Bukan rahasia umum lagi bahwa masyarakat perkotaan memiliki prilaku konsumtif yang tinggi. Mereka yang tinggal di daerah perkotaan cenderung memiliki beribu-ribu “kebutuhan” yang katanya harus terpenuhi. Pada era modern saat ini, kebutuhan utama bagi masyarakat perkotaan bukan hanya sekedar sandang, pangan dan papan lagi. Dengan dalih kebutuhan utama, “nongkrong” dijadikan salah satu kegiatan yang juga harus terpenuhi.
Ditambah, pertumbuhan kafe-kafe ataupun tempat sejenisnya terus berjamur mewadahi kegiatan “nongkrong”. Padahal dapat dinilai dengan kasat mata, bahwa “nongkrong” hanya sekedar kegiatan bersosialisasi belaka. Bahkan tak sedikit yang menjadikan “nongkrong” sebagai wadah unjuk keglamoran harta. Haruskan “nongkrong” menjadi kegiatan wajib terpenuhi? Bukankah “nongkrong” bertujuan untuk melepas penat dan sekedar bercengkrama? Entah untuk memenuhi kebutuhan utama atau hanya untuk gaya hidup semata.
Pada era modern saat ini, “nongkrong” merupakan salah satu gaya hidup yang menjadi kebutuhan utama bagi masyarakat perkotaan. Bagaimana tidak, “nongkrong” sudah seperti suatu keharusan yang dilakukan masyarakat dari kalangan manapun, khususnya bagi masyarakat perkotaan.
Hal tersebut diperkuaat dengan tempat “nongkrong” seperti café-café atapun sejenisnya yang selalu ramai dipadati masyarakat. Tidak jarang juga bermunculan artikel-artikel tentang informasi terkait tempat yang direkomendasikan. Hal tersebut menunjukan antusias masyarakat yang tinggi terhadap kegiatan “nongkrong”.
Sangat disayangkan, di era globalisasi saat ini, dimana persaingan terus terjadi, dimana manusia berlomba-lomba untuk terus memberikan inovasi, “nongkrong” sebagai suatu prilaku yang konsumtif malah menjadi tren yang menjamur di kalangan masyarakat perkotaan.
Padahal, seharusnya masyarakat perkotaan merupakan ujung tombak dari lahirnya inovasi-inovasi agar negeri terus dapat unjuk gigi. Namun tren “nongkrong” yang tujuan utamanya hanya untuk santai-santai malah menjamur dan melekat bahkan untuk masyarakat perkotaan sekalipun.
Apabila dipikirkan kembali, sulit dipahami mengapa “nongkrong” dijadikan kebutuhan yang menjadi suatu keharusan. Padahal, “nongkrong” bukan suatu kebutuhan utama yang berhubungan dengan keberlangsungan hidup. Memang “nongkrong” bukan suatu hal kegiatan yang memberikan dampak negativ. Namun haruskah kegiatan tersebut menjadi sebuah kebutuhan sehari-hari?
Dalam kehidupan masyarakat perkotaan, konsumsi gaya hidup yang mengedepankan tren/gaul merupakan hal yang lazim. Gaya hidup tersebut lahir dari seperangkat alat berfikir masyarakat yang sering disebut habitus. Berbagai hal seperti lingkungan, pengalaman, modal, hingga stuktur sosial sekitar menjadi aspek pembentuk habitus. Dengan demikian lahirnya kegiatan “nongkrong” sebagai suatu gaya hidup masyarakat perkotaan bukan hanya hasil dari tindak-tanduk individu saja, melainkan juga merupakan pemahaaman bersama mengenai dunia sosial.
Oleh sebab itu, gaya hidup masyarakat dapat dirubah dengan adanya kesadaran bersama. Bila berkaca pada negara tetangga yaitu singapura, terlihat jelas bahwa SDM yang mereka miliki jauh berkualitas bila dibandingkan dengan Indonesia. Hal tersebut dapat terjadi salah satunya karena pemanfaatan waktu yang lebih efektif dan bermanfaat.
Benar adanya bahwa kegiatan “nongkrong” bukan suatu hal yang negativ dan melanggar hukum. Namun ada baiknya bahwa segala kegiatan dibungkus dengan tujuan yang bermanfaat. Dengan demikian “nongkrong” bukan lagi sebagai kegiatan yang hanya bertujuan untuk bersantai-santai. Jauh dari itu “nongkrong” dapat berubah menjadi gaya hidup yang lebih berkualitas untuk Indonesia yang lebih baik.