Desa Sukawera merupakan salah satu desa di pinggir Kabupaten Majalengka yang dekat dengan perbatasan wilayah Indramayu Selatan. Sebagian besar masayarakat di desa ini bermata pencaharian sebagai petani dan buruh kasar ke kota-kota besar.
Banyak dari penduduk di desa ini juga memilih untuk mencari penghasilan ke luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja dalam sektor informal.
Banyak anak-anak di desa ini dan desa-desa di wilayah Kecamatan Ligung dan sekitarnya mengalami kesulitan untuk mengakses pendidikan formal yang bermutu. Karena himpitan ekonomi, banyak anak-anak yang terpaksa putus sekolah dan lebih memilih untuk bekerja membantu orang tua.
Misalnya seperti yang dialami oleh Saroji (16), anak seorang buruh pembuat batako di Manado. Ia terpaksa harus menghentikan jenjang pendidikan formalnya karena keterbatasan biaya orang tuanya. Keadaan memaksanya untuk berhenti bersekolah sejak kelas satu SLTA. Jika ia bisa melanjutkan sekolah, saat ini ia menginjak kelas dua SLTA.
Sehari-hari ia mengangkut jerigen yang berisi air ke para tetangga yang memesan jasa angkut airnya. Wilayah Desa Sukawera memang dikenal memiliki sumber air yang dalam. Dan sebagian besar keluarga di sini masih sedikit memiliki pompa air, oleh karenanya bagi rumah-rumah yang tidak memiliki sumur yang dalam, maka saat musim kemarau seperti saat ini mereka mengandalkan jasa angkut air seperti Saroji.
Sekali angkut dengan sepeda pribadinya yang dapat memuat dua jerigen air dalam waktu sekitar 7 menitan ia diupah sebanyak Rp. 2500. Sehari rata-rata ia hanya mengantongi uang sebanyak Rp. 10.000. Baginya uang tersebut sudah sedikit membantu kuangan keluarganya.
Kisah lain juga dialami oleh Dedi (17), Dedi merupakan satu angkatan dengan Saroji. Mereka juga berasal dari satu sekolah, yakni MTS Negeri 3 Majalengka. Pasca lulus dari MTS tersebut, Dedi juga tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Sama seperti Saroji, Dedi juga mengalami kesulitan dalam hal pembiayaan. Orang tuanya yang hanya berprofesi sebagai kuli bangunan memaksanya untuk rela harus putus sekolah.
Aktivitas kesehariannya diisi dengan membantu pekerjaan orang tuanya untuk mengurusi ternak kambing. Lima kambing milik orang tuanya tersebut setiap hari ia yang bertanggung jawab untuk memberinya rumput segar dari kebon. Mulai sekitar jam 9 hingga menjelang dzuhur ia mencari rumput untuk makan para ternak tersebut. Setelah itu, sekitar habis ashar hingga menjelang magrib ia juga kembali mencari rumput untuk dihidangkan kepada kelima kambing milik orang tuanya tersebut esok hari.
Risna (17) juga mengalami hal yang sama. Ia harus putus sekolah yang lagi-lagi terganjal masalah biaya. Gadis berkulit sawo matang ini dengan malu-malu mengungkapkan kepada penulis bahwa dirinya terpaksa putus sekolah karena kemampuan ekonomi keluarganya yang tidak mendukung. Ayahnya sudah tidak bekerja, kehidupan sehari-hari keluarganya ditopang oleh sang kakak yang bekerja di luar pulau.
Aktivitasnya hanya ia habiskan dengan membantu mengurusi berbagai tanggungjawab di rumah. Di usianya yang mestinya menginjak kelas tiga SLTA, ia terpaksa melepas status pelajarnya hanya gara-gara himpitan ekonomi.
Dukuh Asih Institut sebagai Oase di Tengah Padang
Hadirnya Dukuh Asih Institut (DAI) yang dulu bernama Dukuh Asih Learning Center (DALC) di desa ini seakan dapat memberikan hawah kesejukan di tengah-tengah padang gersang kebodohan karena faktor ekonomi.
Dukuh Asih Institut yang dimotori oleh Pak Asep (penulis biasa memanggilnya dengan “Kang Asep”) telah berjalan selama lebih dari 6 tahun. Sejak 2012, Pak Asep berusaha merangkul anak-anak di sini, baik yang masih sekolah maupun yang sudah putus sekolah untuk belajar berbagai ilmu dan keterampilan.
Baginya, hal ini adalah caranya untuk berjuang memerangi kebodohan. Anak-anak di DAI diberi berbagai keterampilan seperti public speaking, seni baca Al Quran, kutbah Jum’at, komputer, menulis, mengajar, broadcasting, bertani, berternak, dan berbagai keterampilan lainnya. Di DAI juga anak-anak diberi bekal ilmu agama dan juga ilmu-ilmu keduaniawian. Hal tersebut bertujuan membuat bekal ilmu yang dimiliki oleh anak-anak dapat seimbang.
DAI memliki alamat legkap di Dusun Dukuh Asih RT/RW 002/005, Desa Sukawera, Kecamatan Ligung, Kabupaten Majalengka. DAI merupakan langkah nyata dari Pak Asep dan kawan-kawannya untuk memerangi kebodohan, khususnya di wilayah Desa Sukawera, dan wilayah Kecamatan Ligung pada umumnya.