Kamis, Maret 28, 2024

Garuda, GCG, dan Kemana Pengawasan Komisaris?

Albima Sakti
Albima Sakti
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas

Gerakan bersih-bersih BUMN yang dilakukan oleh Erick Thohir sebagai nahkoda baru kementerian BUMN harus ditanggapi serius oleh seluruh organ penyelenggara BUMN. Bagaimana tidak, perusahaan sekelas garuda pun yang jarang diisukan bermasalah juga tidak bisa lepas dari semangat perubahan yang diusungnya.

Bahkan belum terhitung 100 hari kerja, beliau sudah membuat gebrakan besar dengan mengungkap skandal penyelundupan Harley Davidson oleh Dirut garuda Ari Askhara. Yang berakhir dengan pencopotan dirinya beserta empat posisi Direksi oleh Dewan Komisaris.

Sebagai maskapai nomor wahid direpublik ini, kejadian ini tentu mencoreng nama baik Garuda dihadapan pemerintah dan para pemegang saham,bahkan kejadian ini juga berimbas pada nilai saham yang dilaporkan anjlok sebesar 10,37%.

Di mana kehilangan kepercayaan terhadap kepengurusan Garuda diyakini menjadi penyebab, sehingga mendorong para investor menarik kepemilikan saham di bursa efek. Tentu hal tersebut menjadi PR besar bagi garuda kedepannya untuk mengembalikan kepercayaan para pemodal yang hilang tadi, karena suntikan modal dari para investor selama ini masih menjadi pondasi kokoh dari bisnis garuda, selain dana segar yang diperolahnya dari negara.

Mewujudkan prinsip GCG 

Berbicara mengenai tingkat kepercayaan para investor pada suatu perusahaan,indikatornya dapat dilihat dari tata kelola perusahaan yang dilakukan. Perusahaan yang memiliki tata kelola yang baik atau yang dikenal dengan istilah Good Corporate Governance (GCG). Akan lebih berpotensi untuk menghasilkan profit dibandingkan dengan perusahaan yang tidak jelas pengaturan organ pengurusnya.

Dengan kata lain,suatu perusahaan yang sudah menerapkan prinsip GCG semestinya,akan mendatangkan banyak investor karena potensi keuntungan yang dijanjikan. Artinya jumlah investor akan berbanding lurus dengan keuntungan yang ditawarkan dari suatu perusahaan.

Namun mewujudkan prinsip GCG tadi bukanlah perkara mudah. Terkadang ada organ perusahaan yang tidak bisa menjalankan kewenangannya dengan baik. Seperti Dewan Komisaris yang acap kali tidak bisa melakukan tugas pengawasan secara independen, apalagi pada PT yang berstatus BUMN.

Karen, diketahui Dewan Komisaris di BUMN sebagian besar duduk karena kompromi politik dan sebagainya. Padahal kewenangan pengawasan yang dimilikinya merupakan senjata utama dalam mengontrol kinerja Direksi. Bahkan Ketika Komisaris tidak bisa bersikap independen, maka munculnya Direksi yang bermasalah seperti dalam kasus garuda menjadi hal wajar yang akan ditemui. Tentu hal demikian akan menjadi tantangan bagi Menteri baru kedepannya, agar posisi organ PT seperti Direksi dan Komisaris terlepas dari konflik kepentingan. Sehingga pelaksanaan GCG di lingkup BUMN tidak menjadi wacana belaka.

Kemana Komisaris?

Sebagai grand design dari GCG di indonesia,UUPT mengenal 3 organ PT. Di mana antara ketiga organ tadi terdapat hubungan saling mempengaruhi satu sama lain, hal ini dapat dilihat dari RUPS sebagai Organ tertinggi yang merupakan perkumpulan para pemegang saham,yang menyerahkan kewenangan pengurusan pada Direksi. Dan kewenangan pengawasan pada Dewan Komisaris.

Atas alasan tersebut sudah sepatutya semua tindak tanduk dari Direksi harus tertangkap oleh kaca mata Dewan Komisaris yang diberi kewenangan pengawasan. Apalagi tindakan yang tidak sesuai dengan UUPT dan Anggaran Dasar.

