Senin, Desember 22, 2025

Gen Z dalam Jerat Burnout Sandwich Generation

Nada Nilover
Nada Nilover
Mahasiswa Psikologi UIN Jakarta
- Advertisement -

Pagi masih gelap ketika ponsel Raka bergetar. Notifikasi dari kantor muncul hampir bersamaan dengan pesan dari rumah yang menanyakan biaya kontrol kesehatan orang tuanya. Di usia 25 tahun, Raka baru dua tahun memasuki dunia kerja, tetapi tanggung jawab finansial yang ia pikul sudah jauh melampaui dirinya sendiri. Target kerja yang ketat dan kebutuhan keluarga yang mendesak membuat hari-harinya berjalan dalam tekanan yang nyaris tanpa jeda. Kisah semacam ini bukanlah kasus tunggal, melainkan potret yang semakin lazim di kalangan Generasi Z.

Situasi tersebut menggambarkan bagaimana Gen Z mulai mengalami peran sandwich generation lebih dini. Mereka tidak hanya berjuang membangun karier, tetapi juga menjadi penopang ekonomi keluarga di tengah keterbatasan jaminan sosial dan meningkatnya biaya hidup. Tekanan berlapis inilah yang mendorong munculnya burnout, kondisi kelelahan psikologis yang kini semakin banyak dialami pekerja muda. Penelitian menunjukkan bahwa konflik peran dan rendahnya keseimbangan kehidupan kerja berkontribusi signifikan terhadap meningkatnya burnout pada karyawan Generasi Z (Imany, 2023).

Sandwich Generation Dini dan Konflik Peran Gen Z

Bagi banyak Gen Z, bekerja tidak lagi sekadar sarana aktualisasi diri, melainkan kewajiban moral untuk menjaga keberlangsungan keluarga. Ketika orang tua menghadapi keterbatasan ekonomi atau kesehatan, anak muda kerap menjadi pilihan terakhir untuk menopang kebutuhan rumah tangga. Dalam kondisi tersebut, Gen Z menjalani peran ganda sebagai pekerja dan penanggung jawab keluarga, meskipun secara ekonomi dan psikologis mereka sendiri belum sepenuhnya stabil.

Imany (2023) menjelaskan bahwa konflik peran muncul ketika tuntutan pekerjaan dan tanggung jawab keluarga saling berbenturan tanpa ruang negosiasi. Ketika individu dipaksa membagi waktu, energi, dan emosi secara terus-menerus, tekanan psikologis menjadi tidak terelakkan. Konflik inilah yang secara perlahan menggerus kesejahteraan mental dan meningkatkan kerentanan terhadap burnout.

Tekanan Finansial dan Rapuhnya Work-Life Balance

Dalam keseharian, Raka sering dihadapkan pada pilihan yang serba dilematis. Lembur memberikan tambahan penghasilan, tetapi mengorbankan waktu istirahat dan relasi sosial. Sebaliknya, mengambil jeda justru memunculkan kecemasan akan ketidakcukupan finansial. Dilema ini mencerminkan rapuhnya work-life balance yang dialami Gen Z dalam posisi sandwich generation.

Penelitian menunjukkan bahwa work-life balance memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan burnout, di mana semakin buruk keseimbangan hidup seseorang, semakin tinggi tingkat kelelahan psikologis yang dialami (Imany, 2023). Temuan ini menegaskan bahwa burnout tidak semata disebabkan oleh beban kerja, melainkan oleh struktur kehidupan yang memaksa individu terus berada dalam mode bertahan.

Burnout dan Ancaman bagi Masa Depan Gen Z

Burnout kerap bermula dari kelelahan yang dianggap wajar. Namun, seiring waktu, kondisi ini berkembang menjadi penurunan motivasi, gangguan konsentrasi, dan menarik diri dari lingkungan sosial. Imany (2023) mencatat bahwa burnout berdampak langsung pada produktivitas kerja serta meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi.

Bagi Gen Z, burnout menjadi ancaman serius karena terjadi pada fase awal pembentukan karier dan identitas profesional. Ketika kelelahan kronis dinormalisasi, generasi muda berisiko tumbuh dengan daya tahan psikologis yang rapuh. Dalam jangka panjang, kondisi ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menghambat kualitas sumber daya manusia dan keberlanjutan pembangunan sosial.

Fenomena burnout pada Gen Z yang menjalani peran sandwich generation menunjukkan bahwa persoalan kesehatan mental tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial dan ekonomi yang lebih luas. Burnout bukan sekadar kegagalan individu dalam mengelola stres, melainkan refleksi dari ketimpangan struktural dalam dunia kerja dan sistem perlindungan sosial. Oleh karena itu, diperlukan intervensi yang lebih komprehensif, mulai dari kebijakan kerja yang fleksibel, penguatan literasi kesehatan mental, hingga jaminan sosial yang lebih adaptif terhadap perubahan demografi. Tanpa langkah tersebut, Gen Z berisiko menanggung beban ganda yang tidak hanya menguras energi personal, tetapi juga mengancam keberlanjutan pembangunan manusia.

Nada Nilover
Nada Nilover
Mahasiswa Psikologi UIN Jakarta
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.