Hukum menjadi pemegang tahta yang sangat fundamental dalam sebuah negara hukum. Demikian Indonesia yang merupakan negara hukum atau rule of law. Sehingga bukan hal yang mengherankan ketika negara kita menjadikan persoalan regulasi sebagai salah satu isu yang akan selalu seksi untuk dibahas. Unnecessary laws are not good law, but just traps for money (Kuantitas hukum atau regulasi yang banyak tidaklah perlu dan bukanlah hukum yang baik tapi hanya jebakan untuk anggaran) pendapat Thomas Hobbes yang rasa-rasanya mulai terlihat pada kondisi dari realita regulasi Indonesia saat ini.
Dinamika regulasi yang dewasa ini menghampiri indonesia adalah overlapping undang-undang atau over regulated dimana undang-undang gemuk secara kuantitas tapi minim dalam kualitas. Agak-agaknya hukum saat ini ada bukan untuk memenuhi kebutuhan objektif dari masyarakat tapi justru hanya sebagai pemuas nafsu sektoral yang menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya.
Kondisi dan dampak gemuknya regulasi di Indonesia
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia pada tahun 2019 merincikan bahwa dari Oktober 2014 hingga Oktober 2018 terdapat total 8.945 regulasi yang dibentuk di tingkat nasional yang meliputi Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri. Dimana apabila kita rata-ratakan, setidaknya setiap hari terdaapat 6 regulasi yang hadir dan lahir di Indonesia.
Selaras dengan hal tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam laporan tahunnanya pada tahun 2019 juga menyampaikan hal yang sama, bahwa Indonesia mengalami hyperregulation. Mahkamah Konstitusi juga menyampaikan bahwa kondisi ini mengakibatkan Indonesia terjerat pada aturan yang dibuat dan kompleksitasnya. Sehingga sulit untuk pemerintah dalam bertindak responsif terhadap perubahan di Dunia.
Bahkan, OECD Reviews of Regulatory Reform Indonesia Government Capacity To Assure High Quality Regulation, sebuah review atas bagaimana pengelolaan dan pembuatan suatu regulasi di Indonesia yang dikeluarkan oleh suatu badan internasional yang bernama Organization for Economic Co-operation and Development, menyatakan bahwa manajemen pembentukan peraturan atau regulasi di Indonesia masih kurang baik.
Tidak dapat kita tampik rasanya hasil review yang dikeluarkan oleh OECD tersebut. Buruknya manajemen pembentukan peraturan atau regulasi di Indonesia, secara data dapat kita lihat dari bagaimana posisi skor indonesia berdasarkan Regulatory Quality Index oleh Bank Dunia sepanjang tahun 1996 hingga 2017 berada di posisi minus atau di bawah nol. Hal tersebut nyata dapat terlihat dari banyaknya undang-undang yang tumpang tindih, multitafsir, tidak sinkron dan tidak harmonis di Indonesia.
Mari kita uji bersama berdasarkan fakta empiris yang dapat kita lihat dari bagaimana data pembatalan peraturan yang dilakukan melalui mekanisme yang ada. Pada laporan 2016 oleh Kemendagri, sebanyak 3.143 peraturan daerah telah dibatalkan. Bahkan Mahkamah Konstitusi sendiri menerima sebanyak 143 permohonan judicial review terhadap undang-undang sepanjang tahun 2022.
Menjajaki sebab buruknya manajemen regulasi di Indonesia
Reformasi regulasi, dua kata yang agak-agaknya perlu untuk mulai di gemborkan dewasa ini. Gemuknya regulasi dan akibatnya seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, menjadikan penting untuk kita lihat apa akar dari permasalahan tersebut agar kita tahu langkah solusi yang tepat guna menerobos utopia dari idealisme bersama terwujudnya sistem regulasi yang efektif.
Penulis berpendapat bahwa tersebarnya lembaga-lembaga yang dapat menerbitkan regulasi tanpa adanya penataan regulasi menjadikan di dalam setiap lembaga-lembaga tersebut terdapat egosentris atau nafsu sektoral tersendiri. Hal ini juga selaras dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Bayu Dwi Anggono pada live hadline talks hukumonline tahun 2022 lalu. Sehingga perlu untuk dilakukan penataan pada sistem regulasi di Indonesia.
Mengungkit kembali apa yang disampaikan sebelumnya, mengenai review yang dilakukan oleh OECD. OECD memunculkan rekomendasi berupa pembentukan lembaga pengawasan dan penilaian terhadap kebijakan pengaturan dan pembentukan regulasi oleh pemerintah. OECD juga menambahkan, rekomendasi tersebut juga didasarkan pada pertimbangan bahwa dibutuhkan suatu lembaga yang secara formil memiliki tanggungjawab untuk memberikan perspektif secara menyeluruh terhadap kebijakan regulasi.
Lantas pertanyaan terakhir yang perlu dilontarkan kepada pemerintah adalah sampai kapan permasalahan kegendutan regulasi ini akan terus dibiarkan? Permasalahan haruslah ditangani bukan dibiarkan dan menghadirkan kekhawatiran dan harapan utopis dari masyarakat.