Selasa, April 23, 2024

Gejolak 1965 Sebagai Peristiwa yang Tidak Berdiri Sendiri

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.

Gambar: Karya Yayak Yatmaka

52 tahun silam terjadi tragedi politik yang memakan banyak korban. Tepat di bulan september, pastinya di akhir bulan. Peristiwa naas itu menggemparkan seantero negeri, bahkan global. Terjadi pembantaian disana-sini, nyawa-nyawa manusia seakan tak bernilai. Mencekam, menakutkan, menggetarkan jiwa. Banyak manusia tak berdosa menjadi korban, dalam peristiwa upaya coup terhadap Presiden Soekarno. Hingga kini luka itu tak pernah sembuh, menjadi sebuah legenda kebiadaban yang masih bias.

Berawal dari sekelompok perwira muda yang hendak “meluruskan hak”, dengan upaya menekan perwira atas agar tidak semena-mena. Lebih membumi melihat para subaltern yang semakin ngenes, sementara para perwira tinggi ongkang-ongkang kaki menikmati pundi-pundi. Membuat mereka yang merasa tidak nyaman, ingin mengubah jarak yang terlampau jauh tersebut.

Gesekan Pasca Demokrasi Liberal 

Isu selanjutnya yang mengawali gejolak politik besar, pasca konflik yang terlampau rumit tahun 1948, ialah memanasnya suhu politik. Pasca wacana mundurnya Hatta dengan menyerahkan surat pengundurannya pada 20 Juli 1956, lalu ditembuskan pada legislatif tanggal 23 Juli. Sampai pada akhirnya tanggal 1 Desember 1956 akhirnya beliau resmi mundur sebagai wakil presiden (Tempo, 1 April 1978). Desas-desus perpecahan politik semakin menguat, memunculkan sebuah pandangan jika terjadi perpecahan antara Soekarno dan Hatta. Ketidaksepakatan Hatta pada ide Guided Democracy (Demokrasi Terpimpin), telah menimbulkan sedikit gejolak politik di pemerintahan.

Menurut Williams (2017) dalam bukunya Indonesia, Islam and the International Political Economy, pada Bab: Guided Democracy halaman 392. Mengemukakan jika pada Mei 1957 merupakan awal dari Demokrasi Terpimpin, dengan ditandai dibekukannya Legislatif dan Dewan Nasional. Setelah itu gejolak mulai bermunculan di daerah-daerah, pada tahun Februari 1958 terjadi perlawanan bersenjata yang terpusat di Sumatra dan Sulawesi.

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) diumumkan oleh Lektkol Ahmad Hussein pada 15 Februari 1958, dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai perdana menterinya. Sementara di Sulawesi sosok Letkol Ventje Sumual mengumumkan bergabung dengan PRRI, serta membentuk perlawanan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Perlawanan ini didukung oleh beberapa anggota Masjumi dan PSI, di luar arahan organisasi secara resmi. Perlawanan ini sendiri berhasil ditumpas pada tahun 1958 juga, sekitar bulan agustus, dan benar-benar habis pada tahun 1961 (Doeppers, 1958, An Incident in the PRRI/Permesta Rebelion of 1958).

Di tengah konstelasi politik yang kian tak menentu, Presiden Soekarno membubarkan konstituante pada 5 juli tahun 1959 melalui keputusan Presiden RI No. 75/1959, menandai berakhirnya demokrasi liberal. Bergantinya model demokrasi dari liberal menuju Demokrasi Terpimpin, menimbulkan banyak pertanyaan. Diawali dengan mundurnya Hatta, serta masifnya kritik yang ditujukan kepada Presiden Soekarno kala itu. PRRI/Permesta lahir dari kontroversi tersebut, mereka sudah mendelegitimasi Soekarno sebagai Presiden dengan perlawanan. Keterlibatan Masjumi dan PSI semakin memanaskan situasi kala itu, sekaligus membuka manuver lawan politiknya untuk “menggebuk” mereka.

