Selasa, Oktober 8, 2024

Generasi Baper

Hasanul Banna227
Hasanul Banna227
Mahasiswa Sosiologi Fisip UIN Jakarta Pecinta Diskusi, Pembenci Tradisi

Generasi milenial memiliki proses berfikir yang luar biasa berbeda dari generasi sebelum-sebelumnya. Perbedaan pandangan ini menjadikan generasi ini trus di-spotlight sekaligus dicibir. Cemoohan-cemoohan yang dilontarkan biasanya berasal dari kalangan tua atau yang sok dewasa padahal secara umur masih dikatakan milenial.

Karena melawan orang tua takut dosa akhirnya kita melampiaskan dengan kembali menghina generasi bawah yaitu generasi z, terutama bocah-bocah yang viral di media sosial.

Membahas tentang media sosial, menariknya konten-konten emosional dan sedikit menggelikan menjadi yang paling digemari oleh anak-anak milenial akhir-akhir ini. Hal ini dibutkikan dengan maraknya beberapa akun Instagram seperti tempat bercakap, nkcthi dan masih banyak akun lainnya yang memiliki konten serupa.

Saya sebagai bagian dari generasi milenial tidak bisa memungkiri juga menyukai konten seperti itu bahkan sering memberikan like dan me-repost beberapa kali di media sosial pribadi. Mungkin karena post yang diberikan merasa terwakili ataupun juga sekaligus menyindir mantan secara halus, lumayan kan. 

Konten baper-baperan menjadi yang paling menguntungkan di kalangan masyarakat Indonesia. Masih ingat betapa viralnya film Dilan 1990 di pasaran perfilman Indonesia? Film yang bahkan saat proses shotting pun sudah menerima banyak kritikan karena Iqbal dianggap tidak cocok memerankan peran seorang Dilan yang cool.

Namun tetap saja film itu menjadi film terlaris di Indonesia pada tahun 2018 bahkan mendapat penghargaan sebagai film terbaik oleh SCTV Awards dan IMA Awards dengan total sekitar 6,2 juta penonton (saya dan mantan termasuk di dalamnya). “Aduh galau nih”, “baper jadinya”, “kapan ya cowok gua kayak Dilan” kerap meramaikan kolom komentar di akun Instagram film Dilan. Bahkan tahun ini film sekuel Dilan sedang dibuat dan saya yakin pasti akan seramai atau bahkan lebih ramai dari sebelumnya dan tugas saya adalah mencari orang baru untuk diajak nonton film itu.

Tidak hanya menyinggung ke industri perfilman bahkan permainan emosi sudah terseret ke ranah politik. Politik yang sebelumnya identik dengan pertarungan rasionalitas, kualitas dan profesionalitas bergeser menjadi pertarungan emosional.

Hal itu dibuktikan dengan saling sindir sesama calon dengan melontarkan idiom-idiom satu sama lain seperti sontoloyo, boyolali, genderuwo dan lain sebagainya. Masing-masing calon pun mencoba menaikkan elektabilitasnya dengan memainkan emosi konstituen, ada yang menunjukkan romantisme dengan istri dan bergaya khas Dilan dan satunya lagi memainkan emosi dengan membawa perihal SARA.

Keduanya sama-sama bergaya milenial padahal keduanya bukan bagian dari milenial. Ah sudahlah, saya tidak tertarik membahas tentang ini.

Timbul suatu pertanyaan, kenapa hari ini kita lebih suka dengan hal yang berbau emosi dan suka bawa perasaan (baper)? Mungkin hanya tuhan yang tahu tapi tugas manusia adalah mencari jawabannya.

Berdasarkan kesoktahuan saya, hari ini kita memasuki suatu fase yang sering disebut dengan era post-truth atau post-modern. Singkatnya, post-modern adalah suatu fase dimana rasionalitas dianggap bukan lagi hal penting sedangkan sesuatu yang abstrak (emosi, imajinasi, dll) adalah sesuatui yang diagung-agungkan.

Hal ini terjadi karena kemuakkan dan kejumudan dengan fase modern yang seakan menghilangkan nurani manusia dan menjunjung tinggi akal. Memanusiakan manusia adalah slogan yang dilontarkan sekaligus kritikan yang dilontarkan kepada fase modern. Itulah awal mula kenapa fase post-modern muncul ke permukaan, meskipun banyak perdebatan tentang alasan tepatnya muncul post-moden.

Terlepas dari alasan munculnya fase post-modern, kita harus sepakati di Indonesia telah menunjukkan indikator-indikator masuknya kita ke fase itu. Hal yang harus diselesaikan adalah apakah fase ini lebih baik dari sebelumnya atau bahkan sama buruknya?

Inilah yang saya singgung di awal-awal bahwa generasi kita terus diserang oleh generasi sebelumnya akibat perbedaan nilai yang dianut. Bagi generasi tua, generasi kita adalah generasi yang bodoh, malas, tidak tahu arah kehiduapan mau dibawa kemana, labil bahkan terlalu santai dalam kehidupan. Sedangkan bagi kita, generasi tua adalah generasi yang kaku, ketat, kuno, terlalu banyak menuntut dan sok ikut campur dalam urusan pribadi kita.

Ini akan menjadi masalah jika tidak segera diselesaikan. Pertempuran antara akal dengan perasaan sering kali berbenturan bahkan di kehidupan kita sehari-hari. Pertempuran antara Generasi kaku (serius banget) dengan generasi baper harus disudahi.

Titik tengah harus diambil. Keseimbangan antara akal dan perasaan harus terjadi. Jangan menjadi manusia yang terlalu kaku apalagi hari ini zaman sudah berganti maka harus siap dengan perubahan. Jangan juga jadi generasi yang terlalu lebay, kehidupan bukan untuk dipuisikan tapi dijalankan dengan tujuan yang jelas. Ketika sinkronisasi antara akal dan emosi sudah terjadi maka disitulah letak proses memanusiakan manusia.

Walaupun pada akhirnya yang cuma bisa baperin bakal kalah sama yang seriusin tapi jangan lupa wanita lebih suka sama cowok yang bisa bikin dirinya nyaman

Hasanul Banna227
Hasanul Banna227
Mahasiswa Sosiologi Fisip UIN Jakarta Pecinta Diskusi, Pembenci Tradisi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.