Berkabung lagi, ketika sebenarnya satu nyawa saja sudah terlalu banyak untuk dikorbankan menghadapi pembelajaran jarak jauh. Pertengahan Oktober lalu, siswi SMA di pedesaan Gowa, Sulawesi Selatan, terlebih dahulu menyerah dengan meminum racun setelah sebelumnya mengeluh tentang beratnya belajar daring di kampungnya yang susah akses internet.
Lalu berselang dua minggu, di Tarakan Kalimantan Utara, dengan cara yang berbeda, seorang siswa SMP mengakhiri hidupnya di kamar mandi rumahnya. Anak ini pendiam, tapi sempat beberapa kali mengeluhkan tentang banyaknya tugas di sekolah. Banyak pihak menyesalkan dan mendesak institusi pendidikan untuk berbenah dan melakukan evaluasi. Tapi sejujurnya, PJJ ataupun belajar normal, sekolah memang tampak sebagai beban bagi anak-anak.
Konon, ada penyebab lain selain faktor PJJ. Benar, tidak pernah ada faktor tunggal dalam setiap kejadian. Apalagi sampai merenggut nyawa. Covid jadi berbahaya ketika ada komorbidnya. MI pun bisa jadi nekat minum racun karena tumpukan problem yang membuat gejala ansietas remajanya semakin parah dan kemudian nalarnya menjadi pendek. Tidak hanya satu, tapi beberapa dan menumpuk.
Si Bocah Tarakan menghadapi pubertas dan mungkin ada masalah dengan temannya atau keluarganya. Beragam macam kemungkinan, tapi asumsi apapun tidak bisa dijadikan sebagai pembelaan bahwa PJJ memang memberi tekanan berat pada siswa. Ada gangguan ansietas yang menghantam mental anak-anak ini di masa pandemi yang mengharuskan mereka belajar dari rumah. Sayangnya, gejala psikososial ini seringkali luput dari pengamatan sekolah sehingga respon yang dibutuhkan tidak muncul.
Apa itu ansietas?
Ansietas atau kecemasan adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi. Ketika merasa cemas, individu merasa cemas, individu merasa tidak nyaman atau takut atau mungkin memiliki firasat akan ditimpa malapetaka padahal ia tidak mengerti mengapa emosi yang mengancam tersebut terjadi. Tidak ada objek yang dapat diidentifikasi sebagai stimulus ansietas.
Ansietas merupakan alat peringatan internal yang memberikan tanda bahaya kepada individu (Viedebeck, 2008). Penyebabnya? Ada banyak faktor yang berkelindan dimana diantaranya yang paling berpengaruh adalah perubahan dalam drastis status ekonomi, lingkungan, status kesehatan, pola interaksi, fungsi peran, status peran (Nurarif & Kusuma, 2013).
Pandemi ini memberikan hantaman besar pada perubahan pola interaksi yang menggoyahkan bangunan mental masyarakat. Pengaruhnya demikian besar terasa bahkan bagi individu dewasa yang lebih matang, apalagi bagi remaja yang secara psikologis sedang menghadapi peperangan sendiri dalam mengelola gejolak pubertas. Hantaman internal dan eksternal yang bersamaan ini berefek besar pada bangunan mental yang dimiliki remaja, yang berbeda kekokohannya satu sama lain bergantung banyak variabel.
Sesuatu yang nampak biasa bagi kita, bisa jadi diidentifikasi sebagai ancaman bagi seorang remaja. Misal, tugas menumpuk yang harus selesai sesuai deadline, beberapa ada yang bisa menyikapi dengan tenang, terlambat tidak apa-apa. Tapi bagi beberapa yang lain, terlambat mengerjakan tugas adalah kegagalan yang membekas dan harus diratapi, sebab nilai yang dia pegang semacam itu.
Pada kasus peserta didik kesulitan memahami materi karena pembelajaran PJJ yang tidak ideal, beberapa mungkin bisa santai menyikapinya. Namun ada pula yang merespon dengan rasa frustasi dan menjadi beban yang terus menempel di tengkuknya. Sayangnya, seringkali gejala ansietas ini justru dialami oleh peserta didik yang memiliki kemauan belajar tinggi namun kebutuhannya tidak terpenuhi dengan skema PJJ yang diberikan gurunya. Biasanya pula anak tipe ini memiliki kendala komunikasi karena pribadinya yang cenderung serius dan introvert. Gejala ini, jika tidak disadari oleh orang tua dan guru bisa menjadi problem yang tidak ringan.
PJJ berpengaruh besar pada gejala ansietas siswa
Pembelajaran jarak jauh memang sudah mengalami penyederhanaan secara konten materi di dalam kurikulum. Namun demikian, paradigma pembelajaran yang dilakukan masih belum banyak berubah. Meskipun sarana yang dipergunakan jelas berbeda antara tatap muka klasikal dengan pembelajaran daring menggunakan gadget, namun pola pembelajaran yang dilakukan sesungguhnya masih konservatif.
Prinsip pembelajaran daring bukan hanya berupa gadget sebagai media, namun bagaimana memanfaatkan fitur-fitur di dalam gawai secara maksimal untuk menunjang proses pembelajaran agar tetap bermakna meskipu tanpa tatap muka. Guru dituntut untuk kreatif dan inovatif mengeksplore ragam macam fitur yang sekiranya cocok dengan kondisi peserta didiknya sehingga setiap anak mampu berpartisipasi dalam proses pembelajaran tanpa terkecuali.
Seringkali yang justru yang terjadi, guru hanya memindahkan cara mengajar klasikal ke dalam gawai begitu saja. Mengirim file materi untuk dipelajari lalu anak-anak diminta mengerjakan tugas dan dikumpulkan dengan deadline tertentu. Berdasar survei Puslitjak Kemendikbud, hanya 54,9 persen guru yang melaksanakan proses pembelajaran bermakna dengan meminta peserta didik membuat proyek sederhana dan kreatif.
Bahkan, jangan memberikan layanan pembelajaran bermakna berbasis proyek, dari 4.568 guru yang disurvei Save the Children 25 persen menyatakan bahwa guru tidak memantau sama sekali anak-anak mereka. Alur interaksi yang terputus inilah yang rentan mempengaruhi gejala ansietas peserta didik. Mereka dihadapkan pada tumpukan tugas, kekhawatiran pada deadline, kesulitan memahami materi, dan kebuntuan untuk bertanya dan berdiskusi dengan gurunya.
Belajar di sekolah dan rumah jauh berbeda, suasana yang terbangun jelas tidak sama. Pada proses belajar di sekolah, peserta didik dapat berinteraksi langsung dengan gurunya dan bisa memperoleh tanggapan atas kesulitan yang dialaminya. Di sekolah, secara mental peserta didik terkondisi untuk belajar tanpa gangguan eksternal. Hal ini berbeda dengan situasi di rumah yang secara internal mentalitas anak tidak terkondisi dalam suasana belajar dan gangguan dari faktor eksternal yang terdapat di rumah rentan mempengaruhi konsentrasi.
Oleh karenanya, kuantitas tugas pun tidak bisa disamakan. Seringkali mindset pembelajaran konvensional yang memaksakan ketercapaian materi sesuai standar kompetensi ini justru menjadi stressor pencetus pada peningkatan gejala ansietas peserta didik selama PJJ. Tentunya ini tidak bisa dianggap remeh.