Pada bulan Agustus 1960 Masjumi dan PSI menghadapi tuduhan sebagai dalang dari rencana subversif. Mereka dibubarkan oleh Presiden Soekarno dengan Keputusan Presiden nomer 200 dan 201 perihal pembubaran kedua partai tersebut. Selain itu Presiden juga menolak partai baru seperti Partai Syarikat Islam Indonesia pimpinan Abikusno dan partai lainnya. Kondisi semacam itulah yang menjadikan situasi politik semakin tidak menentu, semakin memanas.

Dengan bubarnya Masjumi dan PSI, ditambah pengasingan Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Otomatis perseteruan politik tinggal menyisakan PKI, NU, PNI dan Militer. Angkatan Darat dibawah Nasution memiliki kekuatan politik yang cukup kuat, dilanjutkan dengan sikap Yani yang melanjutkan perspektif tersebut. Konfrontasi yang sangat terlihat terang-terangan, melibatkan PKI dan Militer. Salah satu isu yang berkembang adalah isu Angkatan Kelima dan Dewan Jendral. Hal tersebut membuat isu semakin memanas, tatkala rencana demi rencana dari kedua politik terbesar tersebut saling berkonfrontasi. Mengemukanya Angkatan Kelima tak lepas dari tuntutan PKI agar buruh dan tani dipersenjatai, dengan respon yang positif dari Soekarno, rencana tersebut memang terlihat akan terealisasi. Tetapi Jendral Yani dipihak Militer menolak rencana tersebut, karena memunculkan sebuah kekhawatiran. Padan tahun 1964 beredar isu sebuah dokumen rahasia, dimana ada rencana terselubung PKI untuk menguasai Republik. Namun itu cuma sebatas isu yang dipanasi, begitu juga isu beredarnya dokumen Gilchrist dan Dewan Jendral yang merupakan konspirasi antara Militer dengan Amerika. Isu yang berkembang semakin masif, ekskalasi konflik kepentingan semakin menunjukan titik didih (Rum Aly, 1966, Titik Silang Jalan Kekuasaan).

Situasi Ekonomi Politik Kunci Jatuhnya Soekarno

Kondisi perpolitikan pasca memasuki Demokrasi Terpimpin semakin memanas. Gerakan demi gerakan yang kritis terhadap Soekarno semakin meluas. Kelompok-kelompok oposisi pemerintah mulai melakukan konsolidasi, sebagai respons atas situasi ekonomi yang tidak menentu. Memasuki tahun 1960 Indonesia mengalami situasi yang tidak mengenakan, Soekarno harus menerima konsekuensi atas tidak stabilnya situasi tatanan politik. Dalam buku Ignatius Haryanto, yang berjudul Indonesia dibredel (2006), pada halaman 10 menyebut jika kondisi ekonomi pada 1960-an memasuki fase kritis. Inflasi mencapai 650%, hutang luar negeri menumpuk, menipisnya logistik kebutuhan pokok, semakin memukul Republik yang sedang beranjak muda. Situasi tersebut tak lepas dari adanya penyelewengan, korupsi dan berbagai tindakan yang merugikan negara.

Deklarasi Ekonomi 1963 tidak berjalan maksimal, konsep berdiri diatas kaki sendiri (Berdikari), sebagaimana pengejahwantahan dari Trisakti tidak sesuai dengan konsep. Kondisi politik yang memanas turut menjadi persoalan kegagalan landasan ekonomi tersebut. Reforma Agraria yang terwujud dalam UUPA 1960 tidak berjalan pada jalurnya, sehingga menimbulkan gejolak di basis bawah. Semakin memperunyam kondisi geopolitik Indonesia memasuki medio 1960an. Rakyat pada saat itu dihadapkan pada kondisi ekonomi yang tidak menentu, naiknya harga kebutuhan pokok menjadikan situasi yang sangat pelik.

Kondisi yang demikian menjadi salah satu percik api, yang turut melatarbelakangi peritiwa 1965-1966. Peristiwa coup yang ditengarai dilakukan oleh Soeharto tidak berdiri sendiri, ada hal-hal yang menyusun sehingga menjadi kejadian yang extraordinary. Disini ada relasi ekonomi politik yang turut menyusun skenario runtuhnya kekuasaan Soekarno. Konsepsi Nasakom berantakan tak tersisa, Trisakti tak berjalan sebagai mestinya. Semua menjadi serangkaian relasional, yang hingga akhirnya memuncak pada 1966.

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.