dipercayai dan digunakan untuk mencapai bagi penganutnya dan masyarakat luas. Fungsi agama yang pertama adalah sebagai fungsi edukatif dimana agama dianggap mampu memberikan pengajaran yang berdifat otoritatif, tidak dapat disalahkan.

Kedua adalah sebagai fungsi pengawasan sosial, artinya agama digunakan untuk menyeleksi kaidah-kaidah yang ada di masyarakat, mengukuhkan yang baik dan meninggalkan yang buruk, serta menjatuhkan sanksi kepada yang melanggarnya. Ketiga adalah fungsi memupuk persaudaraan, dimana melaui agama, kedamaian tentu diharapkan oleh seluruh manusia. Namun, agama juga dapat menjadi pemicu perpecahan, salah satunya konflik antara mayoritas dan minoritas umat beragama yang dapat mengancam keutuhan NKRI.

Di sisi lain, radikalisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.

Adapun menurut Natalia (2016) radikalisme merupakan suatu akibat yang ditimbulkan dari perubahan sosial ekonomi tanpa diikuti perubahan kebijakan, sehingga menimbulkan ketimpangan di masyarakat.

Beberapa kondisi struktural yang mampu mendorong orang/kelompok mudah terpengaruh radikalisme antara lain tidak adanya kesempatan-kesempatan dalam lingkungan sosial dan ekonominya, situasi marginalisasi dan diskriminasi, tata pemerintahan yang buruk yang ditandai salah satunya dengan lemahnya penegakkan hukum (rule of law), serta terjadinya konflik berkepanjangan dan tidak terselesaikan.

Quintan Wiktorowicz dalam artikelnya menyebut terdapat empat proses yang bisa meningkatkan kemungkinan seseorang berpotensi bergabung dengan kelompok agama radikal dan kemudian terbujuk untuk berpartisipasi. Pertama, cognitive opening, yaitu seseorang telah menerima bahwa terdapat kemungkinan gagasan-gagasan dan cara pandang yang baru terhadap dunia (worldviews).

Kedua, religious seeking, yaitu tahap ketika seseorang mencari makna melalui ungkapan-ungkapan keagamaan. Ketiga, frame alignment, yaitu tampilan yang diperlihatkan oleh kelompok radikal “masuk akal” bagi para pencari dan menarik ketertarikannya. Keempat, socialization, adalah tahap dimana seseorang menerima pelajaran atau kegiatan relijius yang di dalamnya terdapat indoktrinasi, konstruksi identitas, dan perubahan nilai. Tiga proses awal berperan penting bagi proses yang keempat (sosialisasi).

Pentingnya Sinergitas

Dua kejadian terorisme yang para pelakunya masih berusia muda bahkan masuk kategori Generasi Z cukup mengejutkan, karena paham radikalisme telah menyusup lintas generasi. Pemerintah harus mengambil langkah cepat dan nyata untuk memberantas radikalisme hingga ke akarnya. Sinergi antara pemerintah, pemangku kepentingan, dan masyarakat sangat penting dilakukan untuk mendeteksi bibit radikalisme di masyarakat. Pemerintah juga senantiasa harus berada pada posisi netral, artinya tidak memihak agama manapun dalam situasi seperti ini.

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meminimalisir radikalisme pada masyarakat Generasi Z antara lain dengan memperbanyak dialog dan musyawarah lintas agama untuk mewujudkan kerukunan umat beragama, meningkatkan pendidikan karakter yang yang mengarah pada terbentuknya pribadi yang memiliki budi pekerti yang luhur dan akhlakul karimah. Selain itu, mengingat para warga Gen-Z ini tak dapat dipisahkan dengan media sosial, maka penting untuk menyuarakan penolakan terhadap radikalisme beragama melalui media sosial seperti Instagram, Youtube, maupun TikTok.

Pemerintah perlu memperbanyak konten-konten anti terorisme, dapat pula berkolaborasi dengan para influencer untuk bersama-sama memerangi paham radikalisme, terutama kepada para Generasi Z yang merupakan agen perubahan masa depan.

Novi noviprawitasari
Novi noviprawitasari
Peneliti di Pusat Pelatihan dan Pengembangan dan Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.