Meskipun dalam kasus Dirut Garuda pelanggaran tidak berkenaan dengan jalannya pengurusan secara umum, akan tetapi tindakan direksi yang tidak mencerminkan kepentingan dan tujuan perseroan, dan malah menggunakan jabatan untuk menguntungkan diri sendiri bahkan sampai melawan hukum, sudah seharusnya mendapat pengawasan komisaris sejak awal.

Bahkan jika hendak ditarik lebih jauh tindakan tersebut telah bertentangan dengan hakikat suatu PT yang bersifat profit oriented. Dikatakan demikian karena jelas tindakan tersebut telah mendaratkan nilai saham garuda turun beberapa persen kebawah. Yang berakhir dengan kerugian.

Tentu sangat disayangkan jika hal ini terjadi akibat absennya pengawasan oleh Dewan Komisaris. Apalagi menurut ketua ikatan awak kabin garuda,pengurusan zaman Dirut Ari Akshara selama ini menempatkan karyawan Khususnya awak kabin bekerja dalam tekanan, seperti bekerja diluar batas waktu, ataupun bekerja dengan perasaan tak nyaman, disebabkan ketakutan melakukan kesalahan yang dinanti dengan hukuman di luar batas kewajaran.

Tentu semua hal itu harusnya menimbulkan pertanyaan kemana saja pengawasan Dewan Komisaris selama ini?

Pemberhentian Direksi oleh Komisaris

Sebagai tindak lanjut terhadap kasus tersebut, Garuda melalui Dewan Komisaris telah memberhentikan empat Direksi yang dinilai terlibat. Namun jika dilihat dari segi hukum, pemberhentian Direksi oleh Dewan Komisaris statusnya hanya lah bersifat sementara. Dan sebagaimana yang diatur dalam pasal 106 ayat 4 UUPT dalam waktu paling lambat 30 hari harus dilakukan RUPS untuk menentukan mencabut atau menguatkan pemberhentian sementara tadi.

Bahkan dalam RUPS yang sama direksi dimungkinkan untuk membela diri, tentu hak ini akan dimanfaatkan oleh Dirut Garuda sebaik-baiknya,untuk mengamankan posisinya, apalagi tanggapannya yang tidak akan mundur, setelah semua yang ia lakukan.

Meskipun pemberhentian tersebut memang bagian dari kewenangan yang dimiliki Dewan Komisaris dan sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh UUPT, akan tetapi terpakainya kewenangan tersebut sebenarnya juga merupakan bentuk gagalnya pelaksanaan kewenangan yang lebih utama yaitu kewenagan pengawasan.

Karena hakikat dari pengawasan selain, bersifat represif berupa pengujian tindakan direksi apakah telah sesuai dengan UU atau tidak, seharusnya juga bisa bersifat preventif yang mencegah agar tidak terjadinya sesuatu yang tak diinginkan yang pada akhirnya akan merugikan perseroan.

Memang absennya pengawasan dalam suatu pengurusan perusahaan akan berdampak terhadap perwujudan dari prinsip GCG tadi. Bahkan saat GCG tidak bisa dilakukan dengan baik, maka potensi untuk memperoleh keuntungan akan tertutup, entah disebabkan investor yang enggan menanamkan modal ataupun menurunnya jumlah konsumen disebabkan kurang puas atas pelayanan jasa.

Namun meningkatnya organ perseroan yang melawan UU dan AD, yang disebabkan benturan kepentingan menjadi hal wajar yang akan ditemui. Semoga saja semua itu tidak dialami oleh Garuda saat ini.

Karena jika sebaliknya, tentu akan berbahaya untuk garuda mengepakkan sayap kedepannya. Sehingga memastikan Organ PT terlepas dari Conflict Of Interest kedepannya, agar tidak ditemukan lagi Komisaris yang hanya sebagai tukang stempel kebijakan pengurus. Menjadi pertaruhan integritas menteri baru, jika benar berniat membuat BUMN lebih bergairah dari sebelumnya.

Albima Sakti
Albima Sakti
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.