Di tengah suka cita perayaan Idul Kurban atau lebaran haji, saudara-saudari kita di Pulau Lombok – NTB, sedang dilanda duka akibat guncangan gempa yang bertubi-tubi.
Hingga Selasa (21/8/2018), disadur dari kompas.com, BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) mencatat jumlah korban jiwa dalam bencana gempa bumi di Lombok, NTB, mencapai 515 orang, korban luka-luka 7.145 orang, jumlah pengungsi 431.416 orang, rumah rusak 73.843 unit, 798 fasilitas umum dan sosial rusak, dan kerugian diperkirakan mencapai Rp 7,7 triliun. BNPB juga mencatat sudah terjadi 1.005 kali gempa susulan.
Dibalik duka Lombok yang mendalam, sebagai warga NTB, kami sangat terharu dengan solidaritas kemanusiaan yang mengalir dari saudara-saudari dari berbagai pelosok negeri. Para relawan yang turun mendampingi korban gempa, berdatangan dari aneka latar belakang, melampaui sekat-sekat primordial. Begitu pula dengan bantuan materil dan dukungan do’a dari hamba-hamba Allah.
Hanya saja, sangat disayangkan masih ada orang-orang yang bermazhab cocoklogi melihat gempa. Entah bagaimana ceritanya, tetiba pilihan politik seorang kepala daerah digolongkan sebagai faktor penyebab terjadinya gempa bumi. Sikap politik Gubernur NTB Tuan Guru Bajang (TGB) M. Zainul Majdi yang mendukung Jokowi dua periode, dicaci-maki tanpa ampun oleh grup haters dari dunia maya hingga dunia nyata.
Politik adalah sebuah kompleksitas. Di masing-masing kubu, harus diakui senantiasa ada aktor protagonis sekaligus antagonis. Energi kesalahan dan kesalehan berpadu dalam kubangan politik di mana pun itu. Jadi, sangat tidak fair kalau satu kubu mengklaim mewakili kesucian, lantas menuduh kubu lain mewakili kekufuran.
Mari kita tengok data-data bencana di beberapa daerah di Indonesia. Mulai dari tsunami Aceh 2004, gempa Yogyakarta 2006, gempa Sumatera Barat 2009, tsunami Mentawai 2010, banjir bandang Wasior 2010, banjir Jakarta 2013, banjir bandang Manado 2014, erupsi Gunung Sinabung 2012, erupsi Gunung Kelud 2014, banjir bandang Bima 2016, dan lainnya.
Dari berbagai aneka titik-titik eks bencana di atas menunjukkan bahwa kepala daerahnya terdiri dari aktor politik lintas partai dengan pilihan politik bermacam-macam. Komposisi masyarakatnya pun heterogen. Lalu masihkah kalian menuduh penyebab gempa karena soal pilihan politik?
Jadi, tidak ada urusan pilihan politik dengan kejadian gempa bumi. Jangan sampai karena kita berbeda pilihan politik, lalu mempolitisasi bencana untuk mengalihkan perhatian. Sewaktu terjadi tsunami Aceh 2004, apakah berarti pilihan politik Gubernur Aceh salah gitu? Apakah gempa Jogja 2006 karena gubernurnya penuh dosa? Saat banjir bandang Manado 2014, apakah gubernurnya kena murka Tuhan? Imajinasi ini sangat mencemari ketauhidan kita.
Dalam sains bencana alam, gempa bumi disebabkan oleh pergeseran antar lempeng bumi sehingga terjadi goncangan dan patahan aktif, yang berkaitan pula dengan aktivitas gunung berapi. Kalau struktur geologis di wilayah tertentu meniscayakan tumbukan, maka gempa bumi berpeluang sama terjadi, entah di negeri muslim, negeri kafir, negeri baik, negeri buruk, atau negeri gado-gado dan sebagainya.
Sebagai kaum beriman, kita harus menyadari bahwa bencana adalah ujian. Dan nikmat pun sebuah ujian. Jadi, bencana dan nikmat adalah ujian yang mesti kita lewati bersama dengan penuh kesabaran. Allah SWT berfirman: Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik dan (bencana) yang buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran). (QS. Al-A’raf: 168)
Suatu ketika, Gus Dur ditanya oleh media massa terkait penyebab gempa di Yogyakarta 2006, beliau menjawab dengan humor yang penuh hikmah. Gus Dur bilang, kemungkinan gempa Yogyakarta disebabkan Nyai Roro Kidul marah karena dipaksa pakai jilbab. Guyonan ini maksudnya adalah sindiran kontekstual kepada para penebar kebencian yang menghubungkan bencana dengan pembahasan RUU Pornografi yang kala itu memanas.
Karena itu, momentum Hari Raya Kurban dan Hari Raya Haji mesti jadi wahana refleksi kebangsaan dan keumatan. Sebagai hari besar umat Islam, kita dapat mentafakuri hikmah Idul Adha yang merupakan napak tilas religiusitas Nabi Ibrahim AS. Sedangkan ritual haji, rumah Allah di Mekkah itu diziarahi oleh umat Islam dari berbagai suku, warna kulit, profesi, status sosial-ekonomi, dan negara. Artinya, walaupun kita berbeda latar belakang, namun dalam konteks beribadah kepada Allah, persatuan dan kesatuan wajib diutamakan.
Kesalehan, kesabaran dan pengorbanan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS adalah spirit dalam membumikan kesalehan sosial-politik, kesalehan ekonomi dan kesalehan kultural secara kolektif, tidak sekadar kesalehan invidual. Di tahun politik ini, kesalehan politik seyogyanya ditingkatkan untuk berlomba-lomba dalam kebijakan yang bajik.
Bantuan dari berbagai kelompok masyarakat se-Indonesia untuk para korban gempa bumi Lombok adalah manifestasi solidaritas kemanusiaan yang berlandaskan pada kesalehan sosial. Spirit Kurban dalam hari raya Idul Adha memberikan pelajaran yang berharga bagi umat Islam untuk berani berkorban baik materil maupun non-materil secara ikhlas.
Ketika hewan kurban disembelih, itu merupakan simbol penyembelihan ego dan pemotongan sifat-sifat kebinatangan. Lalu daging kurban dibagikan kepada tetangga terdekat dan masyarakat sekitarnya sebagai bentuk kesalehan ekonomi, cinta dan kasih antar sesama.
Semangat persaudaraan dan rasa kebersamaan adalah kunci utama untuk meringankan beban saudara-saudari kita yang tertimpa musibah. Gotong royong sebagai bentuk kesalehan kultural mesti dibudayakan secara terus-menerus untuk memikul secara bersama-sama penderitaan warga kita yang diuji dengan musibah.
Selebihnya, mari kita kembalikan keharmonisan antara Tuhan, manusia, dan alam sehingga terbentuk keseimbangan, demi kemaslahatan bersama. Kita berharap pemerintah memaksimalkan komandonya secara massif dan berskala nasional guna memulihkan keadaan di NTB. Semoga gempa bumi Lombok segera berlalu.
Allah SWT berfirman: Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu; dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu (QS. Muhammad: 31)