“Gue suka banget series baru di Netflix, lo harus nonton!”
Ini pesan dari teman saya yang lagi suka-sukanya nonton series di Netflix. Dia kemudian cerita panjang betapa serunya series Stranger Things.Bukan hanya satu teman, beberapa teman lain juga selalu memberi rekomendasi series-series yang menurut mereka bagus. Netflix hadir menjadi paltform alternatif bagi anak muda untuk menonton film atau TV series.
Nonton Netflix bukan hanya bikin chill, tapi juga mengingatkan saya pada politik. Ada dokumenter tentang PM Perancis Macron, Presiden AS Obama, drama seri Designated Survivor, Chief of Staff, The Politician dan lain lain yang disajikan berbagai sisi soal politik. Tapi, belum ada yang berhasil menggambarkan absurditas politik Indonesia
Akhir September 2019 lalu, kita menyaksikan aksi turun ke jalan yang paling besar sejak 20 tahun terakhir. Anak-anak muda usia 20-an mengorganisasikan gerakan simultan di sejumlah kota, secara nyaris spontan melalui media-media sosial, dan praktis tanpa tokoh pemimpin yang menonjol (leaderless movement).
Persis seperti unjuk rasa anak-anak muda di Hongkong yang memprotes ancaman terhadap demokrasi dan kebebasan. Pada saat yang lebih kurang bersamaan, terjadi gerakan protes di 25 negara, sebagian besar digerakkan anak muda.
Fenomena ini mengisyaratkan kalau pemerintah belum mampu memberikan ruang aspirasi yang baik bagi anak muda. Bahkan dari aksi yang sampai memakan ratusan korban kemarin, hingga kini tidak ada satupun tuntutan yang dijalankan. Indonesia nampaknya belum siap menghadapi era yang baru ini.
Kalau kita tarik kebelakang, tahun 2014, Jokowi bisa berhasil melalui perbincangan media sosial dan dukungan anak muda kelas menengah. Namun, di awal periode kedua, sudah mulai terjadi banyak kesalahan.
Memunculkan diskoneksi komunikasi antara pemerintah yang mengaku muda dengan generasi muda yang sesungguhnya. Ini membuktikan bahwa zaman cepat berubah. Tren begitu cepat beganti. Pemikiran dan cara politik orang tua sepertinya sudah tidak relevan. Kalau istilah anak zaman sekarang: Can’t relate Pak, Buk.
Susunan pemerintah baru juga belum memberikan kerja-kerja yang progresif. Namun, ada satu Kementerian yang akhir-akhir ini berhasil mendapat pujian dari anak muda yaitu Kemendikbud. Berbeda dari kementerian sebelah yang tengah ribut mempersoalkan positif negatifnya konten Netflix. Nadiem memberi perspektif baru dengan dengan menggaet Netflix untuk sama-sama memajukan perfilman anak bangsa. Kalau seperti ini, rumusnya sudah jelas, Indonesia butuh pemikiran-pemikiran anak muda.
Di era ini, generasi Z, yang lahir antara tahun 1996-2010 dan generasi Y (lahir 1981-1995) menjadi segmen yang makin besar dalam ranah perpolitikan di Indonesia. Pilpres 2019 mencatat sekitar 100 jutaan calon pemilih terdaftar berusia 17-40 tahun. Seiring bonus demografi, jumlah anak-anak muda ini akan makin besar.
Akan sangat disayangkan jika suara-suara mereka tidak terkanalisasi dan ditampung dengan baik. Oleh karena itu, regenerasi di bidang politik diperlukan. Jika tidak, kebijakan-kebijakan politik yang dikeluarkan tidak nyambung dengan realita. Karena diputuskan oleh orang-orang yang usianya jauh diatas sebagain besar konstituennya.
Dari banyaknya partai politik besar juga belum banyak yang melihat pentingnya regenerasi. Lihat saja misalnya ketua-ketua umum partai-partai politik besar. Parpol terbesar, PDIP, dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri (72), parpol ketiga terbesar, Gerindra, dipimpin oleh Prabowo Subianto (68), sama dengan usia Surya Paloh, Ketum Nasdem.
Beberapa partai politik lain sebenarnya sudah memunculkan tokoh-tokoh muda mereka. Bima Arya, Walikota Bogor yang juga politisi dari PAN. Bima cukup aktif bertemu dengan kalangan anak muda Bogor. Dia juga rutin menggelar acara lari bersama komunitas pelari Bogor. Sandiaga Uno dari Gerindra yang juga dekat dengan anak muda.
Dan terakhir, AHY, politisi Partai Demokrat yang di beberapa survey namanya selalu muncul di peringkat atas. Bahkan melampaui peringkat politisi-politisi senior. Kalau kita lihat dari Instagramnya, AHY juga tampak sangat dekat berinteraksi dengan para followersnya, khususnya dengan anak muda.
Saya pernah melihat salah satu video kuliah umunya di salah satu universitas. Di situ AHY membahas bagaimana sikap AHY dalam menghadapi tantangan di abad 21 ini. AHY tampak memiliki gagasan yang menarik, dia mengatakan bahwa kapasitas intelektual saja tidak cukup, tapi menjadi adaptif, kreatif dan responsif terhadap perkembangan zaman yang sangat dibutuhkan.
Ini sejalan dengan era yang kita dihadapi saat ini, bukan hanya anak muda, tapi juga tantangan bagi orang tua untuk bisa tetap adaptif dengan perkembangan zaman. Masa depan anak muda, harus dimulai dari anak muda. Bukan dari orang-orang yang terlalu uzur untuk melihatnya.